Para tetua adat sedang mendirikan simbol yang akan dijadikan compang |
[ Congkasae.com/Sosbud] Alunan musik gong dan gendang sayup terdengar dari ujung kampung
sore itu, sementara lantunan lagu tampak mengiringi musik tradisional
Khas Manggarai Timur gong dan Gendang.
Sesekali terdengar teriakan
(pasi) dari beberapa orang yang langsung disambut dengan gemuruh tepuk tangan
para penonton.
Itulah suasana yang dialami Congkasae.com
ketika berkunjung ke kampung Nonggu desa Rana Mbata kecamatan Kota komba,
Manggarai Timur Flores NTT Minggu kemarin.
Lantunan lagu dan iring-iringan
gong dan gendang semakin jelas terdengar, Ketika media ini meneruskan
perjalanan menuju sumber suara di kampung Nonggu.
Rupanya warga setempat tengah
mengadakan ritual Sese Topok, yakni sebuah upacara peresmian sebuah
kampung khususnya bagi orang yang mendiami wilayah Manus dan wilayah Gunung
Manggarai Timur.
Bagi orang Manggarai Timur yang
mendiami wilayah Manus dan Gunung, sebuah pemukiman belum dinamai kampung
(Beo) jika belum diadakan ritual sese topok.
Meski memang secara kuantitas
jumlah kepala Keluarga (KK) yang mendiami suatu pemukiman sudah
terpenuhi, namun jika ritual sese topok tersebut belum dilakukan maka
statusnya masih Mbong alias bukan kampung.
Sesetopok dimeriahkan dengan tarian caci |
Hal tersebut juga terjadi pada
warga Kese dan Nonggu Manggarai Timur. Meski sudah bertahun-tahun lamanya
mereka mendiami wilayah pemukiman tersebut, namun warga Nonggu dan Kese masih
berstatus warga Mbong (orang yang tinggal di areal perkebunan) dan bukan warga
kampung atau beo.
Untuk itu diadakanlah ritual
sese topok, yakni sebuah ritual adat amanggarai Timur yang bertujuan
untuk menaikan status pemukiman Kese dan Nonggu dari status Mbong menjadi Beo.
Dengan ritual sese topok
inilah, warga Nonggu dan Kese secara resmi memiliki compang yakni sebuah mesbah
untuk persembahan pada nenek moyang yang terletak di tengah kampung.
Ritual sese topok kali ini
melibatkan semua warga di pemukiman tersebut, selin itu dihadiri oleh tua
adat setempat baik dari gendang gilong maupun dari gendang Gunung.
Mengingat Nonggu dan Kese
memang termasuk dalam wilayah ulayat gendang Gunung, akan tetapi
warga di dua kampung tersebut rata-rata berasal dari gendang Gilong.
Menurut salah satu sumber dari
gendang Gilong, Sese Topok memiliki padanan kata rokas roga yang merupakan
Go,et de embu agu embo (istilahnya leluhur)
Etimologinya menurut sumber
ini, Sese Topok terdiri dari kata Sese dan Topok.
Pertunjukan caci di lapangan SDI Nonggu Matim |
Sese artinya ratakan,sedangkan
topok yaitu sisa pohon kayu yg ditebang tingginya masih agak tinggi diatas
tanah.
Menurut dia, ritual sese
Topok itu tujuanya untuk meresmikan mengesahkan status sebuah pemukiman dari
mbong menjadi beo(kampung).
“Nonggu dan Kese selama ini
secara hukum adat tidak layak disebut kampung seharusnya mbong. Tetapi karena
kemarin mereka adakan acara sese Topok maka bukan lagi mbong statusnya, “kata
sumber yang enggan disebutkan namanya ini.
Dalam acara Sese Topok, menurut
sumber ini, harus diadakan kurban berupa pemotongan satu ekor kerbau di
tempat kusus yang namanya lupung.
“Lupung itu harus di rumahnya tu,a
teno (tua adat) dalam hal ini, yang potong kerbau itu kalau bukan
anak rona de tu,a teno bisa dilakukan oleh tua golo,”imbuhnya.
Acara tersebut disaksikan
beberapa anak rona, tu,a golo juga tu,a teno yang ada diwilayah tersebut.
Tua adat memberikan pengarahan sebelum memuali tarian caci |
“contohnya di Nonggu kemarin
ada 6 tu.a teno yang hadir yaitu, Tu,a teno Gunung dari desa Gunung yang
mrupakan anak rona dari tu.a teno gunung yang ada di Rana Mbata,”katanya.
Pantauan media ini ratusan
warga Nonggu dan Kese terlibat langsung dalam ritual ini.
Ritual diawali dengan acara Roi
Wae (barong Wae) yang digelar satu hari sebelum hari puncak.
Hirarki acaranya sama seperti
acara hgan woja, (syukur panen/penti) yaitu Roi wae, dilanjutkan dengan Renggas
atau ronda, acara dilanjutkan dengan karong wae sai wone rewa mbaru de teno
atau lupung.
Acara dilanjutkan dengan dendek
dan sae (menari) yang dilanjutkan dengan caci.
Acara tersebut berlanjut hingga
malam berupa hgan woja( penti), dan tu,a wua sro saun yang dilanjutkan dengan
mbata hingga keesokan harinya.
Pada pukul 15:00 keesokan
harinya dilanjutkan dengan acara pemotongan hewan kurban nerupa satu ekor
kerbau sesetopok.
Dalam acara ini disaksikan oleh
para saksi terutama tu,a teno dan dihadiri oleh semua warga kampung maupun
warga luar kampung yang diundang.
Acara ditutup dengan penentuan
lokasi compang.
Ritual sese topok kali ini juga
dihadiri oleh tua teno dari wake, Ladok,Angin, Kae dan Puran.
Selain itu tu,a teno gunung
dari desa Gunung Baru juga tampak hadir sebagai tuan rumah.