Oleh Antonius Rahu***
Elar selatan merupakan salah satu Kecamatan yang
terletak di ujung timur kabupaten Manggarai Timur (Matim).
Di Kecamatan ini terkubur jutaan berlian dan
permata yang memiliki nilai jual tinggi. Sebut saja Kopi, Cengkeh, vanili,
Kakao dan merupakan lumbung padi terbesar (Sawah Gising) di kabupaten yang
sering dijuluki “bumi lopo-mekas” tersebut.
Dengan latar belakang masyarakat yang berprofesi
sebagai petani, Elar selatan seharusnya menjadi center of attention (pusat
perhatian) dari pembangunan pemerintahan NTT umumnya dan Manggarai Timur
khususnya.
Elar Selatan seyogyanya menjadi daerah yg harus
diperhatikan pembangunanya, mengingat wilayah ini menjadi granda terdepan
pemerintahan Manggarai Timur. Apalagi bersentuhan dengan kabupaten Ngada.
Namun apa yang terjadi? Kenyataan yang di temui di
lapangan secara perlahan menegasikan dan pelan-pelan menggugurkan semua
premis-premis tersebut.
Elar selatan dibiarkan terkubur dalam masalah
klasik yang mereka hadapi bertahun-tahun. seperti infrastruktur jalan,
persoalana tapal batas yang sampai saat ini masih terkatung-katung
penyelesaianya, serta sederet persoalan lain yang dibiarkan membesar.
Menjadi warga yang bersentuhan langsung dengan warga
Elar selatan, saya merasa sedih dan prihatin dengan penderitaan mereka.
Elar Selatan selalu di jadikan political tools
(alat politik) dalam perhelatan pilkada kaum-kaum elit.
Janji demi janji bersliweran dan menina bobokan
mekas- mekas dan lopo-lopo (sebutan khas warga Elsel) yang ada di Elar Selatan.
Janji perbaikan jalan provinsi, penyelesaian
sengketa tapal batas di elar selatan selalu menjadi komoditas yang laku keras
di Elar selatan.
Namun setelah terpilih, para wakil-wakil rakyat
yang menjadi delegasi masyarakat berubah menjadi karyawan partai politik. Wakil
rakyat yang seyogyanya menjaring dan menyuarakan aspirasi rakyat Elar selatan
berpura-pura menderita amnesia.
Maka ketika rakyat menagih janji sang anggota dewan
waktu pilkada, jawaban sang anggota dewan adalah amnesia. Yakni penyakit yang
menyebabkan orang lupa semua hal yang dilakukanya di masa lalu.
Anggota dewan yang seharusnya menjadi perwakilan
rakyat berubah menjadi dewan pemeras rakyat.
Masyarakat Elar Selatanpun akhirnya gigit jari. Dalam
bahasa manggarai kondisi ini di sebut “hang ba.o”.
Dewan perwakilan rakyat seharusnya bisa menyuarakan
aspirasi warga dari daerah konstituenya, namun yang terjadi malah kebalikanya.
Teriakan dan rintihan warga tidak di gubris, sementara para dewan terhormat
sibuk bersafari dan lupa akan tugas utamanya.
Akibatnya Elar Selatan tetap seperti yang dulu, bak
iklan mobil Avanza “dari dulu hingga nanti”. Penderitaan warga Elar selatan
selalu menjadi sorotan media-media lokal. Bahkan media Nasional, namun rupanya
tidak ada perubahan sama sekali.
Warga Elar selatan dibiarkan menikmati penderitaan
yang dialaminya untuk di jadikan komoditas politik ketika musim pilkada
berikitnya tiba.
Ini sangat miris dan menyakitkan. Dewan perwakilan
Rakyat yang menjadi perpanjangan tangan dari rakyat seharusnya bisa menyuarakan
aspirasi masyarakat kepada eksekutif (pemerintahan) sehingga dalam program
kerja eksekutif bisa terealisasi.
Namun apa yang terjadi? DPR kelihatanya
mandul tidak bisa berbuat banyak.
Sementara warga Elar Selatan dibiarkan menikmati
penderitaanya. Sambil menunggu musim pilkada dan pileg berikutnya tiba.
Musim
pileg dan plkada yang menjadikan isu infrastruktur jalan dan tapal batas
sebagai komoditas politik untuk memenangkan pertarungan di manggarai timur, dan
terpilih kembali menjadi anggota dewan. Ini bagaikan fungsi periodik dalam
matematika.
Lalu sampai kapan warga Elar Selatan dinina bobokan
seperti ini? Tentu hanya warga Elar Selatan yang bisa menjawabnya.
Penulis:
Mahasiswa Tingkat Akhir Di IKIP PGRI Bali. Penasehat FORKOMEL Bali Bidang
Politik dan pemerintahan.***