“sebagai
kaum muda Manggarai alangkah eloknya jika Jahidin mengenakan topi songkok dalam
acara diskusi public seperti yang dilakukan oleh Ruhut Sitompul beberapa waktu
lalu, dari pada mengikuti aksi demonstrasi yang hanya mewakili kelompoknya tapi
bertentangan dengan pandangan orang Manggarai secara umum namun menyeret orang
Manggarai kedalam pusaran konflik melalui atribut songkok yang dikenakan.”
Antonius Rahu |
Oleh
Antonius Rahu
Ketika Bola panas bernama “penistaan
agama” itu menggelinding dalam arena pilgub DKI maka, semesta pembicaraan
publik pun kini berubah dari yang hanya sebatas politik sekarang merambah ke
panggung agama.
Awal mulanya hanya berasal dari pernyataan calon gubernur
petahana Basuki Tjahja Purnama di kepulauan seribu, tentang surat Almaidah ayat
51 namun karena tensi politik di DKI kian memanas maka pernyataan ini pun ditafsirkan secara berbeda oleh beberapa kaum yang kemudian menimbulkan pro
kontra dalam masyarakat.
Pro kontra pun kian memanas
buntutnya adalah adanya demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa ormas muslim
di DKI yang dipimpin langsung oleh salah satu ormas muslim terbesar yakni
Front Pembela Islam atau yang sering dikenal dengan sebutan FPI.
Bericara tentang PILGUB DKI
dan aksi demonstrasi ormas Muslim di ibu kota yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, tepatnya kemarin rabu 3 november 2016 ada satu topik yang
menarik perhatian publik terutama di kalangan orang Manggarai Raya, setelah di
halaman depan media online floreseditorial.com menurunkan berita dengan judul “camat komodo mengecam warganya yang memakai
topi songke Manggarai saat demo FPI di DKI”.
Berita ini langsung menyedot
perhatian publik terutama di kalangan orang Manggarai Raya meklum salah satu
oknum yang katanya mahasiswa pasca sarjana di salah satu universitas di Jakarta
yang merupakan peserta demo tertangkap camera
wartawan mengenakan topi peci bermotif songke atau yang sering di sebut songkok
di Manggarai.
Dalam berita tersebut juga tidak dijelaskan mengapa oknum
misterius tersebut mengenakan songkok saat mengikuti aksi demo di DKI bersama
FPI beberapawaktu lalu.
Hal tersebut langsung menuai kecaman dari warga
Manggarai Raya, bahkan caci maki yang dialamatkan kepada oknum yang kemudian diakui bernama Mohamad Jahidin pun menghiasi status di jejaring sosial warga
Manggarai Raya.
Lalu mengapa orang Manggarai Marah? Mengapa orang Manggarai tidak marah setelah sebelumnya Ruhut sitompul yang bukan orang Manggarai juga pernah mengenakan topi yang sama dalam diskusi politik di stasiun televisi swasta nasional?
Lalu mengapa orang Manggarai Marah? Mengapa orang Manggarai tidak marah setelah sebelumnya Ruhut sitompul yang bukan orang Manggarai juga pernah mengenakan topi yang sama dalam diskusi politik di stasiun televisi swasta nasional?
Orang Manggarai tampaknya
kesal dengan ulah Mohamad Jahidin, karena mengenakan songkok yang khas dengan adat
Manggarai apa lagi pemakainya berada di tengah kerumunan ormas FPI yang sedang
berdemonstrasi dan itu sangat tidak merepresentasikan bahkan bertentangan
dengan pandangan warga Manggarai Raya secara umum.
Dalam surat pernyataan yang
kembali diturunkan di media floreseditorial.com Jahidin menyampaikan maafnya
kepada masyarakat Manggarai Raya.
Mohamad Jahidin berargumen “pemakaian songkok
dalam aksi demonya bersama ormas FPI adalah bentuk pelestarian kekayaan
budaya Manggarai, penggunaan songkok
tersebut bukan berarti memberikan dukungan dari masyarakat Manggarai Raya.”
Akan tetapi yang perlu diingat adalah atribut
adat yang dikenakan oleh seseorang bisa saja merepresentasikan identitas orang
tersebut dan bisa saja ini menggiring opini publik terutama di luar orang
Manggarai bahwasanya orang Manggarai Raya
juga mendukung aksi demo yang dilakukan Jahidin dan teman-temanya di Ibu
kota.
Yang perlu diingat kembali adalah Mohamad Jahidin mengikuti aksi demo
tersebut mewakili kelompok dan dirinya sendiri, bukan mewakili masyarakat
Manggarai Raya.
Akan tetapi Jahidin telah berusaha menyeret-nyeret orang Manggarai
ke dalam pusaran konflik yang tengah menggelinding di pusat Ibu kota tersebut
melalui pemakaian atribut songkok, hal ini bisa saja ditafsirkan sebagai
bentuk dukungan masyarakat Manggarai Raya dalam aksi demo FPI di Ibukota.
Sebagai kaum mudah Manggarai
sudah selayaknya kita menjunjung tinggi adat dan budaya kita, melalui
penggunaan atribut adat seperti songkok, kain tenun songke dan sebagainya.
Itu
memang patut diacungi jempol namun ada satu hal yang harus diperhatikan yakni
pemakaianya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Apa yang dilakukan oleh
Jahidin adalah pemakaian atribut adat yang tidak pada tempatnya dan ini sangat
berbahaya bagi kerukunan umat beragama di tanah Manggarai.
Di sisi lain Jahidin
mau menyeret masyarakat Manggarai ke dalam pusaran konflik yang kian memanas di
ibukota.
Oleh karena itu, sebagai kaum mudah yang juga berasal dari Manggarai
saya berpandangan bahwa alangkah eloknya, jika Jahidin mengenakan topi songkok
tersebut dalam acara diskusi publik seperti yang dilakukan oleh Ruhut Sitompul
beberapa waktu lalu.
Hal ini sangat diapresiasi oleh masyarakat Manggarai, dari
pada mengikuti aksi demonstrasi yang hanya mewakili kelompoknya tapi
bertentangan dengan pandangan orang Manggarai secara umum namun menyeret orang
Manggarai melalui atribut songkok yang dikenakan.
Sehingga tidak ada lagi
kebencian dan rasa dendam di kalangan masyarakat Manggarai.
Dan menjadi
mahasiswa Manggarai yang benar-benar membanggakan orang Manggarai bukan
sebaliknya menimbulkan kegaduhan dan amarah.
Penulis:
Mahasiswa tingkat akhir jurusan pendidikan Matematika di IKIP PGRI Bali berasal
dari Manggarai.
tulisan ini sudah pernah di publikasikan di media online floreseditorial edisi 4 november 2016
tulisan ini sudah pernah di publikasikan di media online floreseditorial edisi 4 november 2016