sejumlah anak sedang bermain di halaman rumah |
Nusa
tenggara Timur merupakan salah satu propinsi yang di kategorikan sebagai
propinsi dengan jumlah penduduk miskin cukup banyak di Indonesia. Berdasarkan
data yang di keluarkan oleh Badan Pusat Statiskik dalam website resmi mereka,
tertulis untuk semester pertama periode Maret-Agustus 2016, propinsi dengan
jumlah penduduk te
rmiskin di Indonesia adalah Papua dengan prosentase penduduk miskin 28.54%. Sementara peringkat ke dua di susul oleh Papua Barat dengan jumlah penduduk miskin 25,54% sementara posisi ke tiga di raih oleh propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan prosentase penduduk miskin 22,19% dari total penduduk miskin di seluruh Indonesia.
Ini tentu saja bukanlah prestasi yang membanggakan dan bukanlah peringkat yang patut di acungi jempol. Melihat data yang di sajikan oleh Badan Pusat Statisk tersebut, jika di kaitkan dengan masalah keseharian masyarakat NTT, penulis akhirnya menemukan benang merah yang menjadi jawaban atas pertanyaa, mengapa kasus human trafficking marak terjadi di NTT?.
Jika kita melihat lagi ke belakang ada beberapa fakta yang mendukung hipotesis ini yakni; Flores Pos edisi 23 Agustus 2016 menurunkan berita, “Aparat Polres Manggarai menangkap perekrut TKI ilegal, Ferdinandus Adur (40), warga Pakang, Desa Torok Golo, Kecamatan Rana Mese Manggarai Timur. Pelaku ditangkap polisi di Kampung Wade, Desa Wae Rii, Kecamatan Wae Rii, Manggarai.
Selain itu Pos Kupang pada hari yang sama menurunkan berita serupa. “Aparat Kepolisian Resor (Polres) Kupang menangkap 13 pelaku human trafficking (perdagangan manusia) dengan tujuh jaringan berbeda dan telah mengirimkan 1.667 orang warga NTT ke Medan, Sumatra Utara dan Malaysia. Sementara dari Bali pernah terjadi upaya penggagalan penyelundupan TKI asal sumba yang dilakukan oleh pihak angkasa pura 1 Denpasar setelah dilaporkan oleh perwakilan Ikatan Keluarga Besar Flobamora Dewata beberapa bulan yang lalu.
Secara garis besar ada beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa kejahatan human trafficking marak di NTT yakni sebagai berikut.
rmiskin di Indonesia adalah Papua dengan prosentase penduduk miskin 28.54%. Sementara peringkat ke dua di susul oleh Papua Barat dengan jumlah penduduk miskin 25,54% sementara posisi ke tiga di raih oleh propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan prosentase penduduk miskin 22,19% dari total penduduk miskin di seluruh Indonesia.
Ini tentu saja bukanlah prestasi yang membanggakan dan bukanlah peringkat yang patut di acungi jempol. Melihat data yang di sajikan oleh Badan Pusat Statisk tersebut, jika di kaitkan dengan masalah keseharian masyarakat NTT, penulis akhirnya menemukan benang merah yang menjadi jawaban atas pertanyaa, mengapa kasus human trafficking marak terjadi di NTT?.
Jika kita melihat lagi ke belakang ada beberapa fakta yang mendukung hipotesis ini yakni; Flores Pos edisi 23 Agustus 2016 menurunkan berita, “Aparat Polres Manggarai menangkap perekrut TKI ilegal, Ferdinandus Adur (40), warga Pakang, Desa Torok Golo, Kecamatan Rana Mese Manggarai Timur. Pelaku ditangkap polisi di Kampung Wade, Desa Wae Rii, Kecamatan Wae Rii, Manggarai.
Selain itu Pos Kupang pada hari yang sama menurunkan berita serupa. “Aparat Kepolisian Resor (Polres) Kupang menangkap 13 pelaku human trafficking (perdagangan manusia) dengan tujuh jaringan berbeda dan telah mengirimkan 1.667 orang warga NTT ke Medan, Sumatra Utara dan Malaysia. Sementara dari Bali pernah terjadi upaya penggagalan penyelundupan TKI asal sumba yang dilakukan oleh pihak angkasa pura 1 Denpasar setelah dilaporkan oleh perwakilan Ikatan Keluarga Besar Flobamora Dewata beberapa bulan yang lalu.
Secara garis besar ada beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa kejahatan human trafficking marak di NTT yakni sebagai berikut.
Pertama,Kemiskinan
Kemiskinan
merupakan faktor pendukung kebenaran hipotesis saya di atas. Memang harus di
akui bahwasanya ada korelasi antara kemiskinan dan kejahatan perdagangan
manusia.
Ketika orang berada dalam kondisi yang tertekan terutama karena tidak memiliki apa-apa, maka manusia akan cenderung mengesampingkan rasionalitas dalam bertindak termasuk melakukan pencurian, tindak criminal lain dan juga gampang di pengaruhi.
Inilah yang di manfaatkan oleh beberapa sindikat perdagangan manusia dan menjadi alasan kuat mengapa mereka meraja lela di Propinsi NTT.
Ketika orang berada dalam kondisi yang tertekan terutama karena tidak memiliki apa-apa, maka manusia akan cenderung mengesampingkan rasionalitas dalam bertindak termasuk melakukan pencurian, tindak criminal lain dan juga gampang di pengaruhi.
Inilah yang di manfaatkan oleh beberapa sindikat perdagangan manusia dan menjadi alasan kuat mengapa mereka meraja lela di Propinsi NTT.
Persoalan
rendahnya sumber daya manusia yang merata di Propinsi NTT menjadi faktor
pendukung kedua yang lagi-lagi membenarkan hipotesis saya. Data badan pusat
statistic menempatkan propinsi NTT sebagai salah satu propinsi dengan tingakat
buta aksara yang masih tinggi.
Di tengah tingginya angka buta aksara dimana populasi masyarakat berstatus Drop out Sekolah dasar lebih besar dari pada SMP,SMA Dan pendidikan tinggi. Ini lagi-lagi bukanlah isapan jempol, ini merupakan celah bagi pelaku sindikat human trafficking untuk menjebak korbanya. Pelaku kejahatan human trafficking dalam beberapa kasus yang di tangani pihak kepolisisan mislanya, memanfaatkan penduduk lokal setempat dengan status pendidikan Drop out sekolah dasar sebagai perekrut tenaga kerja.
Di mana perekrut yang ada di lapangan tidak pernah mengikuti pelatihan, apa lagi melihat kondisi riil dari orang-orang yang akan di berangkatkan. Perekrut hanya bekerja dengan upah yang di terima per kepala. Yakni suatu sistem pembayaran yang di berikan kepada perekrut di lapangan oleh sindikat human trafficking yang ditentukan dari banyaknya calon korban yang hendak diberangkatkan. Ini adalah modus lama dan marak terjadi di NTT, perekrut biasanya memberikan sejumlah uang yang di sebut dengan uang siri-pinang kepada pihak keluarga korban.
Sebagai ucapan terima kasih karena telah memperbolehkan anak-anak mereka bekerja dan mengikuti perekrut. Besarnya uang siri-pinang ini berkisar antara RP.800.000 sampai RP.1000.000. orang tua yang tidak mengetahui apa-apa pun memperbolehkan anaknya pergi dan tidak akan pernah kembali ke kampung halaman.
Di tengah tingginya angka buta aksara dimana populasi masyarakat berstatus Drop out Sekolah dasar lebih besar dari pada SMP,SMA Dan pendidikan tinggi. Ini lagi-lagi bukanlah isapan jempol, ini merupakan celah bagi pelaku sindikat human trafficking untuk menjebak korbanya. Pelaku kejahatan human trafficking dalam beberapa kasus yang di tangani pihak kepolisisan mislanya, memanfaatkan penduduk lokal setempat dengan status pendidikan Drop out sekolah dasar sebagai perekrut tenaga kerja.
Di mana perekrut yang ada di lapangan tidak pernah mengikuti pelatihan, apa lagi melihat kondisi riil dari orang-orang yang akan di berangkatkan. Perekrut hanya bekerja dengan upah yang di terima per kepala. Yakni suatu sistem pembayaran yang di berikan kepada perekrut di lapangan oleh sindikat human trafficking yang ditentukan dari banyaknya calon korban yang hendak diberangkatkan. Ini adalah modus lama dan marak terjadi di NTT, perekrut biasanya memberikan sejumlah uang yang di sebut dengan uang siri-pinang kepada pihak keluarga korban.
Sebagai ucapan terima kasih karena telah memperbolehkan anak-anak mereka bekerja dan mengikuti perekrut. Besarnya uang siri-pinang ini berkisar antara RP.800.000 sampai RP.1000.000. orang tua yang tidak mengetahui apa-apa pun memperbolehkan anaknya pergi dan tidak akan pernah kembali ke kampung halaman.
Ke
tiga, pemerintah setengah hati mengurusi Tenaga kerja Ilegal.
Ketidak
seriusan pemerintah dalam mengejar dan mengkap pelaku kejahatan kemanusiaan ini
merupakan faktor pendukung maraknya kejahatan human trafficking di NTT, Jika di
lihat beberapa pelaku dalam kasus human trafficking di NTT bahkan melibatkan
beberapa oknum dari kepolisian.
Tak jarang beberapa pelaku yang di tangkap dan diperoses secara hukum mendapat sanksi yang sangat ringan bahkan ada beberapa kasus di mana pelakunya tidak di hukum sama sekali. Miris mendengarnya sementara korban human trafficking asal NTT grafiknya terus mengalami penigkatan dari tahun ke tahun.
Tak jarang beberapa pelaku yang di tangkap dan diperoses secara hukum mendapat sanksi yang sangat ringan bahkan ada beberapa kasus di mana pelakunya tidak di hukum sama sekali. Miris mendengarnya sementara korban human trafficking asal NTT grafiknya terus mengalami penigkatan dari tahun ke tahun.
Ke
empat, Tingakt Pengangguran yang masih tinggi
Ketika
jumlah angkatan kerja tidak setara
dengan ketersediaan lapangan kerja, maka akan menimbulkan pengangguran. Ketika
pengangguran meningkat, maka orang akan mudah terpengaruh oleh iming-iming
pelaku kajahatan apa lagi jika di iming-imingi gaji dan bonus plus-plus, yang
di tawari pelaku. Calon tenaga kerja yang tadinya berada dalam kondisi tidak
bekerja akan mengikuti rayuan pelaku tanpa berpikir panjang.
Hubungi kami di WA 082342994060 untuk pemasangan Iklan |
Lalu
apa yang harus di lakukan dan bagaimana solusinya? Jika saja pemerintah propinsi
NTT bisa menurunkan pringkat kemiskinan yang selama ini di raih oleh Propinsi
NTT, maka penulis yakin, propinsi NTT bisa bebas dan terlepas dari cengkraman
kemiskinan yang selama ini membelenggu, yang pada akhirnya berimplikasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Jika masyarakatnya sejahtera maka sekuat apapun iming-iming pelaku kejahatan tidak akan berhasil. Selain itu, Negara harus hadir melindungi setiap warganya dan hal ini sudah tertuang dalam undang-undang. Negara harus hadir dan gencar dalam melakukan tindakan preemtif jangan menunggu kasus datang baru semuanya begerak seperti saat ini Pelaku kejahatan harus di hokum seberat-beratnya sehingga menimbulkan efek jera.
Harus ada kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk membedakan mana perekrut tenaga kerja yang legal dan mana yang illegal. Hal ini merupakan tugas pemerintah dalam memberikan pendidikan berupa sosialisasi tentang prosedur dan tahapan-tahapan menjadi TKI keluar negeri, sehingga Propinsi NTT bisa terlepas dari cengkraman sindikat pelaku kejahatan kemanusiaan ini.
Jika masyarakatnya sejahtera maka sekuat apapun iming-iming pelaku kejahatan tidak akan berhasil. Selain itu, Negara harus hadir melindungi setiap warganya dan hal ini sudah tertuang dalam undang-undang. Negara harus hadir dan gencar dalam melakukan tindakan preemtif jangan menunggu kasus datang baru semuanya begerak seperti saat ini Pelaku kejahatan harus di hokum seberat-beratnya sehingga menimbulkan efek jera.
Harus ada kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk membedakan mana perekrut tenaga kerja yang legal dan mana yang illegal. Hal ini merupakan tugas pemerintah dalam memberikan pendidikan berupa sosialisasi tentang prosedur dan tahapan-tahapan menjadi TKI keluar negeri, sehingga Propinsi NTT bisa terlepas dari cengkraman sindikat pelaku kejahatan kemanusiaan ini.
Antonius Rahu |
Penulis;
mahasiswa tingkat akhir jurusan pendidikan matematika IKIP PGRI Bali.