KAMPUNG itu terletak di lereng
pegunungan. Nenek moyang mereka katanya dulu tinggal di puncak yang paling
tinggi. Entah apa sebabnya mereka berpindah dari tempat yang luas dan tidak
jauh letaknya dari sumber air itu.
Dan justeru
mereka memilih sebuah dataran sempit di sela-sela dua bukit memanjang. Jauh
dari sumber air pula. Hawanya sama dinginnya seperti di puncak. Pemandangan
dari kampung tersebut terbentur pada gunung-gemunung.
Sejauh mata mencari, hanya deretan punggung raksasa
yang tampak. Hamparan kebun-kebun kopi seakan menjadi gaun indah di
punggung-punggung bukit tersebut. Jauh di bawah kelihatan sungai yang diapiti
kotak-kotak petakan sawah.
Tampak asap-asap api mengepul dari pondok-pondok
beratap ilalang. Sesekali terdengar teriakan petani menghalau kerbau saat
membajak. Di gunung di hadapannya, cahaya mentari memantul dari atap sink
rumah-rumah di beberapa perkampungan yang berjejer.
Di kampung itulah Takung dilahirkan dan dibesarkan.
Kesehariannya berkisar di seputar pegunungan. Bangun pagi, saat keluar rumah
untuk pergi ke jamban, yang pertama kali tampak adalah deretan gunung.
Ke sekolah harus menjelujuri pinggir bebukitan,
meskipun tidak jauh jaraknya. Sepulang sekolah bersama teman sebaya dan
saudara-saudaranya
Takung sering ke hutan di puncak gunung untuk mencari ranting-ranting kering untuk dipakai di tungku di dapur. Kadang-kadang ke sana juga untuk memasang jerat ayam hutan dan mencari buah jambu.
Ke sawah pun harus menuruni gunung, lalu mendaki
gunung berikutnya untuk sampai ke sana. Malahan ke gereja pun harus melewati
gunung.
Kampung dan pegunungan itulah yang menghidupkannya.
Melatihnya untuk selalu berjuang maju, pantang mundur, setinggi apapun
hambatannya, sedalam manapun jurangnya.
Di sana dia diasah menjadi seorang yang selalu
mencari, untuk tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Menjadi seorang
yang tegas, setegar punggung bukit yang dilaluinya setiap hari saat ke sekolah.
Dan juga dia diajari keyakinan mendalam akan kuasa
Tuhan, yang selalu meluputkan keluarga dan kampungnya saat banjir dan tanah
longsor.
Kini Takung telah menjadi penyair. Dia tinggal di
kota metropolitan. Penuh kebisingan dan pergulatan mengejar nafkah untuk hari
esok. Setiap orang berusaha menangkap kesempatan yang lewat di depan mata.
Karena siapa terlambat, dia akan kalah dan binasa.
Bersama istrinya dia tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Di situ
ada sebuah bilik khusus, tempat dia menulis puisi dan syair-syair baru untuk
para komponis yang selalu memesan kata-kata untuk lagu-lagu baru mereka.
Isi syair-syairnya banyak memuja kesederhanaan
dalam hidup. Memuja kepolosan kehidupan di pegunungan.
Memuja ritme hidup orang-orang gunung, dengan
sistem waktu siklis mereka: kalau bukan sekarang, besok saja, toh masih ada
waktu. Puisi-puisinya mengajak manusia-manusia modern untuk berusaha meredam
lajunya waktu. Biar hidup sahaja tetap sahaja, ibarat orang-orang kampung di
pegunungan.
Penyair Takung menjadi sangat terkenal. Dia menjadi
pujaan publik. Di mana-mana syair-syair dan lagu-lagunya menjadi pedoman dan
tetuah dalam mendidik kawula. Menjadi kata-kata mutiara saat bercinta.
Menjadi acuan saat ceramah-ceramah ilmiah. Menjadi
rincian bagi para pemuka agama. Lagu-lagu dengan kata-kata penyair Takung
memenuhi radio-radio. Didengungkan para sopir becak, bajaj dan pengamen.
Dilantunkan presiden, para menterinya dan para
anggota majelis negara saat jedah. Dinyanyikan saat pentasan sekolah maupun
pentasan di penjara-penjara.
Dipakai saat para pastor dan bhiksu bermeditasi
maupun saat orang-orang najis berselingkuh. Terdengar di kota metropolitan dan
juga di pegunungan, hingga sampai ke kampungnya.
Penyair Takung pun berkeliling dunia. Dia sering ke
Eropa dan Amerika Serikat guna membawakan puisi dan syair. Seorang komponis
muda Eropa meminta dia menuliskan sebuah puisi sebagai landasan untuk dia
menciptakan sebuah soneta.
Penyair
Takung pun menuliskan sebuah puisi panjang, dalam bahasa kampungnya untuk
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa. Sang komponis sangat puas,
ditulisnyalah sebuah soneta tentang kesederhanaan.
Soneta di C major, karena akord C adalah lambang
kesederhanaan, paling mudah dimainkan. Soneta untuk piano. Dengan dentingan
pianonya yang ibarat hujan. Mulai dengan rintik-rintik, lalu bunyi-bunyi
berkejaran dan berdesak-desakan ditambah bunyi guntur dan kilat yang
meledak-ledak.
Soneta kemudian mereda, perlahan-lahan melambat
hingga sampai kembali ke rintik-rintik. Akhirnya diam…..
„Kontrol tiketnya, Pak,“ tiba-tiba aku terbangun
dari mimpi. Leher agak ngilu. Lewat kaca bus kelihatan cuma gelombang putih
salju, meliliti gunung-gunung dan bebukitan.
Di kejauhan tampak salib besar di puncak Giewont,
puncak tertinggi Polandia. Sambil mengusap-usap mata saya mencari-cari tiket di
saku saya. Pikiran masih segar, ke kisah anak gunung si Takung.
Seandainya
dia benar-benar ada, oh, betapa indahnya tentunya soneta tersebut. Terngiang,
terekam oleh telinga saya dentingan piano dari film mayapada tersebut.
Seperti hujan di gunung. Soneta anak gunung. Sebab
Takung adalah anak gunung. Di luar salju berjatuhan dari langit.
Memukul-mukul kaca bus. Sepertinya ritmik
sekali. Lalu terngianglah di telingaku sebuah lagu rakyat anak-anak pegunungan
Manggarai saat musim laron: Loe loe salo loeee…delat ngara eta tepo tendeng….
Sebuah tema bagus untuk soneta. (*)
Lublin, 22 Desember 2008
Penulis: P. Dr. Vincent Adi Gunawan Meka SVD
Seorang Pastor asal Nonggu desa Rana Mbata Manggarai Timur gelar Doktor di raihnya dari John Paul II Chatolic University Of Lublin-Polandia bidang etnomusikologi.
Seorang Pastor asal Nonggu desa Rana Mbata Manggarai Timur gelar Doktor di raihnya dari John Paul II Chatolic University Of Lublin-Polandia bidang etnomusikologi.
BACA JUGA