- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Mutiara Adat Di Desa Watu Lanur Manggarai Timur

    Penulis: Antonius Rahu | Editor:Tim Redaksi
    04 Desember, 2016, 06:11 WIB Last Updated 2018-01-17T15:20:22Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1
    Ilustrasi


    HUTAN Banggarangga di Kabupaten Manggarai Timur pagi itu bagaikan sedang pulas tertidur. Tak ada satu kendaraan pun yang mengusik ketenteraman para penghuni belantara, kecuali mobil Taff yang kami tumpangi.


    Melalui jalan beraspal kami menembusi kabut pagi, menuruni lembah menuju ke selatan. Setelah sejam perjalanan, terbentanglah gunung-gemunung di hadapan kami. 

    Di sana-sini tampak perkampungan penduduk. Di lereng-lereng gunung terukir petak-petak sawah rakyat, dikelilingi hutan kopi yang sedap di pandang mata. 

    Di kejauhan, tampak juga sebuah kampung besar Bea Muring.

    Tujuan kami sebenarnya adalah sebuah kampung di sebelah Bea Muring, namanya Rejo. Kabarnya di sana akan ada perayaan Paskah secara adat Manggarai. 

    Dalam rangka riset ilmiah, saya mencari misa adat sebagai salah satu fenomen dalam gereja lokal.

    Liturgi Katolik menamakan perayaan misa seperti itu: Misa Adat atau Misa Inkulturasi. Inkulturasi berarti menjadikan perayaan liturgi perayaan umat, sesuai dengan budaya, adat dan kekayaan tradisinya. 

    Dan, perayaan Minggu Paskah di Rejo ternyata telah disiapkan matang secara adat.

    Misa diawali dengan perarakan masuk menggunakan lagu adat dengan motif  ronda (lagu perarakan dalam tradisi Manggarai). 

    Para penari dan anggota koor adat berpakaian kain songke (kain tenunan Manggarai) dan selendang serta kain pengikat kepala.

    Dengan langkah anggun dalam irama tari sae dan raga, mereka bergerak menuju altar. Para penari pria berhiaskan pedang adat bergelar limbang tacik dan cunga bura. 

    Mereka mengantar para petugas liturgis dan imam, yang semuanya berpakaian adat Manggarai, menuju altar.

    Meskipun misa dirayakan dalam bahasa Indonesia, namun semua lagu dinyanyikan dalam bahasa Manggarai diiringi gendang dan gong, serta diiringi tarian adat. 

    Selain para penari dan anggota koor yang berpakaian adat Manggarai, pastor pemimpin misa juga mengenakan ikat kepala, penghias wajah tubi rapa lambang kepemimpinan dan selendang Manggarai, lendang leros (selendang warna kuning).
    ***

    DUNIA modern yang menyajikan kemudahan sering membuat  anak manusia terlena. Lupa akan tradisi dan budaya tradisionalnya. 


    Segala sesuatu sepertinya menjadi sangat mudah karena memang teknologi mempermudah segala hikayat manusia.

    Tetapi, Rejo bersama para pemimpin masyarakat dan gereja, Romo Frans Supartan, Pr, Kepala Desa Muda, Pice, Kepala SD, Paulus Sadan, dan juga komponis adat bapak Geradus Ganu, tidak tega membuat adat hilang dari keseharian masyarakat. 

    Misa adat Paskah adalah contohnya. Yang ikut aktif dalam latihan persiapan misa adat tersebut adalah kaum muda dan kaum terpelajar, di bawah asuhan para tetua adat desa Watulanur.

    „Selain acara-acara dan ritus-ritus adat, misa adat adalah sarana sakral dalam melestarikan dan mendarahdagingkan iman dalam kasanah adat dan adat dalam kasanah iman,“ demikian Romo Frans, yang ditegaskan oleh Pak Paul.

    Pak Paul sebagai kepala SD Rejo, juga berusaha menanamkan rasa cinta dan memiliki adat kepada para muridnya. „Karena manusia adalah adat, dan adat adalah manusia,“ katanya.


    Perjalanan pulang kami sepertinya ditangisi langit. Hujan turun dengan derasnya. Bagaikan menangisi lunturnya adat dalam kehidupan manusia modern. 

    Rejo hilang dalam kabut tipis di belakang kami. Tetapi, kenangan keakraban penduduknya dengan tradisi dan adat membuat kami berjanji akan kembali.

    Wajah dan senyum polos warga Rejo akan terukir di bab-bab awal disertasi S3 saya. Di samping saya, om sopir Yos terlihat tenggelam dalam nostalgia adat Rejo. 

    Bapak Simon Hambur, pejabat pemerintahan Kabupaten Manggarai Timur yang ikut dalam rombongan riset, tampak berseri-seri.

    Rejo telah membuat hidup kami semakin berwarna-warni. Ibarat selendang, lendang leros (selendang warna kuning) yang menghiasi bahu dan pundak penduduknya dalam paduan kain kabaya dan songke Manggarai yang harmonis.  (*)

    Penulis: P. Dr. Vincent Adi Gunawan Meka SVD
    Seorang Pastor asal Nonggu manus Manggarai Timur gelar Doktor di raihnya dari John Paul II Chatolic University Of Lublin-Polandia  bidang etnonusikologi
    Komentar

    Tampilkan

    ads