Cerpen Vinadi G.M
DENGAN hanya sebelah matanya yang bisa
melihat, Pawel kecil menatap ke arahku. Saya ingin berjabatan tangan dengannya.
Tetapi mengulurkan tangan saja dia enggan. Tatapannya tajam.
Mata
kan
annya hanya setengah terbuka, tidak berbola, seluruh permukaannya tertutup
selaput putih. Wajahnya yang bulat, putih bersih, membiaskan kepolosan dan
ketulusan seorang anak.
Hanya
saja rambutnya jarang, barangkali ada penyakit dalam yang dideritanya.
Kelihatan luka baru di ubun-ubunnya dan di dagunya.
Kedua
tangannya tidak terlepas dari setir motor bebek kecil, yang didorongnya karena
mesinnya sudah rusak. Umurnya baru lima tahun, tetapi postur tubuhnya cukup
besar dibandingkan anak-anak seumur dia.
Matanya
tidak berkedip, menatap penuh pertanyaan, atau mungkin juga kecurigaan.
Matahari mulai memanas. Sinarnya yang tajam seakan pertanda bahwa dia berada
tidak jauh di atas pucuk-pucuk cemara.
Panti
asuhan di kampung kecil Waledow. Di tengah hutan cemara. Jauh dari keramaian.
Ke halte bis jaraknya dua kilometer. Ke kios terdekat pun jaraknya sekian.
Betul
terpencil, mengingat ke ibukota Warsawa hanya 20 kilometer jauhnya. Lingkungan
yang agak terlupakan, meskipun di sana-sini mulai terlihat villa-villa yang
dibangun „orang-orang kaya baru“ dari ibukota.
Sunyi. Keseharian hanya disemarakkan oleh teriak dan tawa anak-anak asuhan yang bermain di taman. Seluruhnya berjumlah 20 orang. Ada yang berasal dari Maldavia dan Latvia.
Seluruhnya
berasal dari keluarga yang patologis, retak, „broken home“, atau pula ditinggalkan
orangtua yang haknya untuk mendidik anak dicabut oleh hukum.
Demikian
juga Pawel kecil. Orangtuanya tidak ‚kompeten‘ secara hukum untuk bisa mengurus
dan membesarkannya. Dia ditinggalkan ibunya di taman kota, di musim salju. Saat
ditemukan polisi, badannya membiru, kaku kedinginan.
Dia
diantar kemari tiga tahun yang lalu, waktu usianya belum tiga tahun. Belum bisa
berbicara, kesulitan dalam pendengaran dan kurang pandai berjalan sendiri.
Benda kesayangannya adalah pemukul.
Ke
mana-mana benda itu dijinjingnya. Para suster membeli pemukul dari bahan
plastik, sehingga ringan untuk dibawa dan tidak berbahaya.
Sebelum
tidur malam harus dibacakan dongeng. Makanannya cuma sup dari wortel dan sosis
putih.
Tempat
kesukannya adalah kapel para suster, karena kalau dia bicara, ada gemanya. Dia
selalu melompat-lompat gembira, karena echo dikiranya teman yang menirunya.
Kalau
sudah puas berteriak, dia berjalan dari bangku ke bangku dan menjatuhkan ke
lantai buku-buku doa para suster yang teratur rapi. Juga karena bunyi gema yang
disukainya.
***
***
Ayo, Nak,
salaman dong sama Om“ rayu suster Marlena. Pawel tetap tidak bergerak. Sinar
matahari yang silau akhirnya menghentikan tatapannya ke arahku.
Pandangannya
sekarang beralih ke bajuku, kemudian ke celanaku, lalu ke sepatuku.
„Puma?“ tanyanya sambil menunjuk ke arah sepatuku. Gaya omongnya agak kaku, sepertinya belum lancar betul untuk bicara.
„Puma?“ tanyanya sambil menunjuk ke arah sepatuku. Gaya omongnya agak kaku, sepertinya belum lancar betul untuk bicara.
„Iya,
Puma“, jawabku seadanya, meskipun sepatuku bermerek MacArthur.
„Saya juga punya Puma,“ katanya bangga, sambil menunjukkan sepatunya yang sudah agak sobek di ujungnya.
„Saya juga punya Puma,“ katanya bangga, sambil menunjukkan sepatunya yang sudah agak sobek di ujungnya.
Suster muda hanya tersenyum. Bagus benar sepatumu,
warnanya saya suka,ö kataku sambil membungkuk untuk menyentuh sepatunya.
Sebenarnya
sepatunya sudah hampir tidak berwarna lagi, warnanya sudah kusam. Mungkin dulu
berwarna putih? Atau biru? Pawel menjulurkan kaki kirinya. Tangannya tetap di
setir motor.
„Ini
sepatu dibeli oleh tante suster,“ katanya menjelaskan
„Tante suster yang mana?“ tanyaku. Para suster di Waledow semuanya berjumlah 23 orang, pikirku.
„Tante suster yang mana?“ tanyaku. Para suster di Waledow semuanya berjumlah 23 orang, pikirku.
„Tante
suster yang pakai tudung, tanta suster, lho, Om!“ nadanya seakan mau meyakinkan
saya. Saya mengiyakan saja. Biar dia puas. Suster kembali tersenyum.
Pawel
kecil beralih dan berjalan menuju paviliun anak-anak. Langkahnya pasti sambil
menggumamkan kata-kata yang tidak jelas betul artinya.
Suster
mengangguk pamit, lalu bergerak mengikuti Pawel. Matahari tetap panas. Semakin
jauh, sosok Pawel dan suster semakin menghilang, sepertinya ditelan
fatamorgana.
***
Pukul
delapan malam udara masih tetap hangat. Mentari pelan-pelan turun, bersembunyi
di balik pepohonan cemara yang tinggi. Bersama anak-anak saya bermain bola
sepak di lapangan. Sejam kemudian, dengan penuh keringat kami dipanggil pulang
oleh suster Maria Goretti untuk santap malam.
Pawel
duduk sebagai „kepala meja“. Dia membagi-bagikan nasi campur sos tomat ke
setiap piring sambil setiap kali mengucapkan: terima kasih, entah untuk siapa
dan maksudnya apa.
Setelah
makan malam selesai, suster membagi-bagikan es krim untuk semua. Pawel, sebagai
yang termuda, memperoleh porsi terbesar. Dan dia pun mulai beraksi. Dengan
sendok kayu kecil, yang lazim dipakai untuk memakan es krim, dia berkeliling ke
semua suster dan saya untuk menyuap es krim dari porsinya ke mulut kami.
Suster
Maria Goretti menjelaskan bahwa dia jarang menyuap orang baru. Itu berarti saya
diterima sebagai anggota keluarganya. Ritus inisiasi sudah dibuatnya, jadi saya
resmi menjadi sesepuh Panti Asuhan.
Suster
menjelaskan, bahwa di Panti Asuhan itu, sebenarnya Pawellah yang berkuasa.
Aturan harian disesuaikan dengan kemungkinan dan ritme dia. Anak-anak yang lain
tidak pernah protes, bagi mereka Pawel juga menjadi teman atau adik kesayangan.
Betul
disayangi. Ide-idenya selalu menarik, walaupun dia belum lancar omong, sehingga
jarang bicara. Suka membagi-bagi makanan kesukaannya, permen atau coklat.
Tetapi juga kadang dia bandel. Beberapa kali dia lari keliling kompleks yang
luas itu dengan sepeda, kalau takut suntikan atau lagi ngambek. Dan suster
harus mengejarnya dengan sepeda pula.
Di luar
sudah mulai gelap. Anak-anak disuruh mandi. Terdengar tangis Pawel dari kamar
mandi dan suara suster yang menghiburnya. Luka di kepalanya terkena sabun. Saya
kembali ke bilik. Hening. Cuma desau cemara lewat celah jendela gedung tua.
***
Hari ini
udara sudah memanas sejak pagi buta. Cemara yang lebat tidak kuasa menahan
cahaya matahari yang menyengat. Kemarin saya janjikan anak-anak, untuk membuat
perlombaan kebersihan di kamar untuk hari ini.
Hadiah
berupa coklat dan gula-gula sudah saya siapkan. Setelah berkemas, saya menuju
paviliun anak-anak. Teriakan gembira dan tawa cekikikan menyambut kedatangan
saya di pintu. Semua ada. Tetapi di mana Pawel?
Di sudut
lorong suster Marlena berdiri. Dia berusaha tersenyum, tetapi ada sesuatu yang
menggerogoti hatinya. Dia sedang sedih.
Setelah
memeriksa dan memberikan hadiah atas kebersihan kamar, saya mencari suster.
Saya temukan beliau di dapur. Dia berdiri membelakangi pintu masuk, menghadap
ke jendela.
Di luar
sana bunga-bunga lagi mekar. Kupu-kupu berloncatan di dedaunan. Suster menoleh,
mendengar saya masuk. Matanya basah dan sembab. Saya mulai curiga, pasti ada
sesuatu yang terjadi. Jangan-jangan…ah, saya jauhkan pikiran jelek saya.
„Pawel
sudah tidak di sini lagi…,“ suara suster tertahan. Ya Tuhan, apakah dia… ah
tidak!
„Hari ini
dia dijemput oleh keluarga barunya,“ sambung suster muda itu tersendat-sendat.
Lagi-lagi air matanya mengalir deras. Saya gembira campur sedih.
Biarlah
si kecil itu merasakan cinta kasih yang benar-benar sejati, kehangatan
keluarga, kasih sayang dan juga perhatian. Bukankah itu yang didambakan dan
dibutuhkan oleh setiap anak?
Bukankah
itu pula maksud dari setiap Panti Asuhan, berusaha menemukan keluarga angkat
bagi anak-anak? Pawel kecil termasuk salah satu di antara mereka yang mujur,
tidak perlu lagi harus bertanya-tanya setiap kali, mengapa ayah dan ibu tidak
tinggal bersama mereka?
Kita
kehilangan dia, tetapi juga kita harus bergembira, Pawel kecil mulai dengan
kehidupan baru yang layak,“ kataku. Suster muda mengiyakan. Berusaha menahan
tangis.
Terdengar
bunyi cangkul di kejauhan, seorang suster tua sedang menyiangi kebun jagung. Di
sekitarnya dua ekor anak kucing belang-belang hitam putih bermain-main bersama
induknya. Mereka bahagia. Punya ibu.
Di dalam
paviliun begitu banyak anak yang merindukan ibu dan ayah. Setiap harinya mereka
menanti, apakah ada keluarga yang mau mengangkat mereka menjadi anak.
Pawel
kecil kedatangan Dewi Fortuna. Panti asuhan kehilangan tangisnya setiap kali
mandi. Kehilangan ritus-ritusnya yang selalu baru dan aneh.
Seakan
kehilangan jiwa. Di kamarnya hanya tinggal kasur, bantal dan seprei. Semuanya
dibawanya. Motornya yang rusak, bola dan sepatu kusamnya. Dan pemukul dari
bahan plastik.
Warszawa,
Juli 2008.
Penulis: P. Dr. Vincent Adi Gunawan Meka SVD
Seorang Pastor asal Nonggu desa Rana Mbata Manggarai Timur gelar Doktor di raihnya dari John Paul II Chatolic University Of Lublin-Polandia bidang etnomusikologi.
Seorang Pastor asal Nonggu desa Rana Mbata Manggarai Timur gelar Doktor di raihnya dari John Paul II Chatolic University Of Lublin-Polandia bidang etnomusikologi.
baca juga