Atribut adat songke merupakan warisan leluhur (ata redong dise empo agu mbate dise ame”). Hal yang paling utama dan penting bagi orang Manggarai adalah menjadi putra-putri Manggarai yang paham dan tahu akan adat dan budayanya, Entah itu dalam bentuk topi songke, slendang, bahkan kain songke atau yang popular disebut towe songke.
Molas Manggarai ketika menggunakan Songke |
Oleh Antonius Rahu***
Beberapa waktu lalu, saya kebetulan menghadiri beberapa
kegiatan atau acara yang diselenggarakan oleh paguyuban keluarga Manggarai di
Bali. Saya selalu melihat orang-orang Manggarai yang mengenakan atribut adat
yang sangat khas dengan Manggarai yakni songke.
Entah itu dalam bentuk topi songke, slendang, bahkan kain
songke atau yang popular disebut towe songke. Sejenak saya menemukan jati diri
saya sebagai putra asli Manggarai ketika melihat ada orang yang mengenakan
atribut tersebut di tanah rantau yang jauh dari bumi Congka Sae.
Mengenakan Songke mungkin bagi orang-orang yang hidup di bumi Congka Sae merupakan hal yang
biasa. Terutama bagi kalangan muda, songke identik dengan orang tua. Mengenakan
Songke berarti kolot, tidak gaul dan identik dengan orang yang sudah berumur.
Meskipun ini hanyalah sebuah hipotesa pribadi saya, namun
ada beberapa poin pendukung dari hipotesa saya ini.
Memang harus diakui bahwasanya towe songke dikenakan ketika
orang mengikuti upacara adat, sebut saja kenduri, laki atau wai anak, acara
duka dan masih banyak lagi namun, di Manggarai kaum mudanya jarang sekali
mengenakan atribut adat songke ini, pada hal songke ini sudah hadir dalam
bentuk baju, jas, topi, slendang, dan lain sebagainya.
Kaum mudah kita lebih tertarik mengenakan baju impor made in
china atau medi in surabya yang lebih modis dan trend tapi cendrung
mengeksploitasi pemakainya. Seperti celana yang pendeknya kebangetan alias CU
(celana Umpan tae disen), baju yang transparan dan kurang kain.
Yang lebih anehnya, kaum mudah kita sangat bangga dan
mungkin juga bahagia jika berhasil memukau mata lelaki karena pakayan yang
dikenakan serba kurang kain dan transparan tersebut.
Apalagi jika itu dikenakan pas menghadiri misa di Gereja,
rasanya wah.....bagi mereka, namun sangat kontradiktif bagi saya.
Mau tidak melirik, mereka duduknya pas didepan saya misalnya, saya lirik juga salah
nanti dibilang percuma ke gereja sebagai laki-laki saya serba salah jadinya.
Inilah realitas sosial dan budaya kaum muda kita (anak koe
uwa weru), penuh kontroversial dan selalui ikut arus yang penting ikut ramai
biar dibilang anak gaul.
Budaya lokal setempat akhirnya terkubur dalam hiruk-pikuk
kekinian yang melanda kaum muda di bumi Congka Sae. Jika saja kaum muda kita
sadar, bahwa budaya lokal Manggarai itu sangat bagus, maka saya pikir tidak aka
nada orang yang cepat terjerumus dalam keriuhan budaya yang dari luar.
Hal berbeda saya temukan di Bali, anak-anak muda di sini
sangat bangga sekali jika mengenakan pakayan adat mereka didepan orang banyak.
Anak mudanya lebih memilih menggunakan pakayan adat
ketimbang pakayan bebas yang serba kurang kain tersebut.
Setelah saya selidiki hal tersebut ternyata bersumber dari
pendidikan yang ditanamkan kepada mereka semenjak mereka sekolah.
Mereka diwajibkan mengenakan pakayan adat pada hari-hari
tertentu, hal tersebut bertujuan untuk membiasakan, serta menumbuhkan kecintaan
mereka akan budaya dan pakayan adat jika sudah dewasa kelak.
Ini terbukti sangat efektif dan nyata, setelah mereka lulus
dari sekolah menenga atas misalnya mereka sudah terbiasa dan malah bangga
mengenakan pakayan adatnya sendiri.
Lalu bagaimana dengan Songke dan kaum muda di bumi Congka
Sae? Kesemua hal yang saya temukan dalam diri anak muda Bali merupakan invers
(balikan) dari anak muda di bumi Congka Sae.
Mengenakan atribut adat bagi mereka tidak gaul, identik
dengan orang tua dan kolot. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena sekolah-sekolah
di bumi congka sae lebih mementingkan kurikulum Nasional, mungkin karena
terlalu Nasionalis kali ya,,,,,,saya juga belum paham.
Dulu ada yang namanya mata pelajaran MULOK (muatan lokal)
atau PLSBD namun gurunya tidak pernah isi mata pelajaran budaya. Yang ada malah
diisi dengan matematika atau IPA.
Selain itu juga tidak ada aturan yang mewajubkan murid untuk
mengenakan pakayan adat di heri-hari tertentu seperti di Bali misalnya. Akibatnya
anak mudahnya gagal paham dengan budayanya sendiri.
Ini seharusnya menjadi Pekerjaan
Rumah bagi pemerintah Manggarai Raya, harus diakui bahwasanya maslah lunturnya
budaya ini menjadi masalah serius bagi orang Manggarai. Masalah budaya dan adat
isti adat berarti masalah identitas, karena adat dan budaya merupakan identitas
kedua kita selain KTP. Oleh karena itu, masalah lunturnya adat di kalangan
mudah ini harus segera diatasi.
Pemerintah kabupaten Manggarai Raya
seharusnya bisa menjadi serum bagi proses penyembuhan luka besar budaya ini.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini,
diantaranya melalui jalur pendidikan.
Jalur pendidikan terbukti efektif dalam
membentuk watak dan karakter generasi mudah dan itu telah berhasil dilakukan di
Bali. Mata pelajaran PLSBD atau Muatan
Lokal harus benar-benar dijadikan tameng dalam menangkis serangan perubahan
zaman dan budaya dari luar, sehingga putra-putri Congka Sae tidak mudah
terperosok dalam budaya luar lalu melupakan budayanya sendiri.
Atribut adat
songke merupakan warisan leluhur (ata redong
dise empo agu mbate dise ame”). Hal yang paling utama dan penting adalah
menjadi putra-putri Manggarai yang paham dan tahu akan adat dan budayanya,
bukanya malah menjadi orang asing di negeri sendiri.
Ini sangat penting
dilakukan demi keberlangsungan budaya dan adat orang Manggarai, budaya yang
menjadikan kita putra-putri Manggarai dengan segala kekhasanya. Budaya yang
membuat orang lain dari luar Manggarai mengatakan “ya,,,,mereka ini orang
Manggarai”.
Penulis: pemerhati budaya Manggarai saat ini tinggal di Bali
Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di media online marjinnews.com edisi 10 februari 2017
Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di media online marjinnews.com edisi 10 februari 2017