- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    [Cerpen] Rindu untuk Nana Liber

    Penulis: Antonius Rahu | Editor:Tim Redaksi
    06 Januari, 2018, 16:23 WIB Last Updated 2018-01-17T15:14:39Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1
    ***Karya Eman Jabur***
    Aroma kopi yang baru ku seruput menyatu bersama malam yang memeluk sepinya. Dan ku lihat  hujan terus menuliskan rindu pada dedaunan yang bergoyang.

     Sedangkan di salah satu sudut ruang otakku ada bertumpuk-tumpuk sajak yang tidak bisa ku eja dengan coretan. Aku menjungkir balik kata-kataku agar bisa menghasilkan sebuah soneta yang menggetarkan. Namun nihil, yang bisa ku capai hannyalah sebuah curhatan pilu ini. 

    Malam ini, aku teringat pada kenang tentang Liber yang sebetulnya terlalu dusta jika ku sebut masa lalu, karena buktinya aku dengannya masih ada hubungan. Aku ingat pada sebuah perjumpaan pertama. Aku teringat tentang rasa yang pernah dia ceritakan.

    Aku teringat pada setiap puisi gombalan yang selalu dia sematkan dalam pembicaraan konyol kami. Aku ingat tentangnya. Semua tentangnya. Kami tinggal tidak berjauhan, masih dalam satu kota yang sama.

    Tetapi rindu ini seakan dia berada ribuan atau bahkan jutaan kilometer jauhnya. Mungkinkah ini alasan kenapa orang menyebut bahwa cinta itu sebuah keanehan yang amat irasional?

    Aku dan Liber sudah jarang bertukar kabar. Bukan karena hubungan kami berakhir. Kami hanya renggang. Ada beberapa masalah yang telah membuat kami seperti dua orang asing yang sedang bertemu di terminal bus. Canggung sekali.

    Aku sangat menyadari itu, dan tentu Liber juga menyadarinya. Ahh.,.. kisah cinta ini seperti serial drama  Korea saja.

    “Maria? Apa yang salah dengan lelaki dan wanita yang saling mencintai, sehingga dunia begitu sibuk memisahkan mereka?” katanya pada suatu senja yang pilu.

    “Entahlah. Tetapi paling tidak mulut kotor mereka itu telah membuat kita takut memeluk dosa termanis.” 

    Beberapa bulan terakhir ini Liber mulai risi dengan perkataan keluargaku yang menurut Liber sangat membuatnya terpojok. Pen-diskredit-an yang dilakukan oleh keluargaku terhadap Liber adalah sinyal yang menerangkan bahwa aku tidak diperbolehkan bersamanya. “Apa yang salah dengan Liber? Menurut ku Dia pria yang baik, ganteng pula.” Gerutuku dalam hati.

    Ketika kesibukan kerja dan kuliah merantai kebebasan, Liber pun menjadikan itu sebagai alasan pemungkasnya untuk menghindari pertemuan rutin kami di Pantai Serangan, yang sebelumnya menjadi ritual Sabtu sore dalam hubungan kami.

    Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari ritual rutin kami itu, hanya dua cangkir kopi bali dan beberapa batang rokok yang di isapnya, serta beberapa obrolan tidak penting yang secara spontan keluar dari mulut kami berdua. Terkadang Liber membuka topik politik. Ketika dia memulainya dengan topik itu, aku langsung menutup  mulutnya.

    “Stop. Aku tidak suka kamu berbicara mengenai politik,” ucapku sembari menutup mulutnya menggunakan telapak tanganku.

    “Kenapa?, hello, politik itu hobi keles. Masa aku tidak boleh menekuni apa yang menjadi hobiku?” tukasnya dengan cara bicara yang amat lebai, yang kadang membuat aku geli.
    Aku tidak suka jika dia berniat bergabung dalam dunia perpolitikan.

    Bagiku dunia politik lebih banyak dihuni oleh makhluk tak bermoral. Lihat saja para petinggi Negeri ini, banyak sekali dari mereka yang tersanjung kasus korupsi dan akhirnya terkurung dalam jeruji besi. Belum lagi koruptor  yang tidak tertangkap, atau bahkan sengaja tidak di tangkap.

    Berbicara mengenai koruptor, aku jadi teringat akan perkataan Cak Lontong yang adalah Komedian papan atas di Negeri ini, katanya tidak semua orang yang korupsi itu adalah koruptor, karena menurutnya koruptor adalah orang yang tertangkap karena korupsi.

    Jadi jika belum tertangkap, mereka yang korupsi bukanlah koruptor. “Masuk akal bukan?”
    Memang tidak semua orang yang tergabung dalam politik itu semuanya korupsi. Ada beberapa tokoh politik yang menurutku sangat bersih, seperti Jokowi, Ahok, Djarot dan beberapa orang lainnya.

    Tetapi karena kelakuan beberapa oknum, jadinya citra dunia perpolitikan menjadi buruk. (Sebenarnya kita sedang membicarakan apa?). Tetapi intinya aku tidak mau Liber tergoda untuk menjadi makhluk tak bermoral seperti para koruptor itu.

    “Pokoknya berhenti membahas tentang politik. Lagian kenapa kita tidak membicarakan tentang hubungan kita saja? Tentang apa yang terjadi akhir-akhir ini diantara kita” 
    Liber menundukkan kepalanya. Mulutnya tidak mau terbuka. Aku semakin ingin tahu kira-kira apa arti dibalik diamnya.

    “Liber.. Apakah ada luka dalam hatimu yang disebabkan oleh hubungan kita ini? Apakah kamu sudah menyerah dengan semua ocehan keluargaku ?” Tanyaku sambil mengangkat mukanya dengan kedua tanganku.

     “Maria, bagiku ocehan keluargamu sama sekali tidak bisa memukul mundur rinduku padamu. Kau tahu Maria? Aku terluka, hanya jika tahu kau tidak bersedia lagi memeluk erat sukmaku.” Jawab Liber dengan manis seperti biasanya sambil memegang kedua tangan ku yang menempel di pipihnya.

    “Lalu apa yang membuatmu enggan membicarakan hubungan kita? Tanyaku ketus.
    “Tidak ada. Hanya saja, hubungan kita ini seperti seorang ayah yang mendesah nikmat diatas tubuh putrinya sendiri. Bergairah tapi meresahkan dunia.”
    “maksudnya?” Tanyaku menuntut jawaban yang tak ambigu.

    “Iya itu. Kita merasa bahagia dengan segala sesuatu yang telah kita lalui berdua, tetapi di satu sisi kita juga menyadari bahwa orang terdekat tak menyetujui cinta yang telah ditasbihkan takdir untuk kita.”

    Saat dia selesai mengatakan itu aku melihat kelam dalam matanya lebih gulita dari  malam, dan lebih kelabu dari kesunyian. Ocehan keluargaku, cinta yang amat dalam untukku, sepertinya telah membuatnya dilemah.

    Liber seperti sedang ditarik oleh dua kekuatan. Kekuatan yang satu menariknya ke barat dan kekuatan yang lainnya menariknya ke timur. Betul-betul sebuah perhelatan batin yang serius. Jujur saja hatiku ngilu melihatnya.

    Perkataan Liber tadi menjadi akhir dari ritual Sabtu sore kami waktu itu. Dan semenjak saat itu Liber tidak pernah menghubungiku, apalagi melakukan ritual Sabtu sore bersama lagi. Dia betul-betul menghilang.

    Sebenarnya aku bisa saja menemui Liber di Kos-anya, tetapi aku memilih untuk tidak melakukannya. Mungkin saja Liber membutuhkan waktu sendirian dan tidak mau di ganggu oleh ku. 
    Pada suatu senja, yang juga adalah senja yang amat pilu bagiku, aku pernah menulis surat untuk Liber. Meskipun surat itu tak ku kirim kepadanya tetapi aku tetap menyimpannya siapa tahu suatu saat dia dapat membacanya. Isi suratnya demikian.

    Untuk nana Liber tersayang
    Nana,, Rindu ini jelas nampak terlihat oleh ku, namun tak tersentuh oleh hadirmu. Ketika gula sudah terlanjur tercampur dalam dua cangkir kopi sore ini, tidak ada lagi yang dapat kuhirup dan kuhembuskan karena bahkan kabarmu kini tidak lagi terjangkau oleh rinduku.

    Sampai akhirnya denyut nadiku tak lagi senada dengan nafasku, meringkuk tertusuk sunyi sepi sore ini.  Kamu tahu Nana?, di sini aku terus menunggumu.

    Kepergianmu membuat aku merasa kehilangan. Sesekali jika kamu sudah bosan dengan pengasingan yang kamu buat sendiri, datanglah kesini, tak apa meskipun topik yang kamu bicarakan nanti adalah tentang politik.

    Nana perasaanku sekarang seperti  turun dari lereng-lereng bukit kerinduan lalu berkelana demi mencari berita tentangmu, sampai diantara riak-riak pelangi, burung mulai bernyanyi, angin telah membeku. Nana rinduku telah membeku dalam penantian rana ini.

    Nana, gemuruh rindu di dadaku semakin menyiksa bagai gelegar suara Gunung Agung kala meletus. Aku mencoba bertahan walau terasa sesak, dan semakin sesak ketika ku temukan wajahmu dalam ponselku.

    Perlahan menetes air di pipi kananku. Aku merindukanmu, nana Liberku.  Di ujung lembayung senja sore ini, lamunan berhenti di bayangmu, bayang yang selalu menjadi mimpi pada hati yang menunggu.

    Di gelapnya temaram bulan, khayalanku jatuh di dirimu. Sosokmu yang terus melekat dalam jiwaku. Bersama rindu yang mendera, pikiranku masih tentangmu. Tentang kamu, nana Liberku. 

    Jika kepergianmu karena ocehan tak berbobot dari pihak keluargaku, bukankah keputusanmu terlalu kanak-kanak? Bukankah kamu pernah bilang bahwa ocehan mereka tak dapat memukul mundur rindumu padaku? Ahh.. nana jangan mengelak, kamu tentu pernah mengatakan itu, aku ingat betul saat kamu mengatakan itu.

    Jadi nana, datanglah kemari, aku masih disini menunggumu bersama dua cangkir kopi bali yang siap di minum. 

    Denpasar 5 Januari 2018

    Mariamu


    Komentar

    Tampilkan

    ads