Kesuksesan menurut saya itu hanya milik orang-orang yang berjuang dalam kesungguhanya, mewujudkan visinya dalam tindakan nyata.
Mungkin itu hanyalah sederet kalimat baku, yang kedengaranya indah namun minim arti dan makna jika tidak direalisasikan.
"Kesuksesan dan Kemiskinan" Entah mengapa, beberapa hari belakangan ini dalam pikiran saya selalu terngiang kata-kata tersebut.
Ada satu pertanyaan yang selalu menghantui pikiran saya selama ini, yakni tentang pandangan orang mengenai kemiskinan yang selalu dijadikan kambing hitam dalam urusan kesuksesan seseorang.
"bagaimana bisa sukses, jika pendidikan rendah, bagaimana bisa sekolah sedangkan untuk beli makan saja susah?" itulah kata-kata yang sering terucap dari mulut beberapa orang yang putus asah.
Tapi mari kita pikir dan ingat kembali, apakah benar asumsi tersebut? apakah kesuksesan itu selalu dilihat dari kekayaan, harta, warsan orang tua?
Oh tidak kawan......!! saya dan beberapa teman di Bali berhasil menggugurkan asumsi klasik tersebut.
Begini caranya kami berhasil menggugurkan asumsi tersebut, beberapa teman yang berhasil saya wawancarai tentang pengalaman hidupnya di kampus tempat saya belajar menceriterakan pengalaman hidup mereka.
"saya memiliki keinginan kuat untuk belajar dan melanjutkan pendidikan saya, akan tetapi bapak saya meninggal saat saya kelas 3 SMA, saya terpaksa datang ke Bali untuk cari kerja terus saya kerja di proyek bangunan, lalu uang hasil kerjanya saya pakai untuk daftar kuliah."
"Puji Tuhan saya bisa kuliah dengan lancar, tanpa dibiayai oleh orang tua sepeserpun, saya bahkan beberapa kali mengirimi ibu uang untuk belanjanya pas hari saya,"demikian kesaksian Rovinus Bou mahasiswa asal Kabupaten Malaka NTT ketika saya wawancarai beberapa waktu lalu.
kesaksian Mahasiswi asal Sumba ini akan menjadi titik terang bagi pembaca sekalian yang masih menganut aliran klasik itu.
"Bapak saya meninggal pas saya masih kecil, saya bersyukur bisa disekolahkan hingga tamat SMA oleh ibu saya, setelah saya tamat saya bingung, di satu sisi saya ingin melanjutkan pendidikan saya tapi di sisi lain, orang tua saya tidak mampu."
"untuk mewujudkan cita-cita itu, akhirnya saya lari dari rumah, meninggalkan ibu dan adik-adik saya di Sumbah, saya datang ke Bali hanya bawa pakayan di badan, dalam hati saya hanya satu yakni saya kerja apa saja yang penting halal dan bisa kuliah."
"Rupanya Tuhan tidak pernah tutup matanya, setelah cukup lama kerja di salah satu toko roti, saya bisa daftar kulia"
"Piji Tuhan saya sudah ujian skripsi sekarang, sebentar lagi wisudah, kuliah saya lancar pada hal gaji saya hanya 900 ribu sebulan."
"saya kaget dan akhirnya berkata dalam hati, ternyata saya bisa kuliah sendiri, tanpa dibiayai orang tua, kalau saya yang cewek saja bisa kenapa kalian yang cowok gak bisa?" demikian kesaksian Lidia Dada Kadi mahasiswi asal Sumba dalam bincang-bincangnya dengan saya beberapa waktu lalu.
Well.........masih banyak lagi kesaksian menarik lainya yang ada di file smartphone saya pembaca sekalian terutama teman-teman mahasiswa dan pelajar.
Dari beberapa kesaksian teman-teman tersebut, saya akhirnya dapat menarik suatu kesimpulan, bahwa mengkambinghitamkan kemiskinan sebagai dalang utama dari kegagalan adalah kurang tepat.
Mungkin bagi sebagian pembaca, merasa dan berpikir bahawa saya ini terlahir dalam keluarga miskin jadi wajar saya tidak sekolah.
Saya katakan itu hanyalah pemikiran kolot dan kampungan yang tidak boleh dipelihara, apalagi merusaki orang lain.
Kesuksesan itu milik siapa saja, sepanjang ada tekad dan niat yang kuat, buktinya mengapa dua teman yatim tersebut bisa mewujudkan impianya?
Terlahir dalam keluarga miskin itu bukan kutukan, bagi saya terlahir dalam keluarga miskin berarti Tuhan sedang menunjukan kualitas kepribadianmu, sejauh mana kamu bisa konsisten mengejar impianmu akan hari esok.
Bahwasanya orang miskin itu selalu terpinggirkan dan dinomorduakan di negeri ini, itu terjadi karena perlakuan sosial yang sudah sekian lama mengakar dalam masyarakat kita.
Tapi apakah miskin itu selalu identik dengan kegagalan, dan ketidakbererdayaan?
Oh tidaaakkkk teman.........!! Justru saya bangga terlahir dalam keluarga miskin, karena saya belajar banyak hal yang mungkin tidak didapatkan oleh teman-teman yang berlatar belakang kaya.
Saya bisa belajar bagaimana proses menuju sukses, kesuksesan yang diraih kelak itu melalui tahapan tahapan yang menarik dan indah untuk dikisahkan dan tidak instan.
Kisah perjuanagan itu akan menjadi telenovela untuk disuguhkan bagi orang lain yang bernasib sama dengan saya.
Jangan pernah beranggapan bahwa miskin itu merupakan penghambat bagi terjwujudnya impian kita. Akan tetapi jadikan itu sebagai katalisator pembakar semangat dan motivasi diri.
Bahwasanya saya ini anaknya orang miskin, oleh karena itu saya harus bisa melepaskan status kemiskinan yang disandang ayah dan ibu saya.
Saya harus lakukan sesuatu, tunjukan kepada orang-orang bahwa kita bisa sukses, tunjukan kepada dunia bahwa anaknya orang miskin juga bisa mengenyam pendidikan tinggi.
Anaknya orang miskin bisa membiayai pendidikanya sendiri, anaknya orang miskin bisa mandiri, dewasa meski secara usia mungkin belum.
Akan tetapi akibat situasi dan kondisi yang kita alami, kita mengalami pendewasaan dini, tapi bukan penuaan dini lho ya.....
Saya sudah cukup bangga dan senang dengan beberapa teman-teman mahasiswa asal NTT di Bali yang pada umumnya bisa membiayai pendidikanya sendiri.
Teruslah menginspirasi sesama teman-teman yang masih berjalan diluar rel, tunjukan bahawa kita anaknya orang miskin juga bisa mengenyam pendidikan tinggi.
Jangan lupa libatkan Tuhan dalam setiap pergumulan hidup kita, dan tunjukan kesantunan dalam bertingkah.
Agar kita bisa diterima oleh masyarakat dimana kita berada, buatlah orang tua yang membesarkan kita suatu saat mengatakan "saya bangga punya anak seperti kamu."
Antonius Rahu |
Penulis merupakan mahasiswa semester akhir asal Manggarai Timur Flores NTT saat ini menetap di Bali