***Karya Eman Jabur***
Aroma kopi yang baru ku seruput menyatu bersama malam yang memeluk
sepinya. Dan ku lihat hujan terus menuliskan rindu pada dedaunan yang
bergoyang.
Sedangkan di salah satu sudut
ruang otakku ada bertumpuk-tumpuk sajak yang tidak bisa ku eja dengan coretan.
Aku menjungkir balik kata-kataku agar bisa menghasilkan sebuah soneta yang
menggetarkan. Namun nihil, yang bisa ku capai hannyalah sebuah curhatan pilu
ini.
Malam ini, aku teringat pada kenang tentang Liber yang sebetulnya
terlalu dusta jika ku sebut masa lalu, karena buktinya aku dengannya masih ada
hubungan. Aku ingat pada sebuah perjumpaan pertama. Aku teringat tentang rasa
yang pernah dia ceritakan.
Aku teringat pada setiap puisi gombalan yang selalu dia sematkan dalam
pembicaraan konyol kami. Aku ingat tentangnya. Semua tentangnya. Kami tinggal
tidak berjauhan, masih dalam satu kota yang sama.
Tetapi rindu ini seakan dia berada ribuan atau bahkan jutaan kilometer
jauhnya. Mungkinkah ini alasan kenapa orang menyebut bahwa cinta itu sebuah
keanehan yang amat irasional?
Aku dan Liber sudah jarang bertukar kabar. Bukan karena hubungan kami
berakhir. Kami hanya renggang. Ada beberapa masalah yang telah membuat kami
seperti dua orang asing yang sedang bertemu di terminal bus. Canggung sekali.
Aku sangat menyadari itu, dan tentu Liber juga menyadarinya. Ahh.,..
kisah cinta ini seperti serial drama Korea saja.
“Maria? Apa yang salah dengan lelaki dan wanita yang saling mencintai,
sehingga dunia begitu sibuk memisahkan mereka?” katanya pada suatu senja yang pilu.
“Entahlah. Tetapi paling tidak mulut kotor mereka itu telah membuat kita
takut memeluk dosa termanis.”
Beberapa bulan terakhir ini Liber mulai risi dengan perkataan keluargaku
yang menurut Liber sangat membuatnya terpojok. Pen-diskredit-an yang dilakukan
oleh keluargaku terhadap Liber adalah sinyal yang menerangkan bahwa aku tidak
diperbolehkan bersamanya. “Apa yang salah dengan Liber? Menurut ku Dia pria
yang baik, ganteng pula.” Gerutuku dalam hati.
Ketika kesibukan kerja dan kuliah merantai kebebasan, Liber pun
menjadikan itu sebagai alasan pemungkasnya untuk menghindari pertemuan rutin
kami di Pantai Serangan, yang sebelumnya menjadi ritual Sabtu sore dalam
hubungan kami.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari ritual rutin kami itu, hanya dua
cangkir kopi bali dan beberapa batang rokok yang di isapnya, serta beberapa
obrolan tidak penting yang secara spontan keluar dari mulut kami berdua.
Terkadang Liber membuka topik politik. Ketika dia memulainya dengan topik itu,
aku langsung menutup mulutnya.
“Stop. Aku tidak suka kamu berbicara mengenai politik,” ucapku sembari
menutup mulutnya menggunakan telapak tanganku.
“Kenapa?, hello, politik itu hobi keles. Masa aku tidak boleh menekuni
apa yang menjadi hobiku?” tukasnya dengan cara bicara yang amat lebai, yang
kadang membuat aku geli.
Aku tidak suka jika dia berniat bergabung dalam dunia perpolitikan.
Bagiku dunia politik lebih banyak dihuni oleh makhluk tak bermoral.
Lihat saja para petinggi Negeri ini, banyak sekali dari mereka yang tersanjung
kasus korupsi dan akhirnya terkurung dalam jeruji besi. Belum lagi
koruptor yang tidak tertangkap, atau bahkan sengaja tidak di tangkap.
Berbicara mengenai koruptor, aku jadi teringat akan perkataan Cak
Lontong yang adalah Komedian papan atas di Negeri ini, katanya tidak semua
orang yang korupsi itu adalah koruptor, karena menurutnya koruptor adalah orang
yang tertangkap karena korupsi.
Jadi jika belum tertangkap, mereka yang korupsi bukanlah koruptor.
“Masuk akal bukan?”
Memang tidak semua orang yang tergabung dalam politik itu semuanya
korupsi. Ada beberapa tokoh politik yang menurutku sangat bersih, seperti
Jokowi, Ahok, Djarot dan beberapa orang lainnya.
Tetapi karena kelakuan beberapa oknum, jadinya citra dunia perpolitikan
menjadi buruk. (Sebenarnya kita sedang membicarakan apa?). Tetapi intinya aku
tidak mau Liber tergoda untuk menjadi makhluk tak bermoral seperti para
koruptor itu.
“Pokoknya berhenti membahas tentang politik. Lagian kenapa kita tidak
membicarakan tentang hubungan kita saja? Tentang apa yang terjadi akhir-akhir
ini diantara kita”
Liber menundukkan kepalanya. Mulutnya tidak mau terbuka. Aku semakin
ingin tahu kira-kira apa arti dibalik diamnya.
“Liber.. Apakah ada luka dalam hatimu yang disebabkan oleh hubungan kita
ini? Apakah kamu sudah menyerah dengan semua ocehan keluargaku ?” Tanyaku
sambil mengangkat mukanya dengan kedua tanganku.
“Maria, bagiku ocehan keluargamu sama sekali tidak bisa memukul
mundur rinduku padamu. Kau tahu Maria? Aku terluka, hanya jika tahu kau tidak
bersedia lagi memeluk erat sukmaku.” Jawab Liber dengan manis seperti biasanya
sambil memegang kedua tangan ku yang menempel di pipihnya.
“Lalu apa yang membuatmu enggan membicarakan hubungan kita? Tanyaku
ketus.
“Tidak ada. Hanya saja, hubungan kita ini seperti seorang ayah yang
mendesah nikmat diatas tubuh putrinya sendiri. Bergairah tapi meresahkan
dunia.”
“maksudnya?” Tanyaku menuntut jawaban yang tak ambigu.
“Iya itu. Kita merasa bahagia dengan segala sesuatu yang telah kita
lalui berdua, tetapi di satu sisi kita juga menyadari bahwa orang terdekat tak
menyetujui cinta yang telah ditasbihkan takdir untuk kita.”
Saat dia selesai mengatakan itu aku melihat kelam dalam matanya lebih
gulita dari malam, dan lebih kelabu dari kesunyian. Ocehan keluargaku,
cinta yang amat dalam untukku, sepertinya telah membuatnya dilemah.
Liber seperti sedang ditarik oleh dua kekuatan. Kekuatan yang satu
menariknya ke barat dan kekuatan yang lainnya menariknya ke timur. Betul-betul
sebuah perhelatan batin yang serius. Jujur saja hatiku ngilu melihatnya.
Perkataan Liber tadi menjadi akhir dari ritual Sabtu sore kami waktu
itu. Dan semenjak saat itu Liber tidak pernah menghubungiku, apalagi melakukan
ritual Sabtu sore bersama lagi. Dia betul-betul menghilang.
Sebenarnya aku bisa saja menemui Liber di Kos-anya, tetapi aku memilih
untuk tidak melakukannya. Mungkin saja Liber membutuhkan waktu sendirian dan
tidak mau di ganggu oleh ku.
Pada suatu senja, yang juga adalah senja yang amat pilu bagiku, aku
pernah menulis surat untuk Liber. Meskipun surat itu tak ku kirim kepadanya
tetapi aku tetap menyimpannya siapa tahu suatu saat dia dapat membacanya. Isi
suratnya demikian.
Untuk nana Liber tersayang
Nana,, Rindu ini jelas nampak terlihat oleh ku, namun tak tersentuh oleh
hadirmu. Ketika gula sudah terlanjur tercampur dalam dua cangkir kopi sore ini,
tidak ada lagi yang dapat kuhirup dan kuhembuskan karena bahkan kabarmu kini
tidak lagi terjangkau oleh rinduku.
Sampai akhirnya denyut nadiku tak lagi senada dengan nafasku, meringkuk
tertusuk sunyi sepi sore ini. Kamu tahu Nana?, di sini aku terus
menunggumu.
Kepergianmu membuat aku merasa kehilangan. Sesekali jika kamu sudah
bosan dengan pengasingan yang kamu buat sendiri, datanglah kesini, tak apa
meskipun topik yang kamu bicarakan nanti adalah tentang politik.
Nana perasaanku sekarang seperti turun dari lereng-lereng bukit
kerinduan lalu berkelana demi mencari berita tentangmu, sampai diantara
riak-riak pelangi, burung mulai bernyanyi, angin telah membeku. Nana rinduku
telah membeku dalam penantian rana ini.
Nana, gemuruh rindu di dadaku semakin menyiksa bagai gelegar suara
Gunung Agung kala meletus. Aku mencoba bertahan walau terasa sesak, dan semakin
sesak ketika ku temukan wajahmu dalam ponselku.
Perlahan menetes air di pipi kananku. Aku merindukanmu, nana
Liberku. Di ujung lembayung senja sore ini, lamunan berhenti di bayangmu,
bayang yang selalu menjadi mimpi pada hati yang menunggu.
Di gelapnya temaram bulan, khayalanku jatuh di dirimu. Sosokmu yang
terus melekat dalam jiwaku. Bersama rindu yang mendera, pikiranku masih
tentangmu. Tentang kamu, nana Liberku.
Jika kepergianmu karena ocehan tak berbobot dari pihak keluargaku,
bukankah keputusanmu terlalu kanak-kanak? Bukankah kamu pernah bilang bahwa
ocehan mereka tak dapat memukul mundur rindumu padaku? Ahh.. nana jangan
mengelak, kamu tentu pernah mengatakan itu, aku ingat betul saat kamu
mengatakan itu.
Jadi nana, datanglah kemari, aku masih disini menunggumu bersama dua
cangkir kopi bali yang siap di minum.
Denpasar 5 Januari 2018
Mariamu