Antonius Rahu |
berbicara tentang suku dan adat istiadat di manggarai timur maka ada satu yang sangat menarik untuk di bicarakan yakni
ketika kita sedang berbicara tentang suku Rangga, Suku paan, suku mukun dan suku manus termasuk sejarah keempat suku tersebut yang sekarang mendiami daerah mukun, manus, dan mbata kecamatan kota komba manggarai timur NTT.
keempat suku ini sering di sebut wa,u pat, dimana wa,u merupakan keturunan dan pat merupakan empat jadi wa,u pat berarti keempat turunan. pada kesempatan ini penulis hanya membahas tentang asal usul suku Rangga Dan suku Paan di mbata manggarai timur.
ketika kita sedang berbicara tentang suku Rangga, Suku paan, suku mukun dan suku manus termasuk sejarah keempat suku tersebut yang sekarang mendiami daerah mukun, manus, dan mbata kecamatan kota komba manggarai timur NTT.
keempat suku ini sering di sebut wa,u pat, dimana wa,u merupakan keturunan dan pat merupakan empat jadi wa,u pat berarti keempat turunan. pada kesempatan ini penulis hanya membahas tentang asal usul suku Rangga Dan suku Paan di mbata manggarai timur.
versi 1: Nara sumber Bapak Laurens Janggu ( om ma Adel)
pada zaman dahulu kala di daerah mukun dan sekitarnya sedang terjadi penjajahan penduduk setempat oleh orang congkar, semua harta benda ternak dan barang-barang berharga lainya di rampas secara paksa, sementara upaya perlawanan oleh para penduduk setempat tidak membuahkan hasil.
Bertahun-tahun lamanya mereka hidup dalam kondisi yang tidak merdeka sampai pada suatu hari, para anak-anak kampung tengah mencari kayu bakar, dengan tidak sengaja anak-anak tersebut bertemu dengan seorang bapak yang memiliki ilmu kebal, beliau bernama MEKA LA".
Adapun meka la" merupakan orang baru yang menetap tidak jauh dari kampung tersebut beliau baru saja sampai dari minangkabau ketika anak-anak kampung itu menghampiri kediaman meka laa" beliau sedang menajamkan bambu (wu,er laga) dengan beralaskan paha.
Melihat keanehan tersebut anak-anak kampung tersebut lari kembali ke kampung halamanya untuk memberitahukan apa yang mereka lihat kepada orang tua mereka. Setelah mendengar cerita dari anak-anak mereka, di utuslah orang yang paling berkuasa di kampung tersebut untuk menemui meka Laa" dengan maksud meminta bantuan agar bisa melawan penjajah dari congkar.
Setelah berunding cukup lama, Meka Laa" pun menyetujui apa yang diminta oleh penduduk tetapi dengan syarat di berikan tanah buat meka Laa" jika berhasil melumpuhkan orang congkar. Perjanjian pun di buat, maka setelah harinya di tentukan meka Laa" pun berangkat ke markasnya orang congkar yakni di sekitar daerah rembong.
Benar saja dalam waktu satu malam semua prajurit orang congkar di bunuh oleh Meka Laa" benteng orang congkar di bakar dan meka Laa" pun berhasil memenuhi tuntutan warga kampung,Sebagai ucapan terima kasih, maka meka Laa" diberikan Mokel oleh penduduk setempat.
Di sana lahirlah putra-putra beliau: Padu, Warang, Saka dan Latar. Padu Mendiami wilaya Ngusu, Warang mendiami Wiya Manus, Zaka Mendiami Wilaya Mukun dan Latar Mendiami Wilaya Deru. Dari ke empat wa'u ini hanya satu suku yaitu Suku MOKEL.
Sedangkan Padu terus ke Ngusu Di Wa'u Ngusu yang merupakan keterunan dri PADU yaitu Ngau, Zau dan Dalu. Keturunan dri Ngau adalah org Tolang yg mendiami wilaya Ngusu dan Ketang Kemudian dari Zaun melahirkan Sazu dan Saju mengambil istri di Ladok: lopo Pele, menurunkan mbaru Rangga.
Istrinya yang lain: lopo Ozeng (Ojeng) dari Manus (disunting saat beliau menyerang Manus dalam aksi balas dendam). Adik dari Ojeng, Tati’ diberikan juga oleh Manus untuk menemani kakaknya. Ojeng menurunkan ema Mboes, sedangkan Tati’ menurunkan ema Linus, ema Ngalang dll. Di Nancur dipersunting juga lopo Ndai’.
Bertahun-tahun lamanya mereka hidup dalam kondisi yang tidak merdeka sampai pada suatu hari, para anak-anak kampung tengah mencari kayu bakar, dengan tidak sengaja anak-anak tersebut bertemu dengan seorang bapak yang memiliki ilmu kebal, beliau bernama MEKA LA".
Hubungi kami di WA 082342994060 untuk pemasangan Iklan |
Adapun meka la" merupakan orang baru yang menetap tidak jauh dari kampung tersebut beliau baru saja sampai dari minangkabau ketika anak-anak kampung itu menghampiri kediaman meka laa" beliau sedang menajamkan bambu (wu,er laga) dengan beralaskan paha.
Melihat keanehan tersebut anak-anak kampung tersebut lari kembali ke kampung halamanya untuk memberitahukan apa yang mereka lihat kepada orang tua mereka. Setelah mendengar cerita dari anak-anak mereka, di utuslah orang yang paling berkuasa di kampung tersebut untuk menemui meka Laa" dengan maksud meminta bantuan agar bisa melawan penjajah dari congkar.
Setelah berunding cukup lama, Meka Laa" pun menyetujui apa yang diminta oleh penduduk tetapi dengan syarat di berikan tanah buat meka Laa" jika berhasil melumpuhkan orang congkar. Perjanjian pun di buat, maka setelah harinya di tentukan meka Laa" pun berangkat ke markasnya orang congkar yakni di sekitar daerah rembong.
Benar saja dalam waktu satu malam semua prajurit orang congkar di bunuh oleh Meka Laa" benteng orang congkar di bakar dan meka Laa" pun berhasil memenuhi tuntutan warga kampung,Sebagai ucapan terima kasih, maka meka Laa" diberikan Mokel oleh penduduk setempat.
Di sana lahirlah putra-putra beliau: Padu, Warang, Saka dan Latar. Padu Mendiami wilaya Ngusu, Warang mendiami Wiya Manus, Zaka Mendiami Wilaya Mukun dan Latar Mendiami Wilaya Deru. Dari ke empat wa'u ini hanya satu suku yaitu Suku MOKEL.
Sedangkan Padu terus ke Ngusu Di Wa'u Ngusu yang merupakan keterunan dri PADU yaitu Ngau, Zau dan Dalu. Keturunan dri Ngau adalah org Tolang yg mendiami wilaya Ngusu dan Ketang Kemudian dari Zaun melahirkan Sazu dan Saju mengambil istri di Ladok: lopo Pele, menurunkan mbaru Rangga.
Istrinya yang lain: lopo Ozeng (Ojeng) dari Manus (disunting saat beliau menyerang Manus dalam aksi balas dendam). Adik dari Ojeng, Tati’ diberikan juga oleh Manus untuk menemani kakaknya. Ojeng menurunkan ema Mboes, sedangkan Tati’ menurunkan ema Linus, ema Ngalang dll. Di Nancur dipersunting juga lopo Ndai’.
bpk. Laurens Janggu salah satu tokoh adat suku Rangga |
Ojeng dan Tati
tinggal di penghulu kampung, sehingga keturunannya disebut UKU PA’AN
(pa’an = pangkal, penghulu). Lopo Pele’ dan Ndai’ tinggal di penghujung
kampung, di rumah dengan simbol tanduk kerbau di atapnya, sehingga
keturunan mereka di sebut UKU RANGGA (rangga = tanduk). sementara uku rangga dan uku paan yang ada di mbata merupakan pengembangan dari kampung Ngusu termasuk nenek dari penulis yakni Rosalia Ja,ung yang merupakan anak dari meka Zula dan lopo Ndai.
versi 2: (sumber blog pribadinya Pater. Sensi SVD)
Meka
La’ dari Minangkabau menyusuri jejak kerbaunya yang kalah bertanding
hingga sampai di Mabaruju (dekat Wae Lengga), terus ke Nanga Pa’an (Golo
Lusang di sekitar Iteng). Kemungkinan karena tidak ada api beliau terus
ke Ruteng Rutu, kemudian ke Mano.
Di sana sedang ada perang, pada saat mana beliau menajamkan kayu tapak (wu’er) dengan beralaskan paha; perang antara Ghezong dan Tabu di Wenggul. Pada saat perang tersebut diutuslah oleh pihak Tabu Lagor dan Lusa untuk menemui Meka La’.
Beliau menyuruh mereka untuk memanjat pohon bambu (betong) untuk melihat kampung Ghezong yang tampak sangat jelas. Dibukalah benteng dan Ghezong diserbu sampai kalah. Sebagai ucapan terima kasih, Tabu memberikan Mokel kepada Meka La’.
Di sana lahirlah putra-putra beliau: Padu, Warang, Saka dan Latar. Padu dan Warang bergerak ke arah Manus sedangkan yang lainnya ke Taga/Mukun. Warang menetap di Manus dan Padu terus ke Ngusu dan anaknya Sazu’ yang juga disebut Pa’an. Dari Meka Sazu’ lahirlah Sa’, Sau’, Saka’ dan Rangun. Sa’ menurunkan putranya Mboes, dari Mboes lahirlah Bapa Lukas Lading dan Bapa Does Daniel. Sau’ berputrakan Nggorong (kuburnya di Ngusu).
Meka Nggorong adalah kakek dari penulis. Sedangkan Saka’ menurunkan Panggal, Mbada, Sara dan Pasang. Yang termuda Rangun berputrakan Tepong, Kelu, Ajang/Azang dan Malas. Kelu menurunkan Meka Mundus Tabur dan meka Nelis, Ajang menurunkan meka Domi dan Malas berputrakan meka Ngalang.
Dari uraian yang telah di sampaikan di atas maka menurut sejarahnya antara uku Rangga dan Uku paan memiliki hubungan kekeluargaan yang masih dekat.
tulisan ini di buat berdasarkan hasil wawancara langsung kepada bapak Laurensius Janggu ketika beliau mengunjungi Pulau Dewata pada pertengahan Februari 2016.
Di sana sedang ada perang, pada saat mana beliau menajamkan kayu tapak (wu’er) dengan beralaskan paha; perang antara Ghezong dan Tabu di Wenggul. Pada saat perang tersebut diutuslah oleh pihak Tabu Lagor dan Lusa untuk menemui Meka La’.
Hubungi kami di WA 082342994060 untuk pemasangan Iklan |
Beliau menyuruh mereka untuk memanjat pohon bambu (betong) untuk melihat kampung Ghezong yang tampak sangat jelas. Dibukalah benteng dan Ghezong diserbu sampai kalah. Sebagai ucapan terima kasih, Tabu memberikan Mokel kepada Meka La’.
Di sana lahirlah putra-putra beliau: Padu, Warang, Saka dan Latar. Padu dan Warang bergerak ke arah Manus sedangkan yang lainnya ke Taga/Mukun. Warang menetap di Manus dan Padu terus ke Ngusu dan anaknya Sazu’ yang juga disebut Pa’an. Dari Meka Sazu’ lahirlah Sa’, Sau’, Saka’ dan Rangun. Sa’ menurunkan putranya Mboes, dari Mboes lahirlah Bapa Lukas Lading dan Bapa Does Daniel. Sau’ berputrakan Nggorong (kuburnya di Ngusu).
Meka Nggorong adalah kakek dari penulis. Sedangkan Saka’ menurunkan Panggal, Mbada, Sara dan Pasang. Yang termuda Rangun berputrakan Tepong, Kelu, Ajang/Azang dan Malas. Kelu menurunkan Meka Mundus Tabur dan meka Nelis, Ajang menurunkan meka Domi dan Malas berputrakan meka Ngalang.
Dari uraian yang telah di sampaikan di atas maka menurut sejarahnya antara uku Rangga dan Uku paan memiliki hubungan kekeluargaan yang masih dekat.
tulisan ini di buat berdasarkan hasil wawancara langsung kepada bapak Laurensius Janggu ketika beliau mengunjungi Pulau Dewata pada pertengahan Februari 2016.