Jika Anda mengamati sekilas kantor
Anthony James, tidak sulit menebak jenis pekerjaannya. Dindingnya
dipenuhi gambar nyamuk. Buku tentang nyamuk pun memenuhi rak bukunya.
Di samping meja
nya terlihat kain rentang yang menampilkan satu spesies khusus—Aedes aegypti—dalam setiap tahap perkembangannya. Pelat nomor mobilnya bertuliskan: AEDES.
“Sudah 30 tahun ini saya terobsesi oleh nyamuk,” kata James, pakar genetika molekul di University of California, Irvine.
Ada sekitar 3.500 spesies nyamuk, namun bagi James hanya sebagian yang menarik perhatiannya. Termasuk di antaranya adalah Anopheles gambiae, yang menularkan parasit malaria yang menewaskan ratusan ribu orang setiap tahun. Namun, James membaktikan sebagian besar kariernya untuk meneliti Aedes. Para ahli sejarah menyakini bahwa nyamuk tiba di Benua Amerika melalui kapal budak dari Afrika pada abad ke-17, membawa demam kuning. Dewasa ini nyamuk juga membawa demam berdarah atau DB. Selain itu juga membawa patogen yang semakin mengancam seperti chikungunya, virus West Nile, dan Zika.
Berawal tahun lalu di Brasil, wabah Zika kian meluas dan menyebabkan berbagai gangguan saraf, termasuk cacat langka yang disebut mikrosefali, yakni bayi lahir dengan kepala kecil dan otak yang tidak berkembang.
Sasaran James, adalah menemukan cara untuk memanipulasi gen nyamuk sehingga serangga itu tidak dapat lagi menyebarkan penyakit. Perjuangan James ibarat jalan yang panjang. Namun, dengan menggabungkan teknologi baru revolusioner yang disebut CRISPR-Cas9 dengan sistem alami yang dikenal sebagai penggerak gen (gene drive), teori itu dengan cepat menjadi kenyataan.
Untuk pertama kalinya, dengan cepat dan tepat, ilmuwan dapat mengubah, menghapus, dan menata-ulang DNA hampir semua makhluk hidup, termasuk DNA kita. Dalam tiga tahun terakhir, teknologi ini telah berhasil mengubah dunia biologi. Bekerja dengan model binatang, para peneliti di laboratorium di seluruh dunia sudah menggunakan CRISPR untuk mengoreksi cacat genetik utama, termasuk mutasi yang menyebabkan distrofi otot, fibrosis sistik, dan salah satu jenis hepatitis. Namun, banyak ilmuwan yakin bahwa teknologi ini dapat berperan dalam penyembuhan AIDS.
Dalam sejumlah percobaan, ilmuwan menggunakan CRISPR untuk memberantas virus dari babi, yang menyebabkan organnya tidak dapat dicangkokkan ke manusia. Para ahli ekologi menjajaki berbagai cara agar teknologi itu dapat ikut melindungi spesies yang terancam punah. Selain itu, ahli biologi tanaman, memulai upaya untuk menghilangkan gen pemikat hama. Dengan mengandalkan biologi, bukan zat kimia, CRISPR dapat ikut mengurangi ketergantungan kita pada pestisida beracun.
Tidak ada temuan ilmiah dalam satu abad terakhir ini yang memberikan lebih banyak harapan—atau memunculkan lebih banyak pertanyaan merisaukan dalam ranah etika. Jika CRISPR digunakan untuk memanipulasi silsilah embrio manusia—sel yang berisi materi genetik yang dapat diwa-riskan oleh generasi berikutnya—baik untuk mengoreksi cacat genetik atau untuk meningkatkan sifat yang diinginkan; perubahan tersebut kemudian akan diwariskan ke anaknya, dan cucunya, selamanya. Implikasinya sulit diramalkan, bahkan boleh dikatakan mustahil diramalkan.
“Ini teknologi luar biasa, yang manfaatnya sangat besar dalam berbagai bidang. Namun, jika kita akan melakukan sesuatu yang bersejarah, seperti menulis-ulang silsilah materi genetik, harus ada alasan kuat untuk melakukannya,” kata Eric Lander, direktur dari Broad Institute of Harvard dan MIT, yang juga pemimpin Human Genome Project. “Dan kita harus dapat menjamin bahwa masyarakat memang sependapat—jika tidak ada kesepakatan luas, mustahil hal itu dapat dilakukan.”
“Ilmuwan tidak memiliki kesepakatan bulat untuk menjawab berbagai pertanyaan itu,” ujar Lander.
crispr-cas9 memiliki dua komponen. Yang pertama adalah enzim—Cas9—yang berfungsi sebagai pisau sel untuk memotong DNA. (Di alam, bakteri menggunakannya untuk memutuskan dan melucuti sandi genetik virus penyerang.) Komponen kedua terdiri atas pemandu RNA yang mengarahkan pisau itu ke nukleotida yang tepat—huruf kimia DNA—yang harus dipotong.
Akurasi pemandu itu luar biasa; ilmuwan dapat mengirimkan bagian pengganti sintetis ke lokasi mana pun dalam suatu genom yang terbuat dari miliaran nukleotida. Setelah mencapai lokasi tujuan, enzim Cas9 memotong urutan DNA yang tidak diinginkan. Untuk menambal bekasnya, sel itu menyisipkan rantai nukleotida yang dikirimkan dalam paket CRISPR.
Ketika wabah Zika di Puertoriko berakhir, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS memperkirakan setidaknya seperempat dari 3,5 juta orang di Puertoriko terjangkit Zika. Artinya, ribuan perempuan hamil mungkin terinfeksi.
Hingga saat ini satu-satunya cara paling efektif untuk membasmi Zika adalah dengan insektisida. James dan ilmuwan lainnya mengatakan bahwa memanipulasi nyamuk dengan CRISPR—dan menggunakan penggerak gen untuk membuat perubahan permanen—menawarkan cara yang jauh lebih baik.
Gen secara tradisional bertanggung jawab dalam aturan pewarisan sifat. Biasanya keturunan hewan reproduksi seksual menerima satu salinan gen dari masing-masing orang tuanya. Namun, ada gen yang “egois”: Evolusi menyebabkan gen egois ini memiliki peluang lebih dari 50 persen untuk diwariskan. Menurut teori, ilmuwan dapat menggabungkan CRISPR dengan gen untuk mengubah sandi genetik suatu spesies dengan menempelkan urutan DNA yang diinginkan ke gen yang dikehendaki sebelum melepaskan hewan itu untuk kawin secara alami. Cara ini dapat memaksakan masuknya hampir semua sifat genetik ke suatu populasi.
Tahun lalu, dalam penelitian yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, James menggunakan CRISPR untuk merekayasa versi nyamuk Anopheles yang membuat mereka tidak mampu menyebarkan parasit malaria.
“Selama puluhan tahun saya bekerja tanpa ada yang mengakui. Namun, sekarang semuanya berubah—telepon terus berdering selama berminggu-minggu,” kata James.
Memerangi nyamuk Ae. aegypti, yang membawa begitu banyak patogen, membutuhkan cara yang agak berbeda. “Yang harus kami lakukan,” katanya, “adalah merekayasa gen yang menyebabkan serangga itu menjadi steril. Tidak ada gunanya merekayasa nyamuk yang resisten terhadap Zika jika masih tetap dapat menularkan demam berdarah dan penyakit lainnya.”
Untuk memberantas demam berdarah, James dan koleganya merancang paket CRISPR yang dengan mudah menghapus gen alami dari induk nyamuk dan mengganti dengan versi yang dapat menyebabkan keturunannya steril. Jika nyamuk hasil rekayasa itu dilepaskan dalam jumlah yang cukup, untuk kawin, maka dalam beberapa generasi (yang masing-masing biasanya bertahan dua atau tiga minggu saja) seluruh spesies itu akan membawa versi hasil rekayasa.
James sangat menyadari bahwa melepaskan mutasi yang dirancang untuk menyebar dengan cepat melalui populasi yang hidup bebas di alam dapat memiliki konsekuensi tak terduga yang mungkin tidak mudah dibalikkan. “Tentu saja ada risiko yang terkait dengan melepaskan serangga yang telah dimanipulasi di laboratorium,” katanya. “Namun, saya percaya bahwa jika kita tidak melakukannya, bahayanya jauh lebih besar.”
telah lebih dari 40 tahun berlalu sejak ilmuwan menemukan cara untuk memotong nu-kleotida dari gen suatu organisme dan menempelkannya ke dalam gen organisme lain untuk memasukkan sifat yang diinginkan. Para ahli biologi molekul semangat sekali mengha-dapi kemungkinan terbukanya peluang melalui praktik ini, yang disebut DNA rekombinan. Namun, sejak awal para ilmuwan juga menyadari bahwa jika mereka dapat mengalihkan DNA antar-spesies, mungkin saja secara tidak disengaja mengalihkan virus dan patogen lainnya. Hal itu dapat menimbulkan penyakit tak terduga, yang mungkin tidak ada perlindungan, perlakuan, atau penyembuhan alami.
Pada 1975, para ahli biologi molekul dari seluruh dunia berkumpul di Asilomar Conference Grounds, California, untuk mendiskusikan tantangan yang dihadirkan teknologi baru ini. Mereka menyepakati serangkaian langkah pengamanan, termasuk tingkat keamanan laboratorium yang harus diperketat seiring dengan potensi risiko yang ditimbulkan oleh berbagai percobaan itu.
Segera menjadi jelas bahwa perlindungan itu berfungsi dengan baik dan bahwa manfaat yang mungkin diraih sangat besar. Rekayasa gene-tika mulai memperbaiki kehidupan jutaan orang. Penderita diabetes, misalnya, dapat meng-andalkan pasokan stabil insulin hasil rekayasa genetika. Tanaman hasil rekayasa genetika mulai mengubah tata cara pertanian di dunia.
Obat hasil rekayasa genetika telah diterima secara luas, tanaman yang dihasilkan dengan cara yang mirip ini masih belum diterima, meskipun banyak penelitian menunjukkan bahwa produk tersebut tidak lebih berbahaya untuk dikonsumsi dibandingkan pangan lainnya.
CRISPR bisa saja merupakan solusi dari kontroversi yang bersifat ilmiah dan budaya ini. Definisi kata “transgenik” dan “GMO” yang menggabungkan DNA spesies yang tidak pernah bisa kawin di alam. Ilmuwan berharap bahwa penggunaan CRISPR untuk mengubah DNA dapat meredakan tentangan pihak oposisi. CRISPR membuat para peneliti mampu merancang-ulang gen khusus tanpa harus memasukkan DNA dari spesies lain.
Beras emas, misalnya, adalah hasil rekayasa melalui GMO agar beras mengandung gen yang diperlukan untuk memproduksi vitamin A di bagian butiran yang dapat dimakan—sesuatu yang tidak terjadi secara alami pada tanaman padi. Setiap tahun, sekitar setengah juta anak di negara berkembang buta karena kekurangan vitamin A—tetapi para aktivis anti-GMO mengganggu penelitian dan mencegah produksi komersial beras tersebut. Dengan CRISPR, ilmuwan hampir bisa dipastikan mencapai hasil yang sama hanya dengan mengubah gen yang sudah aktif dalam tanaman padi.
Para ilmuwan di Jepang menggunakan CRISPR untuk memperpanjang usia tomat dengan mematikan gen yang mengendalikan keranuman. Dengan menghilangkan ketiga salinan dari suatu gen gandum, Caixia Gao dan timnya di Chinese Academy of Sciences di Beijing berhasil menciptakan galur yang resisten terhadap jamur tepung.
Para petani sudah menyesuaikan gen dalam spesies tunggal—dengan melakukan persilangan—selama ribuan tahun. CRISPR sekadar menawarkan cara yang lebih akurat untuk melakukan hal yang sama. Di beberapa negara, termasuk Jerman, Swedia, dan Argentina, badan pengatur pertanian membedakan antara GMO dan memanipulasi dengan alat seperti CRISPR. Ada tanda-tanda bahwa Food and Drug Administration AS mungkin mengikutinya, sehingga produk yang dibuat melalui CRISPR lebih banyak tersedia dan mudah diatur daripada pangan atau obat yang dimodifikasi secara genetika.
potensi penelitian crispr untuk menghasilkan obat yang lebih baik bagi manusia tidaklah terlalu berlebihan. Teknologi ini telah mengubah penelitian kanker sehingga lebih mudah merekayasa sel tumor di laboratorium, kemudian menguji berbagai obat untuk mengamati obat mana yang dapat menghentikan pertumbuhan sel tumor itu. Tidak lama lagi para dokter akan dapat menggunakan CRISPR untuk menangani sejumlah penyakit secara langsung.
Sel induk yang diambil dari penderita hemofilia, misalnya, dapat dimanipulasi di luar tubuh untuk memperbaiki cacat genetik penyebab penyakit tersebut, lalu sel normal dapat disisipkan untuk mengisi kembali aliran darah pasien.
Dalam dua tahun ke depan, mungkin kita akan menyaksikan kemajuan di bidang kedokteran yang bahkan lebih mencengangkan.
Selama bertahun-tahun ilmuwan mencari cara untuk menggunakan organ hewan guna mengatasi kekurangan donor. Babi sudah lama dianggap sebagai hewan mamalia pilihan, antara lain karena ukuran organnya mirip dengan ukuran organ manusia. Namun, genom babi dipenuhi virus PERV (porcine retrovirus endogen), yang mirip virus penyebab AIDS dan terbukti mampu menginfeksi sel manusia. Belakangan ini retrovirus babi berhasil dibasmi.
George Church, guru besar di Harvard Medic-al School dan MIT, menggunakan CRISPR untuk menghilangkan semua kemunculan gen PERV yang berjumlah 62 dari sel ginjal babi.
Saat ilmuwan mencampurkan sel hasil manipulasi itu dengan sel manusia di laboratorium, tidak satu pun sel manusia itu terinfeksi. Kelompok itu juga memodifikasi, dalam serangkaian sel babi lainnya, 20 gen yang diketahui menyebabkan reaksi dalam sistem kekebalan manusia.
Sekarang Church sudah meng-klon sel-sel tersebut dan mulai menumbuhkannya dalam embrio babi. Dia berharap dapat memulai percobaan pada primata dalam satu atau dua tahun lagi. Jika semua organ itu berfungsi dengan baik dan tidak ditolak oleh sistem kekebalan hewan percobaan, langkah berikutnya adalah mencobanya pada manusia. Church bercerita bahwa hal ini bahkan sudah dapat terjadi dalam 18 bulan ke depan, sambil menambahkan bahwa bagi banyak orang, jika percobaan ini tidak dilakukan, dapat dipastikan mereka akan meninggal.
Selama ini Church ingin menemukan cara untuk menyediakan organ cangkok bagi orang yang dianggap tidak cukup sehat untuk dapat menerimanya. “Sistem yang paling mirip de-ngan sekelompok orang yang menentukan hidup mati orang di negara ini adalah keputusan yang diambil tentang siapa yang berhak mendapatkan cangkok organ,” katanya. “Banyak dari keputusan diambil berdasarkan faktor kesehatan buruk seseorang. Banyak orang ditolak karena mengidap penyakit menular atau menyalahgunakan narkoba—alasannya bermacam-macam. Dan diyakini bahwa mereka tidak akan mendapatkan manfaat dari cangkok organ. Padahal tentu saja mereka dapat memperoleh manfaatnya. Jika cangkok organ yang tersedia berlimpah, kita dapat melakukan pencangkokan pada semua orang yang memerlukannya.”
musang kaku hitam (Mustela nigripes) adalah mamalia yang paling terancam punah di Ame-rika Utara. Dalam 50 tahun terakhir, ahli ekologi margasatwa menduga hewan itu, yang pernah sangat banyak jumlahnya di seluruh Great Plains, sudah punah. Setiap musang kaki hitam yang hidup saat ini adalah keturunan dari salah satu dari tujuh leluhurnya yang ditemukan pada 1981 di peternakan dekat Meeteetse, Wyoming.
Namun, musang yang hanya tujuh ekor itu, yang lingkup perkawinannya terbatas selama beberapa generasi, tidak memiliki keragaman genetik, sehingga kian sulit bertahan hidup.
“Musang adalah contoh klasik seluruh spesies yang berhasil diselamatkan oleh teknologi genom,” kata Ryan Phelan dari kelompok Revive & Restore, yang mengkoordinasi berbagai upaya untuk menerapkan genomika pada pelestarian. Bersama Oliver Ryder di San Diego Frozen Zoo, Phelan dan koleganya berupaya meningkatkan keragaman musang dengan memasukkan bera-gam DNA ke dalam genom hewan itu dari dua ekor musang yang dilestarikan 30 tahun lalu.
Penelitian Phelan dapat menanggulangi dua ancaman. Yang pertama adalah tidak adanya pangan: Anjing padang rumput (Cynomys), mangsa utama musang, musnah akibat wabah di hutan, yang disebabkan oleh bakteri yang sama yang menimbulkan wabah penyakit pes pada manusia. Dan wabah itu juga berakibat fatal bagi musang, yang terinfeksi karena memangsa bangkai anjing padang rumput yang mati karena penyakit itu. Vaksin untuk menanggulangi wabah pada manusia yang dikembangkan pada 1990-an tampaknya memberikan kekebalan seumur hidup pada musang. Tim dari Fish and Wildlife Service telah menangkap, memvaksinasi, dan melepaskan musang (beberapa ratus ekor hidup di alam liar). Namun, pendekatan musang seekor demi seekor ini tidak berhasil melindunginya.
Solusi canggih diusulkan oleh Kevin Esvelt, yang mengembangkan beberapa teknologi CRISPR dan penggerak gen bersama Church. “Yang harus dilakukan hanyalah menghasilkan resistensi,” katanya menjelaskan—dengan me-nyandi antibodi yang dihasilkan oleh vaksinasi, lalu memanipulasinya menjadi DNA musang.
Esvelt yakin, pendekatan yang sama bukan saja dapat membantu musang menolak wabah, melainkan juga dapat ikut memberantas penyakit Lyme, yang disebabkan oleh bakteri (Borrelia burgdorferi) yang ditularkan oleh kutu (Ixodes scapularis) yang biasa dimakan oleh mencit berkaki putih (Peromyscus leucopus).
Jika resistensi terhadap Lyme bisa dimanipulasi ke dalam DNA mencit dengan CRISPR dan disebarkan melalui populasi liar, penyakit itu mungkin berkurang atau hilang dan tidak terlalu berdampak buruk bagi lingkungan. Namun, Esvelt dan Church, sama-sama yakin bahwa percobaan semacam itu tidak boleh dilakukan tanpa partisipasi masyarakat dan apabila para ilmuwan yang melaksanakannya telah mengembangkan sistem pembalikan, semacam penangkal. Seandainya hasil manipulasi asli menunjukkan dampak ekologis tak terduga, mereka dapat menggunakan penangkal itu ke seluruh populasi untuk mengembalikan keadaan semula.
Musang kaki hitam bukan satu-satunya hewan yang dapat diselamatkan melalui CRISPR. Populasi unggas Hawaii dengan cepat menyusut, terutama karena sejenis malaria menginfeksi unggas. Sebelum kapal pemburu paus membawa nyamuk pada awal abad ke-19, unggas di Kepulauan Hawaii tidak pernah terpapar penyakit yang dibawa nyamuk, dan karena itu tidak kebal. Dewasa ini hanya tersisa 42 dari seratusan spesies unggas yang berevolusi di Hawaii, dan tiga perempatnya terancam punah. American Bird Conservancy menyebut Hawaii sebagai “tempat terbesar di dunia yang unggasnya terancam punah.” Malaria unggas bukanlah satu-satunya ancaman terhadap unggas asli Hawaii yang masih bertahan, tetapi jika kepunahan ini tidak terbendung—dan manipulasi gen tampaknya merupakan cara terbaik untuk membendungnya—mungkin semuanya dapat menjumpai kepunahan.
Jack Newman adalah mantan direktur keilmuan di Amyris, yang memelopori pengembangan artemisinin sintetis, satu-satunya obat manjur untuk mengobati malaria pada manusia. Sekarang dia memusatkan perhatian pada pembasmian penyakit yang dibawa nyamuk pada unggas. Satu-satunya metode saat ini untuk melindungi unggas dari malaria adalah membasmi nyamuk dengan menyebarkan zat kimia kuat di wilayah yang sangat luas. Bahkan, upaya itu pun tidak sepenuhnya berhasil.
Hanya saja, banyak nyamuk hidup dan berkembang biak jauh di dalam rongga pohon atau dalam retakan batu tersembunyi. Untuk mencapainya boleh dikatakan sama saja dengan meracuni margasatwa di hutan hujan Hawaii. Namun, manipulasi gen, yang menyebabkan nyamuk steril, dapat membantu menyelamatkan unggas tanpa merusak lingkungan mereka. “Menggunakan genetika untuk menyelamatkan spesies ini hanyalah cara yang sangat terarah untuk menanggulangi masalah lingkungan,” kata Newman. “Malaria unggas menghancurkan margasatwa Hawaii, dan ada cara untuk menghentikannya. Apakah kita hanya diam berpangku tangan?”
pada februari 2016, Direktur US National Intelligence James Clapper mengingatkan dalam laporan tahunannya kepada Senat bahwa teknologi seperti CRISPR dipandang sebagai calon senjata pemusnah massal. Banyak ilmuwan yang menganggap komentar tersebut tidak berdasar, atau setidaknya terlalu ekstrem. Ada cara yang lebih mudah bagi para teroris untuk menyerang orang daripada menggunakan CRISPR untuk menimbulkan wabah baru tanaman atau virus mematikan.
Meskipun demikian, sungguh picik jika kita pun berpura-pura bahwa hal ini tidak mungkin berbahaya. Para ilmuwan yang paling bertanggung jawab atas kemajuan CRISPR sependapat bahwa apabila kita mulai bermain-main dengan warisan genetik dari spesies lain, apalagi spesies kita sendiri, mungkin tidak mudah, atau bahkan tidak mungkin, untuk mundur kembali.
“Apa akibat buruk dari manipulasi genom?” tanya Jennifer Doudna, ketika kami mengobrol di kantornya di University of California, Berkeley, tempatnya mengajar mata kuliah kimia dan biologi molekul. Pada 2012, Doudna dan koleganya yang orang Prancis, Emmanuelle Charpentier adalah yang pertama kali memperagakan bahwa ilmuwan dapat menggunakan CRISPR untuk memanipulasi DNA murni dalam cawan di laboratorium. “Saya tidak tahu apakah kita tahu cukup banyak tentang genom manusia, atau mungkin genom spesies lain, untuk benar-benar dapat menjawab pertanyaan itu. Namun, orang akan menggunakan teknologi itu, baik pengetahuannya mencukupi ataupun tidak.”
Semakin cepat ilmu pengetahuan meng-antarkan umat manusia ke depan, tampaknya semakin mengerikan. Memang selalu begitu. Sebentar lagi dapat dipastikan akan muncul eksperimen yang menggunakan kit CRISPR laksana tukang patri rumahan yang bermain-main dengan radio amatir atau komputer. Masuk akal untuk merasa khawatir jika kita membayangkan ilmuwan amatir menggunakan perkakas yang dapat mengubah genetika dasar tanaman dan hewan.
Namun, manfaat perkakas ini juga nyata, dan begitu pula risikonya jika kita mengabaikannya. Setiap tahun, nyamuk menyebabkan penderitaan besar di seluruh dunia, dan pemberantasan malaria atau penyakit lain yang dibawa nyamuk akan dipandang sebagai prestasi terbesar dunia kedokteran. Meskipun jelas terlalu dini untuk mempertimbangkan penggunaan CRISPR dalam embrio manusia yang viabel, ada berbagai cara lain selain memanipulasi silsilah bahan gen manusia yang dapat menyembuhkan penyakit tanpa mengubah silsilah genetik spesies kita.
Anak-anak yang lahir dengan penyakit TaySachs, misalnya, kekurangan enzim penting yang diperlukan tubuh untuk mencerna zat limbah lemak yang terdapat dalam otak. Penyakit itu sangat langka dan terjadi hanya apabila kedua orang tua menurunkan gen cacat kepada si anak. Dengan CRISPR, akan mudah menangani kontribusi salah satu orang tua—katakanlah sperma ayah—untuk memastikan bahwa si anak tidak menerima dua salinan gen yang cacat. Intervensi semacam itu jelas dapat menyelamatkan nyawa tanpa memengaruhi setiap bagian dari warisan genetik anak, dan hanya memastikan bahwa anak juga tidak akan membawa gen cacat. Hasil sama sudah dicapai melalui fertilisasi in vitro, dengan menanamkan embrio tanpa TaySachs pada ibu.
Ketika menghadapi risiko yang sulit di-evaluasi, kita cenderung memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Namun, mengingat ada jutaan orang yang menghadapi risiko, berdiam diri pun sama berbahayanya. Pada Desember 2015, para ilmuwan dari seluruh dunia berkumpul di Washington untuk mendiskusikan masalah etika. Diskusi lebih lanjut sudah direncanakan. Tidak akan pernah ada jawaban sederhana, tetapi tanpa panduan pengatur untuk memanipulasi DNA—potensi luar biasa revolusi ini dapat kalah oleh rasa takut.
“Dengan penggerak gen (gen drive) dan CRISPR, sekarang kita memiliki kekuasaan untuk menangani segala macam spesies, kekuasaan yang sebelumnya dianggap tidak mungkin dimiliki,” kata Hank Greely, direktur Stanford Center for Law and Biosciences. “Kebajikan yang mungkin dapat kita lakukan sungguh luar biasa. Namun, perlu diakui bahwa kita berhadapan dengan jenis kekuasaan yang benar-benar baru, dan kita harus mencari cara yang menjamin bahwa kita menggunakannya dengan bijaksana. Saat ini kita masih belum memiliki panduan itu, padahal keperluannya sudah sangat mendesak.”
sumber: diterjemahkan dari National Georaphic.
Di samping meja
nya terlihat kain rentang yang menampilkan satu spesies khusus—Aedes aegypti—dalam setiap tahap perkembangannya. Pelat nomor mobilnya bertuliskan: AEDES.
“Sudah 30 tahun ini saya terobsesi oleh nyamuk,” kata James, pakar genetika molekul di University of California, Irvine.
Ada sekitar 3.500 spesies nyamuk, namun bagi James hanya sebagian yang menarik perhatiannya. Termasuk di antaranya adalah Anopheles gambiae, yang menularkan parasit malaria yang menewaskan ratusan ribu orang setiap tahun. Namun, James membaktikan sebagian besar kariernya untuk meneliti Aedes. Para ahli sejarah menyakini bahwa nyamuk tiba di Benua Amerika melalui kapal budak dari Afrika pada abad ke-17, membawa demam kuning. Dewasa ini nyamuk juga membawa demam berdarah atau DB. Selain itu juga membawa patogen yang semakin mengancam seperti chikungunya, virus West Nile, dan Zika.
Berawal tahun lalu di Brasil, wabah Zika kian meluas dan menyebabkan berbagai gangguan saraf, termasuk cacat langka yang disebut mikrosefali, yakni bayi lahir dengan kepala kecil dan otak yang tidak berkembang.
Sasaran James, adalah menemukan cara untuk memanipulasi gen nyamuk sehingga serangga itu tidak dapat lagi menyebarkan penyakit. Perjuangan James ibarat jalan yang panjang. Namun, dengan menggabungkan teknologi baru revolusioner yang disebut CRISPR-Cas9 dengan sistem alami yang dikenal sebagai penggerak gen (gene drive), teori itu dengan cepat menjadi kenyataan.
Untuk pertama kalinya, dengan cepat dan tepat, ilmuwan dapat mengubah, menghapus, dan menata-ulang DNA hampir semua makhluk hidup, termasuk DNA kita. Dalam tiga tahun terakhir, teknologi ini telah berhasil mengubah dunia biologi. Bekerja dengan model binatang, para peneliti di laboratorium di seluruh dunia sudah menggunakan CRISPR untuk mengoreksi cacat genetik utama, termasuk mutasi yang menyebabkan distrofi otot, fibrosis sistik, dan salah satu jenis hepatitis. Namun, banyak ilmuwan yakin bahwa teknologi ini dapat berperan dalam penyembuhan AIDS.
Dalam sejumlah percobaan, ilmuwan menggunakan CRISPR untuk memberantas virus dari babi, yang menyebabkan organnya tidak dapat dicangkokkan ke manusia. Para ahli ekologi menjajaki berbagai cara agar teknologi itu dapat ikut melindungi spesies yang terancam punah. Selain itu, ahli biologi tanaman, memulai upaya untuk menghilangkan gen pemikat hama. Dengan mengandalkan biologi, bukan zat kimia, CRISPR dapat ikut mengurangi ketergantungan kita pada pestisida beracun.
Tidak ada temuan ilmiah dalam satu abad terakhir ini yang memberikan lebih banyak harapan—atau memunculkan lebih banyak pertanyaan merisaukan dalam ranah etika. Jika CRISPR digunakan untuk memanipulasi silsilah embrio manusia—sel yang berisi materi genetik yang dapat diwa-riskan oleh generasi berikutnya—baik untuk mengoreksi cacat genetik atau untuk meningkatkan sifat yang diinginkan; perubahan tersebut kemudian akan diwariskan ke anaknya, dan cucunya, selamanya. Implikasinya sulit diramalkan, bahkan boleh dikatakan mustahil diramalkan.
“Ini teknologi luar biasa, yang manfaatnya sangat besar dalam berbagai bidang. Namun, jika kita akan melakukan sesuatu yang bersejarah, seperti menulis-ulang silsilah materi genetik, harus ada alasan kuat untuk melakukannya,” kata Eric Lander, direktur dari Broad Institute of Harvard dan MIT, yang juga pemimpin Human Genome Project. “Dan kita harus dapat menjamin bahwa masyarakat memang sependapat—jika tidak ada kesepakatan luas, mustahil hal itu dapat dilakukan.”
“Ilmuwan tidak memiliki kesepakatan bulat untuk menjawab berbagai pertanyaan itu,” ujar Lander.
crispr-cas9 memiliki dua komponen. Yang pertama adalah enzim—Cas9—yang berfungsi sebagai pisau sel untuk memotong DNA. (Di alam, bakteri menggunakannya untuk memutuskan dan melucuti sandi genetik virus penyerang.) Komponen kedua terdiri atas pemandu RNA yang mengarahkan pisau itu ke nukleotida yang tepat—huruf kimia DNA—yang harus dipotong.
Akurasi pemandu itu luar biasa; ilmuwan dapat mengirimkan bagian pengganti sintetis ke lokasi mana pun dalam suatu genom yang terbuat dari miliaran nukleotida. Setelah mencapai lokasi tujuan, enzim Cas9 memotong urutan DNA yang tidak diinginkan. Untuk menambal bekasnya, sel itu menyisipkan rantai nukleotida yang dikirimkan dalam paket CRISPR.
Ketika wabah Zika di Puertoriko berakhir, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS memperkirakan setidaknya seperempat dari 3,5 juta orang di Puertoriko terjangkit Zika. Artinya, ribuan perempuan hamil mungkin terinfeksi.
Hingga saat ini satu-satunya cara paling efektif untuk membasmi Zika adalah dengan insektisida. James dan ilmuwan lainnya mengatakan bahwa memanipulasi nyamuk dengan CRISPR—dan menggunakan penggerak gen untuk membuat perubahan permanen—menawarkan cara yang jauh lebih baik.
Gen secara tradisional bertanggung jawab dalam aturan pewarisan sifat. Biasanya keturunan hewan reproduksi seksual menerima satu salinan gen dari masing-masing orang tuanya. Namun, ada gen yang “egois”: Evolusi menyebabkan gen egois ini memiliki peluang lebih dari 50 persen untuk diwariskan. Menurut teori, ilmuwan dapat menggabungkan CRISPR dengan gen untuk mengubah sandi genetik suatu spesies dengan menempelkan urutan DNA yang diinginkan ke gen yang dikehendaki sebelum melepaskan hewan itu untuk kawin secara alami. Cara ini dapat memaksakan masuknya hampir semua sifat genetik ke suatu populasi.
Tahun lalu, dalam penelitian yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, James menggunakan CRISPR untuk merekayasa versi nyamuk Anopheles yang membuat mereka tidak mampu menyebarkan parasit malaria.
“Selama puluhan tahun saya bekerja tanpa ada yang mengakui. Namun, sekarang semuanya berubah—telepon terus berdering selama berminggu-minggu,” kata James.
Memerangi nyamuk Ae. aegypti, yang membawa begitu banyak patogen, membutuhkan cara yang agak berbeda. “Yang harus kami lakukan,” katanya, “adalah merekayasa gen yang menyebabkan serangga itu menjadi steril. Tidak ada gunanya merekayasa nyamuk yang resisten terhadap Zika jika masih tetap dapat menularkan demam berdarah dan penyakit lainnya.”
Untuk memberantas demam berdarah, James dan koleganya merancang paket CRISPR yang dengan mudah menghapus gen alami dari induk nyamuk dan mengganti dengan versi yang dapat menyebabkan keturunannya steril. Jika nyamuk hasil rekayasa itu dilepaskan dalam jumlah yang cukup, untuk kawin, maka dalam beberapa generasi (yang masing-masing biasanya bertahan dua atau tiga minggu saja) seluruh spesies itu akan membawa versi hasil rekayasa.
James sangat menyadari bahwa melepaskan mutasi yang dirancang untuk menyebar dengan cepat melalui populasi yang hidup bebas di alam dapat memiliki konsekuensi tak terduga yang mungkin tidak mudah dibalikkan. “Tentu saja ada risiko yang terkait dengan melepaskan serangga yang telah dimanipulasi di laboratorium,” katanya. “Namun, saya percaya bahwa jika kita tidak melakukannya, bahayanya jauh lebih besar.”
telah lebih dari 40 tahun berlalu sejak ilmuwan menemukan cara untuk memotong nu-kleotida dari gen suatu organisme dan menempelkannya ke dalam gen organisme lain untuk memasukkan sifat yang diinginkan. Para ahli biologi molekul semangat sekali mengha-dapi kemungkinan terbukanya peluang melalui praktik ini, yang disebut DNA rekombinan. Namun, sejak awal para ilmuwan juga menyadari bahwa jika mereka dapat mengalihkan DNA antar-spesies, mungkin saja secara tidak disengaja mengalihkan virus dan patogen lainnya. Hal itu dapat menimbulkan penyakit tak terduga, yang mungkin tidak ada perlindungan, perlakuan, atau penyembuhan alami.
Pada 1975, para ahli biologi molekul dari seluruh dunia berkumpul di Asilomar Conference Grounds, California, untuk mendiskusikan tantangan yang dihadirkan teknologi baru ini. Mereka menyepakati serangkaian langkah pengamanan, termasuk tingkat keamanan laboratorium yang harus diperketat seiring dengan potensi risiko yang ditimbulkan oleh berbagai percobaan itu.
Segera menjadi jelas bahwa perlindungan itu berfungsi dengan baik dan bahwa manfaat yang mungkin diraih sangat besar. Rekayasa gene-tika mulai memperbaiki kehidupan jutaan orang. Penderita diabetes, misalnya, dapat meng-andalkan pasokan stabil insulin hasil rekayasa genetika. Tanaman hasil rekayasa genetika mulai mengubah tata cara pertanian di dunia.
Obat hasil rekayasa genetika telah diterima secara luas, tanaman yang dihasilkan dengan cara yang mirip ini masih belum diterima, meskipun banyak penelitian menunjukkan bahwa produk tersebut tidak lebih berbahaya untuk dikonsumsi dibandingkan pangan lainnya.
CRISPR bisa saja merupakan solusi dari kontroversi yang bersifat ilmiah dan budaya ini. Definisi kata “transgenik” dan “GMO” yang menggabungkan DNA spesies yang tidak pernah bisa kawin di alam. Ilmuwan berharap bahwa penggunaan CRISPR untuk mengubah DNA dapat meredakan tentangan pihak oposisi. CRISPR membuat para peneliti mampu merancang-ulang gen khusus tanpa harus memasukkan DNA dari spesies lain.
Beras emas, misalnya, adalah hasil rekayasa melalui GMO agar beras mengandung gen yang diperlukan untuk memproduksi vitamin A di bagian butiran yang dapat dimakan—sesuatu yang tidak terjadi secara alami pada tanaman padi. Setiap tahun, sekitar setengah juta anak di negara berkembang buta karena kekurangan vitamin A—tetapi para aktivis anti-GMO mengganggu penelitian dan mencegah produksi komersial beras tersebut. Dengan CRISPR, ilmuwan hampir bisa dipastikan mencapai hasil yang sama hanya dengan mengubah gen yang sudah aktif dalam tanaman padi.
Para ilmuwan di Jepang menggunakan CRISPR untuk memperpanjang usia tomat dengan mematikan gen yang mengendalikan keranuman. Dengan menghilangkan ketiga salinan dari suatu gen gandum, Caixia Gao dan timnya di Chinese Academy of Sciences di Beijing berhasil menciptakan galur yang resisten terhadap jamur tepung.
Para petani sudah menyesuaikan gen dalam spesies tunggal—dengan melakukan persilangan—selama ribuan tahun. CRISPR sekadar menawarkan cara yang lebih akurat untuk melakukan hal yang sama. Di beberapa negara, termasuk Jerman, Swedia, dan Argentina, badan pengatur pertanian membedakan antara GMO dan memanipulasi dengan alat seperti CRISPR. Ada tanda-tanda bahwa Food and Drug Administration AS mungkin mengikutinya, sehingga produk yang dibuat melalui CRISPR lebih banyak tersedia dan mudah diatur daripada pangan atau obat yang dimodifikasi secara genetika.
potensi penelitian crispr untuk menghasilkan obat yang lebih baik bagi manusia tidaklah terlalu berlebihan. Teknologi ini telah mengubah penelitian kanker sehingga lebih mudah merekayasa sel tumor di laboratorium, kemudian menguji berbagai obat untuk mengamati obat mana yang dapat menghentikan pertumbuhan sel tumor itu. Tidak lama lagi para dokter akan dapat menggunakan CRISPR untuk menangani sejumlah penyakit secara langsung.
Sel induk yang diambil dari penderita hemofilia, misalnya, dapat dimanipulasi di luar tubuh untuk memperbaiki cacat genetik penyebab penyakit tersebut, lalu sel normal dapat disisipkan untuk mengisi kembali aliran darah pasien.
Dalam dua tahun ke depan, mungkin kita akan menyaksikan kemajuan di bidang kedokteran yang bahkan lebih mencengangkan.
Selama bertahun-tahun ilmuwan mencari cara untuk menggunakan organ hewan guna mengatasi kekurangan donor. Babi sudah lama dianggap sebagai hewan mamalia pilihan, antara lain karena ukuran organnya mirip dengan ukuran organ manusia. Namun, genom babi dipenuhi virus PERV (porcine retrovirus endogen), yang mirip virus penyebab AIDS dan terbukti mampu menginfeksi sel manusia. Belakangan ini retrovirus babi berhasil dibasmi.
George Church, guru besar di Harvard Medic-al School dan MIT, menggunakan CRISPR untuk menghilangkan semua kemunculan gen PERV yang berjumlah 62 dari sel ginjal babi.
Saat ilmuwan mencampurkan sel hasil manipulasi itu dengan sel manusia di laboratorium, tidak satu pun sel manusia itu terinfeksi. Kelompok itu juga memodifikasi, dalam serangkaian sel babi lainnya, 20 gen yang diketahui menyebabkan reaksi dalam sistem kekebalan manusia.
Sekarang Church sudah meng-klon sel-sel tersebut dan mulai menumbuhkannya dalam embrio babi. Dia berharap dapat memulai percobaan pada primata dalam satu atau dua tahun lagi. Jika semua organ itu berfungsi dengan baik dan tidak ditolak oleh sistem kekebalan hewan percobaan, langkah berikutnya adalah mencobanya pada manusia. Church bercerita bahwa hal ini bahkan sudah dapat terjadi dalam 18 bulan ke depan, sambil menambahkan bahwa bagi banyak orang, jika percobaan ini tidak dilakukan, dapat dipastikan mereka akan meninggal.
Selama ini Church ingin menemukan cara untuk menyediakan organ cangkok bagi orang yang dianggap tidak cukup sehat untuk dapat menerimanya. “Sistem yang paling mirip de-ngan sekelompok orang yang menentukan hidup mati orang di negara ini adalah keputusan yang diambil tentang siapa yang berhak mendapatkan cangkok organ,” katanya. “Banyak dari keputusan diambil berdasarkan faktor kesehatan buruk seseorang. Banyak orang ditolak karena mengidap penyakit menular atau menyalahgunakan narkoba—alasannya bermacam-macam. Dan diyakini bahwa mereka tidak akan mendapatkan manfaat dari cangkok organ. Padahal tentu saja mereka dapat memperoleh manfaatnya. Jika cangkok organ yang tersedia berlimpah, kita dapat melakukan pencangkokan pada semua orang yang memerlukannya.”
musang kaku hitam (Mustela nigripes) adalah mamalia yang paling terancam punah di Ame-rika Utara. Dalam 50 tahun terakhir, ahli ekologi margasatwa menduga hewan itu, yang pernah sangat banyak jumlahnya di seluruh Great Plains, sudah punah. Setiap musang kaki hitam yang hidup saat ini adalah keturunan dari salah satu dari tujuh leluhurnya yang ditemukan pada 1981 di peternakan dekat Meeteetse, Wyoming.
Namun, musang yang hanya tujuh ekor itu, yang lingkup perkawinannya terbatas selama beberapa generasi, tidak memiliki keragaman genetik, sehingga kian sulit bertahan hidup.
“Musang adalah contoh klasik seluruh spesies yang berhasil diselamatkan oleh teknologi genom,” kata Ryan Phelan dari kelompok Revive & Restore, yang mengkoordinasi berbagai upaya untuk menerapkan genomika pada pelestarian. Bersama Oliver Ryder di San Diego Frozen Zoo, Phelan dan koleganya berupaya meningkatkan keragaman musang dengan memasukkan bera-gam DNA ke dalam genom hewan itu dari dua ekor musang yang dilestarikan 30 tahun lalu.
Penelitian Phelan dapat menanggulangi dua ancaman. Yang pertama adalah tidak adanya pangan: Anjing padang rumput (Cynomys), mangsa utama musang, musnah akibat wabah di hutan, yang disebabkan oleh bakteri yang sama yang menimbulkan wabah penyakit pes pada manusia. Dan wabah itu juga berakibat fatal bagi musang, yang terinfeksi karena memangsa bangkai anjing padang rumput yang mati karena penyakit itu. Vaksin untuk menanggulangi wabah pada manusia yang dikembangkan pada 1990-an tampaknya memberikan kekebalan seumur hidup pada musang. Tim dari Fish and Wildlife Service telah menangkap, memvaksinasi, dan melepaskan musang (beberapa ratus ekor hidup di alam liar). Namun, pendekatan musang seekor demi seekor ini tidak berhasil melindunginya.
Solusi canggih diusulkan oleh Kevin Esvelt, yang mengembangkan beberapa teknologi CRISPR dan penggerak gen bersama Church. “Yang harus dilakukan hanyalah menghasilkan resistensi,” katanya menjelaskan—dengan me-nyandi antibodi yang dihasilkan oleh vaksinasi, lalu memanipulasinya menjadi DNA musang.
Esvelt yakin, pendekatan yang sama bukan saja dapat membantu musang menolak wabah, melainkan juga dapat ikut memberantas penyakit Lyme, yang disebabkan oleh bakteri (Borrelia burgdorferi) yang ditularkan oleh kutu (Ixodes scapularis) yang biasa dimakan oleh mencit berkaki putih (Peromyscus leucopus).
Jika resistensi terhadap Lyme bisa dimanipulasi ke dalam DNA mencit dengan CRISPR dan disebarkan melalui populasi liar, penyakit itu mungkin berkurang atau hilang dan tidak terlalu berdampak buruk bagi lingkungan. Namun, Esvelt dan Church, sama-sama yakin bahwa percobaan semacam itu tidak boleh dilakukan tanpa partisipasi masyarakat dan apabila para ilmuwan yang melaksanakannya telah mengembangkan sistem pembalikan, semacam penangkal. Seandainya hasil manipulasi asli menunjukkan dampak ekologis tak terduga, mereka dapat menggunakan penangkal itu ke seluruh populasi untuk mengembalikan keadaan semula.
Musang kaki hitam bukan satu-satunya hewan yang dapat diselamatkan melalui CRISPR. Populasi unggas Hawaii dengan cepat menyusut, terutama karena sejenis malaria menginfeksi unggas. Sebelum kapal pemburu paus membawa nyamuk pada awal abad ke-19, unggas di Kepulauan Hawaii tidak pernah terpapar penyakit yang dibawa nyamuk, dan karena itu tidak kebal. Dewasa ini hanya tersisa 42 dari seratusan spesies unggas yang berevolusi di Hawaii, dan tiga perempatnya terancam punah. American Bird Conservancy menyebut Hawaii sebagai “tempat terbesar di dunia yang unggasnya terancam punah.” Malaria unggas bukanlah satu-satunya ancaman terhadap unggas asli Hawaii yang masih bertahan, tetapi jika kepunahan ini tidak terbendung—dan manipulasi gen tampaknya merupakan cara terbaik untuk membendungnya—mungkin semuanya dapat menjumpai kepunahan.
Jack Newman adalah mantan direktur keilmuan di Amyris, yang memelopori pengembangan artemisinin sintetis, satu-satunya obat manjur untuk mengobati malaria pada manusia. Sekarang dia memusatkan perhatian pada pembasmian penyakit yang dibawa nyamuk pada unggas. Satu-satunya metode saat ini untuk melindungi unggas dari malaria adalah membasmi nyamuk dengan menyebarkan zat kimia kuat di wilayah yang sangat luas. Bahkan, upaya itu pun tidak sepenuhnya berhasil.
Hanya saja, banyak nyamuk hidup dan berkembang biak jauh di dalam rongga pohon atau dalam retakan batu tersembunyi. Untuk mencapainya boleh dikatakan sama saja dengan meracuni margasatwa di hutan hujan Hawaii. Namun, manipulasi gen, yang menyebabkan nyamuk steril, dapat membantu menyelamatkan unggas tanpa merusak lingkungan mereka. “Menggunakan genetika untuk menyelamatkan spesies ini hanyalah cara yang sangat terarah untuk menanggulangi masalah lingkungan,” kata Newman. “Malaria unggas menghancurkan margasatwa Hawaii, dan ada cara untuk menghentikannya. Apakah kita hanya diam berpangku tangan?”
pada februari 2016, Direktur US National Intelligence James Clapper mengingatkan dalam laporan tahunannya kepada Senat bahwa teknologi seperti CRISPR dipandang sebagai calon senjata pemusnah massal. Banyak ilmuwan yang menganggap komentar tersebut tidak berdasar, atau setidaknya terlalu ekstrem. Ada cara yang lebih mudah bagi para teroris untuk menyerang orang daripada menggunakan CRISPR untuk menimbulkan wabah baru tanaman atau virus mematikan.
Meskipun demikian, sungguh picik jika kita pun berpura-pura bahwa hal ini tidak mungkin berbahaya. Para ilmuwan yang paling bertanggung jawab atas kemajuan CRISPR sependapat bahwa apabila kita mulai bermain-main dengan warisan genetik dari spesies lain, apalagi spesies kita sendiri, mungkin tidak mudah, atau bahkan tidak mungkin, untuk mundur kembali.
“Apa akibat buruk dari manipulasi genom?” tanya Jennifer Doudna, ketika kami mengobrol di kantornya di University of California, Berkeley, tempatnya mengajar mata kuliah kimia dan biologi molekul. Pada 2012, Doudna dan koleganya yang orang Prancis, Emmanuelle Charpentier adalah yang pertama kali memperagakan bahwa ilmuwan dapat menggunakan CRISPR untuk memanipulasi DNA murni dalam cawan di laboratorium. “Saya tidak tahu apakah kita tahu cukup banyak tentang genom manusia, atau mungkin genom spesies lain, untuk benar-benar dapat menjawab pertanyaan itu. Namun, orang akan menggunakan teknologi itu, baik pengetahuannya mencukupi ataupun tidak.”
Semakin cepat ilmu pengetahuan meng-antarkan umat manusia ke depan, tampaknya semakin mengerikan. Memang selalu begitu. Sebentar lagi dapat dipastikan akan muncul eksperimen yang menggunakan kit CRISPR laksana tukang patri rumahan yang bermain-main dengan radio amatir atau komputer. Masuk akal untuk merasa khawatir jika kita membayangkan ilmuwan amatir menggunakan perkakas yang dapat mengubah genetika dasar tanaman dan hewan.
Namun, manfaat perkakas ini juga nyata, dan begitu pula risikonya jika kita mengabaikannya. Setiap tahun, nyamuk menyebabkan penderitaan besar di seluruh dunia, dan pemberantasan malaria atau penyakit lain yang dibawa nyamuk akan dipandang sebagai prestasi terbesar dunia kedokteran. Meskipun jelas terlalu dini untuk mempertimbangkan penggunaan CRISPR dalam embrio manusia yang viabel, ada berbagai cara lain selain memanipulasi silsilah bahan gen manusia yang dapat menyembuhkan penyakit tanpa mengubah silsilah genetik spesies kita.
Anak-anak yang lahir dengan penyakit TaySachs, misalnya, kekurangan enzim penting yang diperlukan tubuh untuk mencerna zat limbah lemak yang terdapat dalam otak. Penyakit itu sangat langka dan terjadi hanya apabila kedua orang tua menurunkan gen cacat kepada si anak. Dengan CRISPR, akan mudah menangani kontribusi salah satu orang tua—katakanlah sperma ayah—untuk memastikan bahwa si anak tidak menerima dua salinan gen yang cacat. Intervensi semacam itu jelas dapat menyelamatkan nyawa tanpa memengaruhi setiap bagian dari warisan genetik anak, dan hanya memastikan bahwa anak juga tidak akan membawa gen cacat. Hasil sama sudah dicapai melalui fertilisasi in vitro, dengan menanamkan embrio tanpa TaySachs pada ibu.
Ketika menghadapi risiko yang sulit di-evaluasi, kita cenderung memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Namun, mengingat ada jutaan orang yang menghadapi risiko, berdiam diri pun sama berbahayanya. Pada Desember 2015, para ilmuwan dari seluruh dunia berkumpul di Washington untuk mendiskusikan masalah etika. Diskusi lebih lanjut sudah direncanakan. Tidak akan pernah ada jawaban sederhana, tetapi tanpa panduan pengatur untuk memanipulasi DNA—potensi luar biasa revolusi ini dapat kalah oleh rasa takut.
“Dengan penggerak gen (gen drive) dan CRISPR, sekarang kita memiliki kekuasaan untuk menangani segala macam spesies, kekuasaan yang sebelumnya dianggap tidak mungkin dimiliki,” kata Hank Greely, direktur Stanford Center for Law and Biosciences. “Kebajikan yang mungkin dapat kita lakukan sungguh luar biasa. Namun, perlu diakui bahwa kita berhadapan dengan jenis kekuasaan yang benar-benar baru, dan kita harus mencari cara yang menjamin bahwa kita menggunakannya dengan bijaksana. Saat ini kita masih belum memiliki panduan itu, padahal keperluannya sudah sangat mendesak.”
sumber: diterjemahkan dari National Georaphic.