"Hal menarik yang dipetik dari pilpres Amerika adalah meskipun Donald Trump menggunakan ISU SARA sebagai lokomotif politiknya tapi hal ini terbukti menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Hal tersebut hanya akan menimbulkan kebencian dari para pendukungnya. Pertanyaanya adalah apakah ini akan efektif, jika diterapkan di Indonesia? bukankah lokomotif ISU SARA ini hanya akan meruntuhkan kemegahan bangunan pluralis yang sudah sekian lama kita bangun bersama di negeri ini?"
OLEH
Antonius Rahu
Demokrasi adalah sebuah istila
yang cukup popular dan hampir sering diucapkan. Kata Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu
"Demos" yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan. Jika kita
kembali ke masa lalu, Yunani merupakan salah satu negara yang ilmu pengetahuan
dan peradabannya maju pada zamannya. Dari sinilah awal perkembangan tentang
hukum demokrasi modern. Seiring berjalannya waktu hingga sekitar abad ke-18
terjadilah revolusi-revolusi termasuk perkembangan demokrasi di berbagai
negara. Konsep demokrasi menjadi salah satu indikator perkembangan sistem
politik sebuah negara. Prinsip Trias
politica yang diterapkan oleh negara demokrasi menjadi sangat utama untuk
memajukan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam
perkembangan selanjutnya para ahli mengemukakan pandanganya tentang demokrasi
sebut saja Aristoteles yang mengemukakan
bahwa demokrasi ialah suatu kebebasan. Prinsip demokrasi ialah kebebasan,
karena hanya melalui kebebasanlah setiap warga negara bisa saling berbagi
kekuasaan didalam negaranya. Aristoteles pun mengatakan apabila seseorang hidup
tanpa kebebasan dalam memilih cara hidupnya, maka sama saja seperti budak.
Sementara Abraham Lincoln mengartikan
demokrasi itu ialah pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sejak kemunculanya pertama kali, sampai saat ini demokrasi merupakan suatu system
pemerintahan yang cukup ideal untuk di jalankan. Karena system pemerintahan
yang terbentuk merupakan hasil dari keinginan rakyat dan rakyat memiliki
otoritas yang sangat besar untuk menentukan pemimpin mereka, melakukan control
atau pengawasan terhadap kinerja pemimpin yang talah di pilih. Maka beramai-ramai
lah Negara-negara di belahan dunia ini untuk menerapkan system pemerintahan ini
termasuk Indonesia.
Hal ini tertuang dalam Konstitusi
Indonesia, UUD 1945, yang menjelaskan bahwa Indonesia adalah sebuah negara
demokrasi. Presiden dalam menjalankan kepemimpinannya harus memberikan
pertanggungjawaban kepada MPR sebagai wakil rakyat. Oleh karena itu secara
hierarky rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi melalui sistem perwakilan
dengan cara pemilihan umum. Jika kita membaca sejarah demokrasi di negeri ini, Pada
era Presiden Soekarno, Indonesia sempat menganut demokrasi terpimpin tahun
1956. Indonesia juga pernah menggunakan demokrasi semu (demokrasi pancasila)
pada era Presiden Soeherto hingga tahun 1998 ketika Era Soeharto yang
kemudian dikenal dengan rezim orde baru berhasil digulingkan oleh gerakan
mahasiswa. Meskipun Gerakan mahasiswa yang telah mengorbankan banyak sekali harta
dan nyawa, namun usaha ini terbayarkan oleh buah-buah demokrasi yang saat ini
kita rasakan. Setelah rezim orde baru berakhir Indonesia kembali menjadi negara
yang benar-benar demokratis hal itu dibuktikan dengan Pemilu demokratis
yang diikuti oleh 48 partai politik yang diselenggarakan tahun 1999 dan dimenangkan
oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan presiden terpilihnya Megawati
Soekarno Putri. Peristiwa ini sekaligus menjadi angin segar bagi tumbuh dan berkembangnya partai politik di indonesia dan sekaligus menjadi penyelenggaraan pemilu pertama yang sangat demokratis.
Pemilihan Umum atau PEMILU adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, serta salah satu bentuk pemenuhan hak asasi warga negara di bidang politik. Pemilu dilaksanakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Sebab, rakyat tidak mungkin memerintah secara langsung. Karena itu, diperlukan cara untuk memilih wakil rakyat dalam memerintah suatu negara selama jangka waktu tertentu. Pemilu dilaksanakan dengan menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam bahasa yang lebih sederhana pemilihan umum merupakan suatu ajang pesta demokrasi yang di selenggarakan untuk memilih calon pemimpin yang akan memimpin masyarkat kedepanya. Tentu saja dalam meraih simpatisan atau pengakuan (recognation) dari rakyat, calon pemimpin harus menjabarkan program kerjanya yang tertuang dalam Visi dan Misi sang calon hal ini di sampaikan dalam masa kampanye. Kemudian memberi ruang kepada publik untuk menentukan siapa pemimpin mereka selama periode waktu tertentu. itu idealnya namun, realitanya kadang-kadang terjadi gesekan antar kandidat calon pemimpin, terutama dalam proses mendapatkan pengakuan (recognation) dari rakyat sebagai pemegang mandat tertinggi. Maka ajang kampanye yang sejatinya diperuntukan bagi sang calon pemimpin untuk memaparkan dan mensosialisasikan Visi dan Misi nya terkadang tergantikan oleh unsur lain, yakni adanya upaya untuk saling menjatuhkan lawan politiknya. Hal ini wajar saja selama para calon pemimpin tidak menggunakan isu SARA yang sangat membahayakan kerukunan umat beragama. Namun realitanya berkata lain, para elit-elit politik di negeri ini akhir-akhir ini sering menggunakan Isu SARA ini sebagai alat politik (Political tools) untuk menjatuhkan lawan politik. jika kita ingat-ingat kembli dalam pilpres 2014 lalu, Isu SARA yang sangat meresahkan publik waktu itu adalah tentang Jokowi calon presiden yang katanya keturunan cina, komunis bahkan bukan islam dan lain sebagainya. hal terbaru juga terjadi dalam konstelasi politik Ibu kota yang masih hangat diperbincangkan yakni soal calon Gubernur Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang di tuduh melakukan penistaan agama. jika kita belajar pada negara yang dikatakan sukses menyelanggarakan demokrasinya seperti Amerika Serikat, Isu SARA inipun dipakai oleh calon presiden dari partai Republik Donald Trump yang menggunakan isu Agama untuk menyerang calon presiden dari partai Demokrat Hilarry Clinton. Namun ada hal yang menarik yang dapat kita petik dari konstelasi politik di negeri paman sam ini, yakni meskipun Donald Trump menggunakan ISU SARA sebagai lokomotif politiknya tapi hal ini terbukti menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Hal tersebut hanya akan menimbulkan kebencian dari para pendukungnya. Pertanyaanya adalah apakah ini akan efektif, jika diterapkan di Indonesia? bukankah lokomotif ISU SARA ini hanya akan meruntuhkan kemegahan bangunan pluralis yang sudah sekian lama kita bangun bersama di negeri ini? Demi kebaikan bersama seharusnya para elit-elit politik di negeri ini menunjukan keteladanan nya. bukan sebaliknya menebar isu SARA demi kepentingan politik, yang pada akhirnya merusak kerukunan antar agama yang sudah sekian lama kita bangun bersama.Isu SARA telah terbukti tidak efektif dalam menaikan elektabilitas sang calon, akan tetapi hanya akan menimbulkan masalah baru yang sangat mengancam keutuhan umat beragama di negeri ini. oleh karena itu elit-elit politik di negeri ini seharusnya tidak menggunakan lokomotif isu SARA ini sebagai alat politik (Political tools) untuk meraih kekuasaan. Bersaing secara sehat dan tanpa isu SARA jauh lebih terhormat dari pada memakai lokomotif Isu SARA, karena akan sulit membangun kembali kerukunan antar agama yang sudah sekian lama kita bangun bersama. Kerukunan yang menjadikan indonesia berbeda dengan negara mayoritas muslim lainya. Kerukunan yang patut di pupuk dan di pelihara secara turun temurun dan bukan untuk di rusak demi kepentingan politik semata.
penulis adalah mahasiswa tingkat akhir di IKIP PGRI Bali.
artikel ini sudah pernah di terbitkan di harian umum Bali Post edisi 22 oktober 2016
Pemilihan Umum atau PEMILU adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, serta salah satu bentuk pemenuhan hak asasi warga negara di bidang politik. Pemilu dilaksanakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Sebab, rakyat tidak mungkin memerintah secara langsung. Karena itu, diperlukan cara untuk memilih wakil rakyat dalam memerintah suatu negara selama jangka waktu tertentu. Pemilu dilaksanakan dengan menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam bahasa yang lebih sederhana pemilihan umum merupakan suatu ajang pesta demokrasi yang di selenggarakan untuk memilih calon pemimpin yang akan memimpin masyarkat kedepanya. Tentu saja dalam meraih simpatisan atau pengakuan (recognation) dari rakyat, calon pemimpin harus menjabarkan program kerjanya yang tertuang dalam Visi dan Misi sang calon hal ini di sampaikan dalam masa kampanye. Kemudian memberi ruang kepada publik untuk menentukan siapa pemimpin mereka selama periode waktu tertentu. itu idealnya namun, realitanya kadang-kadang terjadi gesekan antar kandidat calon pemimpin, terutama dalam proses mendapatkan pengakuan (recognation) dari rakyat sebagai pemegang mandat tertinggi. Maka ajang kampanye yang sejatinya diperuntukan bagi sang calon pemimpin untuk memaparkan dan mensosialisasikan Visi dan Misi nya terkadang tergantikan oleh unsur lain, yakni adanya upaya untuk saling menjatuhkan lawan politiknya. Hal ini wajar saja selama para calon pemimpin tidak menggunakan isu SARA yang sangat membahayakan kerukunan umat beragama. Namun realitanya berkata lain, para elit-elit politik di negeri ini akhir-akhir ini sering menggunakan Isu SARA ini sebagai alat politik (Political tools) untuk menjatuhkan lawan politik. jika kita ingat-ingat kembli dalam pilpres 2014 lalu, Isu SARA yang sangat meresahkan publik waktu itu adalah tentang Jokowi calon presiden yang katanya keturunan cina, komunis bahkan bukan islam dan lain sebagainya. hal terbaru juga terjadi dalam konstelasi politik Ibu kota yang masih hangat diperbincangkan yakni soal calon Gubernur Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang di tuduh melakukan penistaan agama. jika kita belajar pada negara yang dikatakan sukses menyelanggarakan demokrasinya seperti Amerika Serikat, Isu SARA inipun dipakai oleh calon presiden dari partai Republik Donald Trump yang menggunakan isu Agama untuk menyerang calon presiden dari partai Demokrat Hilarry Clinton. Namun ada hal yang menarik yang dapat kita petik dari konstelasi politik di negeri paman sam ini, yakni meskipun Donald Trump menggunakan ISU SARA sebagai lokomotif politiknya tapi hal ini terbukti menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Hal tersebut hanya akan menimbulkan kebencian dari para pendukungnya. Pertanyaanya adalah apakah ini akan efektif, jika diterapkan di Indonesia? bukankah lokomotif ISU SARA ini hanya akan meruntuhkan kemegahan bangunan pluralis yang sudah sekian lama kita bangun bersama di negeri ini? Demi kebaikan bersama seharusnya para elit-elit politik di negeri ini menunjukan keteladanan nya. bukan sebaliknya menebar isu SARA demi kepentingan politik, yang pada akhirnya merusak kerukunan antar agama yang sudah sekian lama kita bangun bersama.Isu SARA telah terbukti tidak efektif dalam menaikan elektabilitas sang calon, akan tetapi hanya akan menimbulkan masalah baru yang sangat mengancam keutuhan umat beragama di negeri ini. oleh karena itu elit-elit politik di negeri ini seharusnya tidak menggunakan lokomotif isu SARA ini sebagai alat politik (Political tools) untuk meraih kekuasaan. Bersaing secara sehat dan tanpa isu SARA jauh lebih terhormat dari pada memakai lokomotif Isu SARA, karena akan sulit membangun kembali kerukunan antar agama yang sudah sekian lama kita bangun bersama. Kerukunan yang menjadikan indonesia berbeda dengan negara mayoritas muslim lainya. Kerukunan yang patut di pupuk dan di pelihara secara turun temurun dan bukan untuk di rusak demi kepentingan politik semata.
penulis adalah mahasiswa tingkat akhir di IKIP PGRI Bali.
artikel ini sudah pernah di terbitkan di harian umum Bali Post edisi 22 oktober 2016