Hidup yang baik seharusnya berjalan dalam prinsip.
Prinsip hidup bisa menjadi penopang atau menuntun hidup itu sendiri. Karenanya, prinsip perlu terpatri abadi dalam
pikiran dan batin seseorang. Dengan prinsip hidup yang baik, seseorang dalam
bertindak wajad dan adab dalam kehidupan bersama.
Tentu, prinsip sebaiknya tidak bertentangan dengan
nilai-nilai universal yang menjadi takaran hidup bersama masyarakat dunia. Dalam
Cambridge Dictionary, prinsip didefiniskan “a basic idea or rule that
explain or control how something happens or works”.
Prinsip hidup berarti ide dasar atau garis tegas
untuk hidup yang lebih baik. Orang mengatakan, prinsip memang harus tegas
tetapi luwes dalam cara. Bahasa Latinnya, fortite in re suaviter in mode.
Tentu saja hal itu penting sebab dalam berprinsip
setiap orang juga terpaksa berhadapan dengan prinsip hidup orang lain atau
komunitas lain. Oleh karena itu, cara-cara hidup harus selalu luwes biar biar
bernegoisasi dengan orang lain atau komunitas masyarakat lain.
Orang Manggarai
Secara umum, orang Manggarai adalah orang yang lahir dan hidup dalam kebiasaan
dan adat Manggarai. Orang Manggarai selalu hidup dan akrab dengan budayanya,
yaitu adat dan ritual Manggarai.
Di situ, ada nilai, norma dan prinsip yang harus
ditaati oleh orang Manggarai. Kemana pun seorang Manggarai pergi, ia akan ingat
satu ungkapan “neka hemong kuni agu kalo”. Artinya jangan lupa tanah dan budaya
Manggarai.
Orang Manggarai sangat akrab dengan tanah. Mereka
tumbuh dan berkembang dalam budaya agraris. Bertani dan berkebun sudah menjadi
bagian dalam kehidupan orang Manggarai. Sangat jarang dijumpai orang Manggarai
yang mata pencaharianya adalah nelayan.
Orang Manggarai tidak terlalu akrab dengan laut.
Oleh karena itu, perbendaharaan kata yang berkaitan dengan nelayan, ikan dan
laut merupakan kata-kata serapan dari bahasa Ende, Bima dan Bugis. Misalnya,
kata nanga (muara) dari bahasa Ende.
Oleh karena itu, orang Manggarai tidak mengenal
ritual adat yang berkaitan dengan laut. Ritual adat orang Manggarai hanya akrab
dengan lingkungan daratan, yakit rumah, kebun, hutan, mata air dan lain-lain.
Diantaranya adalah ritual penti (tahun baru Manggarai), tuke mbaru
(pernikahan), cear cumpe (pemberian nama), kelas (kematian) dan lain-lain.
Bumi adalah simbol “ibu” (endé) dan langit bermentari sebagai simbol “bapak” (ema). Nenek moyak orang Manggarai itu, laki-laki dan perempuan, memakan umbi-umbian dan hasil-hasil hutan.
Mereka membuat api dengan menggosokkan dua bilah bambu. Pakaian dibuat dari kulit pohon yang orang Manggarai sebut sebagai pohon lale (artocarpus elastica). Tanah Manggarai pun dikenal dengan Nuca Lale.
Di bumi Nuca Lale inilah orang-orang Manggarai membangun peradaban dengan mendirikan rumah, kebun, ladang, serta merumuskan budaya dalam nilai dan norma adat secara bersama-sama (lonto leok).
Prinsip Hidup
Budaya selalu berkenaan dengan selebrasi idea, makna dan nilai yang dimengerti sebagai spirit (Geist) dalam kehidupan manusia. Melalui budaya itu lahir prinsip-prinsip sebagai bangunan konstitusi kehidupan bersama suatu komunitas sosial.
Setiap anggota komunitas sosial itu suka atau tidak suka harus mengikuti alur prinsip itu. Dalam sebuah komunitas sosial yang kental dengan ritual dan adat, prinsip-prinsip hidup bersama harus diikuti oleh semua anggota agar terhindar dari denda adat, hukum adat bahkan tulah adat.
Dalam budaya orang Manggarai, terdapat 5 (lima) ruang prinsip yang menjadi warisan tanpa surat wasiat kepada generasi-generasi Manggarai.
Mengintip ruang prinsip hidup orang Manggarai berarti membuka ruang rekfleksi dan mencari tetesan makna atas budaya Manggarai yang membekas dalam habitus orang Manggarai. Ada makna yang berkelindan dan saling memperkaya dalam setiap gerak dan spirit bersama orang Manggarai.
Akan tetapi, ruang itu harus dijelaskan meski harus terbirit-birit dalam kata dan jabaran yang nyaris tak pernah tuntas. Ruang prinsip itu terdiri atas, pertama, mbaru bate ka’eng. Artinya, rumah sebagai tempat tinggal. Secara etimologi, kata “mbaru” berasal dari dua padanan kata “mbau” (tempat rindang-noun) dan “ru” (kata milik-possesive pronoun).
Jadi kata mbaru adalah tempat rindang milik pribadi atau diartikan sebagai rumah. Rumah sangat penting bagi orang Manggarai. Sebagai tempat tinggal, rumah memiliki fungsi sosial-politik, keamanan, religius-magis.
Rumah orang Manggarai bermakna magis dan sakral karena pada saat pendirian rumah selalu dilakukan ritual-ritual adat mulai dari peletakan batu pertama, hesé nok (ritual berdiri tiang nok), we’e mbaru (ritual rumah selesai dibuat) dan lain sebagainya.
Hubungi kami di WA 082342994060 untuk pemasangan Iklan |
Secara sosial politik, rumah berfungsi sebagai tempat berkumpul semua keluarga untuk saling menyapa, membina, menyelesaikan persoalan atau pun berdiskusi tentang masa depan keluarga. Karenanya, rumah menjadi tempat yang aman untuk berlindung bagi keluarga dan berbagi kehangatan.
Rumah selalu menjadi tempat yang rindang untuk beristirahat dan berlindung bagi para penghuni rumah atau sebuah keluarga. Bagi orang Manggarai, rumah adalah sosok ibu yang terus mengayomi anak-anaknya. Ingat rumah berarti ingat ibu/mama.
Kedua, uma bate duat. Artinya kebun sebagai tempat bekerja. Bagi orang Manggarai yang kental budaya agraris, kebun merupakan sumber nafkah dalam hidup. Dengan berkebun, sebuah kehidupan keluarga dapat menjadi sejahtera.
Uma sangat dekat dengan sosok ayah/laki-laki. Ayah bekerja di kebun, ibu di rumah. Ayah pergi bekerja saat pagi, dan pulang ketika petang tiba. Setiap keluarga selalu dijamin memiliki kebun untuk bekerja.
Kaum lelaki bekerja di kebun baik di tanah ulayat (lingko) ataupun kebun pribadi (moso). Dalam konteks uma bate duat, seorang laki-laki tidak boleh membawa pekerjaannya di rumah.
Pekerjaan harus diurus dan diselesaikan di tempat kerja, bukan di rumah. Sebab, rumah merupakan tempat beristirahat dan bercengkrama bersama keluarga.
Ketiga, natas bate labar. Artinya, halaman sebgai tempat bermain. Ada halaman rumah, ada pula halaman kampung. Setiap orang Manggarai yang membangun harus juga menyediakan natas (halaman) sebagai tempat bermain untuk anak-anak atau keluarga.
Dengan adanya halaman rumah, anak-anak tidak bermain di sembarang tempat yang justru menimbulkan bahaya bagi anak-anak itu sendiri. Begitu juga dengan kampung, harus ada halaman kampung (natas beo).
Natas beo berfungsi sebagai “ruang publik” bagi masyarakat kampung. Di natas beo, masyarakat berkumpul untuk mengadakan kegiatan-kegiatan bersama, seperti ritual adat penti, tarian caci, tarian danding, sanda, mbata, dendek dan berbagai jenis ritual dan tarian adat lainnya.
Maka, bagi orang Manggarai, konsep bermain (labar) selalu tertuju pada natas.
Keempat, wae bate teku. Artinya, air diambil untuk
kebutuhan hidup. Air merupakan sumber hidup bagi semua manusia. Demikian pun
bagi orang Manggarai. Keberadaan sumber mata air (mata wae), air terjun
(cunca), air sungai dan air hujan sangat penting bagi masyarakat Manggarai.
Air digunakan untuk kebutuhan sehari-sehari, dan
air juga digunakan untuk lahan pertanian dan kebun. Karenanya, orang Manggarai
selalu berusaha menjaga dan melestarikan sumber air tersebut dengan tidak
menebang hutan (neka poka puar) dan mengadakan ritual-ritual adat di sekitar
sumber mata air.
Ketika musim-musim kering, orang Manggarai
mengadakan ritual khusus meminta hujan. Misalnya, ritual yang dilakukan oleh
orang Kisol di Kabupaten Manggarai Timur.
Mereka mengadakan ritual pada watu embu kodi haki
(batu berbentuk phalus) dan watu embu kodi fai (batu berbentuk liang vagina)
yang diyakini sebagai batu leluhur di puncak gunung Poco Ndeki, Borong.
Ritual pada kedua batu tersebut akan mendatangkan
hujan yang menyuburkan ladang. Air sebagai sumber kehidupan pun ditemukan dalam
ungkapan filosofis dalam ritual pernikahan.
Misalnya, filosofi pernikahan “salang wae teku
tedeng” (jalannya alur mata air), bukan ‘salang wae tuak” (jalannya air tuak
enau), yang berarti bahwa hubungan pernikahan itu harus berlangsung lama hingga
akhir hayat, bukan temporal atau singkat-seperti tegukan satu sloki tuak/sopi.
Kelima, compang bate takung. Artinya, altar sebagat
tempat perembahan. Compang sebagai altar untuk persembahan merupakan simbol
religius bagi orang Manggarai. Di atas compang, orang Manggarai mengadakan
ritual persembaan kepada Sang Pencipta langit dan bumi (mori jari agu dedek)
dan para leluhur (wura agu ceki).
Orang Manggarai mengadakan upacara syukur kepada
para leluhur sebagai penjaga kampung dengan ritual di compang. Oleh karena itu,
selain natas, compang juga didirikan di tengah kampung. Diyakini, compang
merupakan ruang tempat tinggal para leluhur penjaga kampung (naga tana).
Sebagai simbol religius, compang memiliki kekuatan
mempersatukan sebab di compang-lah orang Manggarai menyampaikan syukur atas
kehidupan warga kampung yang aman, sehat dan sejatera.
Hingga saat ini, prinsip hidup orang Manggarai
tersebut selalu diikuti dan jiwai oleh setiap generasi Manggarai. Prinsip mbaru
bate kaeng, uma bate duat, natas bate labar, wae bate teku dan compang bate
takung selalu menjadi pedoman dalam ritus dan habitus orang Manggarai.
Akhirnya, menjadi Manggarai berarti melestarikan
dan mempraktikan prinsip hidup orang Manggarai dalam kehidupan dalam dimensi
sosial, politik, ekonomi dan religius.
Semua itu bertujuan agar insan Manggarai
punya identitas lokal (tidak tercerabut dari akar), tentram dalam hidup
berkomunitas Manggarai dan menjadi 100% Manggarai. pesannya, neka hemong kuni
agu kalo (jangan lupa tanah kelahiran).
penulis: Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action for the Well-being of Indonesia)