Beo Mbata di potret dari golo robo |
Sinar
mentari pagi samar-samar menusuk kulit bumi. Pagi yang cerah berubah sayu dalam
cahaya pantulan di lembah Mbata. Hanya bayangan meruncing, lalu merayap
perlahan dan lenyap.
Mbata terlalu kokoh memunggungi sinar itu. Hingga
ia pun mengalah setelah bulu-bulu cahaya itu meninggi, memecah bayang.
Sementara, Deretan pegunungan melingkar bagaikan dinding penghalang sekaligus
pelindung. Itulah Mbata sebuah nama yang selalu mengingatkanku akan masa kecil.
Mbata
adalah sebuah perkampungan (beo) yang terdiri dari beberapa kampung kecil. Dahulu konon
katanya menurut cerita Almarhum Nenek Rosalia Ja,ung yang masih terngiang di benaku hingga saat ini.
Mbata adalah sebuah areal perkebunan (warga setempat menyebutnya uma) milik orang Ngusu. Karena jarak
antara Ngusu dan Mbata lumayan jauh, apalagi di tambah dengan tanjakan Golo
Robo yang ekstream maka orang Ngusu yang memiliki uma di Mbata sering bermukim
untuk sementara waktu sampai musim panen tiba, (kegiatan bermukim ini disebut
mbong) di Mbata.
Lama kelamaan
mungkin karena alasan sumber makanan yang tersedia cukup, ditambah lagi dengan
tanahnya yang subur, maka semakin banyak orang Ngusu yang bermukim di Mbata.
Dalam
perkembangan selanjutnya bukan hanya orang Ngusu yang mendiami daerah ini,
melainkan orang luar juga.
Memang tidak ada catatan yang jelas mengenai kapan
tepatnya daerah mbong ini dinaikan statusnya menjadi perkampungan atau beo Mbata,
akan tetapi beberapa bukti yang cukup autentik seolah menceritakan fakta yang
sebenarnya.
Jika di perhatikan dengan saksama, kepemilikan areal perkebunan
kopi yang berhektar-hektar luasnya dari wae Bron hingga Zong, yang kini menjadi
ikon dan kebanggaan orang Mbata hampir 70 persen milik orang Ngusu. Sisanya 30 persen milik orang
Mbata.
Demikian juga jika di lihat dari kepemilikan areal persawahan sebut
saja Beka, Wae Sle dll.
Memang harus di akui populasi orang Ngusu yang masih
memiliki sawah di Beka kian menurun salah satu alasanya adalah karena jaraknya
yang jauh, ini kemudian menjadi alasan bagi orang Ngusu untuk menjual tanahnya.
angkutan umum yg melewati beo mbata |
Jika di
lihat dari status kepemilikan wilayah lodok, maka Mbata merupakan daerah di bawah kekuasaan orang Ngusu dengan lodok Gilongnya, di mana otoritas tertinggi adalah orang-orang Ngusu.
Sebut saja
Meka Ngga sebagai tu,a Teno. Ini lagi-lagi menghantarkan kita pada sebuah
kebenaran asumsi bahwasanya Mbata merupakan daerah mbong nya orang Ngusu yang
kemudian dinaikan statusnya menjadi beo Mbata karena jumlah orang yang mbong
di Mbata sudah memenuhi syarat untuk di jadikan Beo.
Apa lagi beberapa syarat
dari berdirinya Beo bagi orang Manggarai adalah adanya perkebunan sebagai
sumber makanan (uma atau lodokn pe,an), adanya wae teku (sumber mata air)
seperti wae waka wu,an dan wae si,or/wae sle dan jumlah orang yang bermukim di
suatu tempat memenuhi persyaratan.
Dengan penduduk
yang semakin bertambah, kini Mbata yang dulunya menjadi daerah mbong berubah
menjadi perkampungan atau Beo dengan perkembangan yang sangat pesat.
Hal tersebut didukung dengan berdirinya beberapa fasilitas public seperti sekolah, Puskesmas dan
sebagainya menjadikan Beo Mbata semakin ramai.
Apa lagi kini Mbata sudah dialiri
listrik PLN dari Borong, maka saya yakin Mbata yang dulunya merupakan daerah
mbong kini berubah menjadi beo yang sangat pesat perkembanganya.
Meskipun Beo
Mbata yang berada di balik gunung namun ada memori masa lalu yang masih
tersimpan. Memori yang selalu menimbulkan adanya kerinduan dalam hati.
Kerinduan
untuk kembali merajut masa lalu yang terkubur, kerinduan untuk menuntun ase-ase
saya yang masih perlu dicerdaskan, dan kerinduan untuk melihat senyuman lopo Dortea
Dai dan mekas Saltus Baru.
Merasakan nikmatnya minum kopi tanpa Gula (kopi
pa,it) dan tete Ndate, kerinduan untuk menyapa mekas mama agu lopo nina, serta ase-ka,e
di Mbata.
Antonius Rahu |
Penulis adalah Mahasiswa tingkat
Akhir jurusan pendidikan Matematika di IKIP PGRI Bali, alumnus SDK Mbata tahun
2004, SMP N 1 Ruteng 2007, dan SMA N 1 Ruteng tahun 2010.