kata orang, Jangan pernah mencintai seseorang setinggi langit karena
langit bisa saja runtuh.
Jangan juga mencintai
seseorang sedalam lautan karena lautan suatu saat akan surut, bahkan tak jarang
menimbulkan bencana.
Cinta pun tak harus
sebesar dunia, karena dunia bisa hancur berkeping-keping dengan kenangan yang
terlupakan. Cukup mencinta layaknya seujung kuku. Kecil, namun selalu tumbuh
walau terus dipotong. Itulah cinta yang sejati
Cinta hanyalah sebatas
kata, tanpa arti, sampai kemudian seseorang datang dan memberi mu makna yang
sesungguhnya
Apalah arti sebuah tulisan ‘cinta’ meski ditorehkan dengan tinta emas
sekalipun jika perasaan cinta itu tak ada.
Namun, sekali perasaan itu tersentuh oleh seseorang yang menjadikanmu
sebagai harapan dan belahan jiwa, ah pastilah tulisan cinta itu akan memiliki
banyak makna.
Memang Sangat sulit untuk melupakan seseorang yang memberimu banyak
arti dalam hidup cinta datang tanpa kamu sadari namun kepergiannya meninggalkan
ribuan kenangan
karena Cinta itu ibarat
angin, tak bisa dilihat, namun dapat dirasakan
Aku ingin mencintai mu, seandainya bukan menjadi bagian dari sisa
hidupmu, biarkan menjadi bagian dari sisa kehidupanku
Tanpa dirimu hatiku seakan hampa dan jalanku seakan gelap, kau adalah
cahaya dan duniaku
Saat diriku berkata, “aku mencintaimu”. Kamu pun berkata lirih,
“teriakkan itu pada dunia”. Lalu aku berbisik pelan dan berkata lembut, “aku
mencintaimu”. Kamu bingung dan bertanya, “kenapa berbisik”? —–“Karena Kau Lah
Duniaku”
Cinta—sebuah topik eksistensial dalam kehidupan manusia.
Berawal dari pertanyaan Heideggerian tentang makna “Ada”, cinta adalah jawaban
tentang makna “Ada” dan “meng-Ada” sebagai manusia. Cinta menjanjikan kedamaian
yang mengakhiri kekerasan dalam relasi antar-entitas dalam semesta—baik
antar-sesama manusia maupun antara manusia dan entitas-entitas lain.
Berhadapan dengan nalar metafisika , cinta adalah gambaran
mitis dari suatu bentuk relasi yang sepenuhnya hampa-kekerasan. Disebut
gambaran mitis, karena cinta adalah bentuk relasi yang lahir dari proses
pemitosan, mitifikasi (mythification), yang membongkar tatanan hierarki dalam
relasi yang dibangun dalam kerangka logika identitas.
Cinta adalah mitos (μῦθος) yang bangkit melawan dominasi
logos (λόγος), irasionalitas yang menolak tunduk pada rasionalitas. Seperti
tercermin dalam pameo “cinta itu buta”, sifat cinta yang irasional-mitis
memampukan cinta mencairkan kebekuan berbagai kategorisasi identitas yang telah
mengkotak-kotakkan manusia ke dalam perbedaan seks, ras, status sosial ekonomi,
gender, etnis, agama, kewarganegaraan, dan sebagainya.
Hubungi kami di WA 082342994060 untuk pemasangan Iklan |
Sebagai mitos, cinta memungkinkan “Aku” dan “Kamu”
berimajinasi tentang “Kita”, sebuah perlawanan terhadap tiga hukum logika
identitas. Cinta tidak mengenal kepastian identitas, karena “Aku” bukanlah
“Diri-ku” dan “Kamu bukanlah “Diri-mu”.
Dalam Cinta, “Aku” dan “Kamu” tidak pernah sungguh-sungguh
berbeda, karena “Aku” adalah “Kamu” dan “Kamu” adalah “Aku”. Dalam cinta, tidak
ada jalan tengah yang mustahil, karena “Aku” dan “Kamu” telah melebur dalam
“Kita”.
Cinta menyelesaikan kekerasan karena melumerkan batas
identitas dan relasi antar-identitas yang tersusun secara hierarkis. Dalam
cinta, kemanusiaan lelaki tidak lebih tinggi dari perempuan, kulit putih tidak
lebih murni dari kulit berwarna, orang kaya tidak lebih terhormat dari orang
miskin, orang beriman tidak lebih baik dari orang kafir, warga negara maju
tidak lebih mulia dari warga negara berkembang, dan seterusnya.
Demikian karena atas nama cinta, tidak ada lagi perbedaan
identitas. Dalam cinta, yang ada hanyalah tindakan mencintai itu sendiri, tanpa
hasrat untuk memiliki, tanpa kepentingan untuk menguasai—tanpa syarat apapun.
Hubungi kami di WA 082342994060 untuk pemasangan Iklan |
Namun, betapapun indah gambarannya, cinta tidak pernah
tumbuh dalam “ruang murni” yang demikian “sunyi” seperti dibayangkan Rumi atau
para mistikus. Cinta tumbuh dalam pikiran manusia yang entah bagaimana
terlempar dalam faktisitas “ruang imitasi” yang ramai dengan segala
“hiruk-pikuk” kerumunan yang saling berkompetisi mengklaim ini dan itu.
Tidak seperti dibayangkan para mistikus, cinta tidak
pernah bisu, ia tampil dalam ungkapan kata-kata dalam sebuah sistem metafisika
linguistik, di mana petanda, makna, adalah asal-usul bagi segala penanda.
Karena tidak pernah dapat melampaui metafisika, cinta, seperti digambarkan
Sartre, menjadi instrumen manipulasi yang sangat efektif bagi subyek terhadap
obyek.
Di balik nama cinta, seorang subyek menyembunyikan
kepentingan penguasaannya atas obyek dengan berpura-pura ingin dikuasai oleh
orang yang menjadi obyek cintanya.
Karena
melawan logos, cinta selamanya adalah mitos—selalu fiksi, tidak pernah fakta.
Dan mungkin karena sifat cinta yang irasional dan mitis itulah cinta terlalu
indah untuk menjadi nyata. Mungkin itu juga sebabnya kenapa “Aku” dan “Kamu”
tidak pernah menjadi “Kita”. Karena “Aku” dan “Kamu” tidak pernah
sungguh-sungguh “Mencinta”.
Selamat Merayakan Hari Kasih Sayang, termia kasih sudah menjadi pembaca setia artikel saya
Love you all
Tonny