Foto Ilustrasi |
Oleh Antonius Rahu
Salah satu hal yang paling didambakan bagi sebagian orang setelah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi adalah bisa berkarir di perusahan-perusahan ternama.
Namun bagi sebagiannya lagi memiliki impian bisa bekerja di instansi pemerintah menjadi pegawai Negeri Sipil yang sekarang lebih populer disebut Aparatur Sipil Negara atau ASN.
Maka tidaklah mengherankan jika lulusan perguruan tinggi dalam negeri yang begitu membludak kini antre dijalur yang sama, yakni menjadi pelamar kerja.
Ya menjadi pelamar kerja, mengantre di depan kantor atau instansi pemerintah untuk mengajukan berkas lamaran merupakan pemandangan yang lazim dijumpai dewasa ini.
Lantas apakah ada yang salah dari fenomena ini?
Tentu tidak bisa dikatakan salah, akan tetapi fenomena membludaknya para pelamar kerja tentu terjadi akibat dari tidak seimbangnya antara lulusan perguruan tinggi dengan lapangan pekerjaan yang tersedia.
Ketidak seimbangan inilah yang nantinya menjadi pengangguran. Yakni kumpulan orang-orang yang tidak terserap didunia kerja, atau tidak memiliki penghasilan tetap karena belum memiliki pekerjaan.
Ironisnya, kumpulan orang-orang yang menyandang status "pengangguran" ini kian membludak dewasa ini. Hal ini entu saja sebuah fenomena yang sangat menyedihkan. Apalagi jika latar belakang pendidikan para penganggur ini bisa dikatakan memadahi, maka ini adalah realitas sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius.
Menjadi pengangguran memang sebuah status yang tidaklah menyenagkan. Apalagi jika saya misalnya yang sudah memiliki gelar akademik. Ketika ekspektasinya dulu sebelum kuliah, usai lulus kuliah saya akan bekerja, minimal terserap didunia kerja entah dimana saja.
Namun realitanya, usai kuliah malah menyandang status sebagai pengangguran. Ini tentu saja status yang tidaklah menyenangkan bagi saya.
Akan tetapi tetapi sejenak saya berpikir, mengapa ya kita selalu berorientasi menjadi pekerja usai lulus kuliah?
Mengapa kita tidak menjadi penyedia lapangan kerja?
Ini tentu saja sebuah pertanyaan yang saat ini masih saya kaji. Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
Sebuah pertanyaan yang memacu daya pikir saya. Setelah saya renungkan dalam hati, saya akhirnya menemukan benang merahnya. Masalahnya pola pikir, stigmatisasi, rendanya dorongan internal, dan mentalitas yang mental enak.
Yupsss........! Itu dia persoalannya. Hampir sebagian besar orang berpikir bahwa usai menyandang gelar akademik itu, harus bekerja di kantor. Pola pikir semacam ini sudah mengakar dalam struktur sosial kemasyarakatan kita.
Bahwasannya orang yang menyandang gelar sarjana itu, haram hukumnya ikut berjibaku di ladang. Akibatnya orang-orang ini rela menyandang status pengangguran ketimbang harus turun ke sawah.
Profesi petani itu bagi mereka merupakan sebuah peofesi yang sudah diblack list dari daftar profesi yang akan digeluti.
Semenjak dibangku kuliah pola pikir semacam ini terpelihara dengan apik dan rapih. Akibatnya usai lulus kuliah, orang-orang ini bahkan rela bekerja dengan upah rendah, hanya karena polah pikir, Mereka rela melakukannya asalkan pekerjaannya berdasi.
Pola pikir yang seperti ini jika berada ditengah masyarakat, maka itu akan berkembang menjadi stigma. Bahwasanya tamat sarjana itu mutlak bekerja di institusi pemerintahan jadi ASN.
Maka munculah stigma di masyarakat orang yang tidak bekerja di instansi pemerintahan (menjadi PNS) itu dianggap sebagai pengangguran.
Jika saya cukup lama tidak bekerja di instansi pemerintahan, maka orang akan mengatakan "ata ho,o e percuma jadi sarjana" (dia ini percuma jadi sarjana), ini sangat berat brow.....!!
Mingkin stigma inilah yang membuat kawan-kawan saya rela menjadi Tenaga Harian Lepas di instansi pemerintahan dengan upah yang sangat rendah yang panting bisa luput dari stigma masyarakat.
Maka timbulah pemikiran yang penting saya tidak dibilang nganggur, digaji berapa saja juga tidak masalah, hitung-hitung sambil menunggu glombang pengangkatan ASN.
Semakin banyak yang berprinsip seperti ini tentu memperparah posisi tawar kita sebagai pencari kerja. Ini tentu saja tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Minimnya pengalaman kerja yang berbasis skill rupanya menjadi faktor utama dari sederet persoalan diatas.
Akibatnya orang hanya mengandalkan ijasah untuk melamar pekerjaan. Ditengah membludaknya pencari kerja saat ini tentu saja merupakan sebuah mimpi buruk.
Di era milenial seperti sekarang ini, ijasah bukan lagi menjadi hal terlenting dalam mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi jauh dari itu adalah Mereka yang membentengi diri dengan skill dan ijasah akan menjadi the winner atau pemenang.
Sementara yang mengandalkan ijasah dalam mencari pekerjaan akan terkalahkan oleh komptetitor lain.
Saya teringat akan kata-katanya seorang Romo di kampung ketika misa, beliau mengatakan "mengandalkan ijasah saja tidak cukup untuk hidup baik, untuk hidup baik, bekali diri dengan skill".
Pernyataan itu memang benar adanya. So saatnya gali potensi dalam diri kembangkan bakat dan minat.
Biar tidak dibilang sarjana percuma atau percuma jadi sarjana, mari berwira usaha, generasi milenial harus mampu memecahkan persoalan ini.
Masih ingatkah kita dengan penemu apps gojek? Dia adalah seorang pemudah yang berhasil memecahkan persoalan klasik kota Jakarta dengan inovasi dan teknologinya.
Saat ini di usianya yang relatif mudah, sudah memliki perusahan dengan omset yang luar biasa.
Penulis merupakan seorang mantan staff editor berita di salah satu media cyber, saat ini menetap di Bali
Namun bagi sebagiannya lagi memiliki impian bisa bekerja di instansi pemerintah menjadi pegawai Negeri Sipil yang sekarang lebih populer disebut Aparatur Sipil Negara atau ASN.
Maka tidaklah mengherankan jika lulusan perguruan tinggi dalam negeri yang begitu membludak kini antre dijalur yang sama, yakni menjadi pelamar kerja.
Ya menjadi pelamar kerja, mengantre di depan kantor atau instansi pemerintah untuk mengajukan berkas lamaran merupakan pemandangan yang lazim dijumpai dewasa ini.
Lantas apakah ada yang salah dari fenomena ini?
Tentu tidak bisa dikatakan salah, akan tetapi fenomena membludaknya para pelamar kerja tentu terjadi akibat dari tidak seimbangnya antara lulusan perguruan tinggi dengan lapangan pekerjaan yang tersedia.
Ketidak seimbangan inilah yang nantinya menjadi pengangguran. Yakni kumpulan orang-orang yang tidak terserap didunia kerja, atau tidak memiliki penghasilan tetap karena belum memiliki pekerjaan.
Ironisnya, kumpulan orang-orang yang menyandang status "pengangguran" ini kian membludak dewasa ini. Hal ini entu saja sebuah fenomena yang sangat menyedihkan. Apalagi jika latar belakang pendidikan para penganggur ini bisa dikatakan memadahi, maka ini adalah realitas sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius.
Menjadi pengangguran memang sebuah status yang tidaklah menyenagkan. Apalagi jika saya misalnya yang sudah memiliki gelar akademik. Ketika ekspektasinya dulu sebelum kuliah, usai lulus kuliah saya akan bekerja, minimal terserap didunia kerja entah dimana saja.
Namun realitanya, usai kuliah malah menyandang status sebagai pengangguran. Ini tentu saja status yang tidaklah menyenangkan bagi saya.
Akan tetapi tetapi sejenak saya berpikir, mengapa ya kita selalu berorientasi menjadi pekerja usai lulus kuliah?
Mengapa kita tidak menjadi penyedia lapangan kerja?
Ini tentu saja sebuah pertanyaan yang saat ini masih saya kaji. Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
Sebuah pertanyaan yang memacu daya pikir saya. Setelah saya renungkan dalam hati, saya akhirnya menemukan benang merahnya. Masalahnya pola pikir, stigmatisasi, rendanya dorongan internal, dan mentalitas yang mental enak.
Yupsss........! Itu dia persoalannya. Hampir sebagian besar orang berpikir bahwa usai menyandang gelar akademik itu, harus bekerja di kantor. Pola pikir semacam ini sudah mengakar dalam struktur sosial kemasyarakatan kita.
Bahwasannya orang yang menyandang gelar sarjana itu, haram hukumnya ikut berjibaku di ladang. Akibatnya orang-orang ini rela menyandang status pengangguran ketimbang harus turun ke sawah.
Profesi petani itu bagi mereka merupakan sebuah peofesi yang sudah diblack list dari daftar profesi yang akan digeluti.
Semenjak dibangku kuliah pola pikir semacam ini terpelihara dengan apik dan rapih. Akibatnya usai lulus kuliah, orang-orang ini bahkan rela bekerja dengan upah rendah, hanya karena polah pikir, Mereka rela melakukannya asalkan pekerjaannya berdasi.
Pola pikir yang seperti ini jika berada ditengah masyarakat, maka itu akan berkembang menjadi stigma. Bahwasanya tamat sarjana itu mutlak bekerja di institusi pemerintahan jadi ASN.
Maka munculah stigma di masyarakat orang yang tidak bekerja di instansi pemerintahan (menjadi PNS) itu dianggap sebagai pengangguran.
Jika saya cukup lama tidak bekerja di instansi pemerintahan, maka orang akan mengatakan "ata ho,o e percuma jadi sarjana" (dia ini percuma jadi sarjana), ini sangat berat brow.....!!
Mingkin stigma inilah yang membuat kawan-kawan saya rela menjadi Tenaga Harian Lepas di instansi pemerintahan dengan upah yang sangat rendah yang panting bisa luput dari stigma masyarakat.
Maka timbulah pemikiran yang penting saya tidak dibilang nganggur, digaji berapa saja juga tidak masalah, hitung-hitung sambil menunggu glombang pengangkatan ASN.
Semakin banyak yang berprinsip seperti ini tentu memperparah posisi tawar kita sebagai pencari kerja. Ini tentu saja tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Minimnya pengalaman kerja yang berbasis skill rupanya menjadi faktor utama dari sederet persoalan diatas.
Akibatnya orang hanya mengandalkan ijasah untuk melamar pekerjaan. Ditengah membludaknya pencari kerja saat ini tentu saja merupakan sebuah mimpi buruk.
Di era milenial seperti sekarang ini, ijasah bukan lagi menjadi hal terlenting dalam mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi jauh dari itu adalah Mereka yang membentengi diri dengan skill dan ijasah akan menjadi the winner atau pemenang.
Sementara yang mengandalkan ijasah dalam mencari pekerjaan akan terkalahkan oleh komptetitor lain.
Saya teringat akan kata-katanya seorang Romo di kampung ketika misa, beliau mengatakan "mengandalkan ijasah saja tidak cukup untuk hidup baik, untuk hidup baik, bekali diri dengan skill".
Pernyataan itu memang benar adanya. So saatnya gali potensi dalam diri kembangkan bakat dan minat.
Biar tidak dibilang sarjana percuma atau percuma jadi sarjana, mari berwira usaha, generasi milenial harus mampu memecahkan persoalan ini.
Masih ingatkah kita dengan penemu apps gojek? Dia adalah seorang pemudah yang berhasil memecahkan persoalan klasik kota Jakarta dengan inovasi dan teknologinya.
Saat ini di usianya yang relatif mudah, sudah memliki perusahan dengan omset yang luar biasa.
Penulis merupakan seorang mantan staff editor berita di salah satu media cyber, saat ini menetap di Bali