Sejak
pukul 11.00, aku tidur di kamarku. Ketika hari menjelang sore, perutku memberontak dan meminta
makanan.
Aku
hanya bisa menahannya dan menenangkannya sambil terus mencari solusi.
Seandainya masih seperti “di dalam” dulu
hidupku pasti tidak akan seperti ini.
Karena
semuanya sudah disediakan dan aku hanya tinggal makan. Namun sekarang, aku
kesulitan untuk makan karena memang beras sudah habis. Aku juga kesulitan tidur
karena terus menahan lapar.
Aku
pun membaringkan diri lagi sambil mengingat-ingat keputusan “itu” diambil. Aku
seolah-olah masuk dalam peristiwa tersebut.
Semuanya itu berawal dari ketika
aku pulang kuliah. Di bawah terik matahari, aku mendayung sepedaku yang reyot. Seluruh bajuku basah bukan karena
disiram oleh air tetapi disiram oleh keringatku sendiri.
Aku memutuskan untuk
beristirahat di bawah pohon mangga sambil memandang kendaraan yang lewat di
depanku. Aku melihat seseorang yang mengendarai sepeda motor.
Aku melihat seorang anak
muda yang mengendarai mobil. Seseorang lagi mengendarai sepeda motor dengan memboncengi seorang
perempuan, mungkin istrinya atau pacarnya atau teman atau mungkin juga
saudaranya barang kali. Aku melihat mereka semua sangat bahagia menjalani hidup
mereka masing-masing.
Aku
hanya bisa mengumpat menyaksikan itu semua. “Mengapa hidupku seperti ini?
Mengapa aku membawa sepeda rusak ini? Ah...sadisnya hidup ini.
Hidupku penuh
dengan kesengsaraan dan penderitaan.” Aku terus mengumpat dan memaki-maki
hidupku sendiri sambil menendang sepeda di sebelahku. Tiba-tiba pikiran itu pun
datang.
“Yah...aku harus keluar. Aku harus mengundurkan diri.Aku tidak mau
hidup sengsara seperti ini. Aku pasti bahagia,apabila aku hidup di luar. Aku
pasti bebas hidup di luar tanpa membawa sepeda buntut ini.”
Sampai
di biara, aku langsung menuju kamar Romo selaku pemimpin komunitas. Aku
mengutarakan maksud kedatanganku karena aku sudah tidak bahagia dan betah
tinggal di dalam biara.
Romo memberiku waktu tiga hari untuk merefleksikan keputusan
tersebut. Selama tiga hari itu, aku hanya berimajinasi tentang indah dan
enaknya hidup di luar biara.
Ketika sudah waktunya, aku dengan mantap
mengatakan bahwa aku tetap pada keputusanku yakni keluar dari biara.
Hari
itu juga, setelah berpamitan dengan para romo dan frater yang lain, aku
langsung menuju tempat baruku yakni kos.
Pada malam harinya, sebagai bentuk perayaan “hari bebas”, aku membeli
rokok dan mentraktir teman-teman frater yang bolos dari biara dan yang datang
ke tempat baruku itu. Aku dan teman-teman bereuforia bersama merayakan hari kemerdekaann-ku
itu.
Sampai-lah
pada saat ini, aku hanya mampu berbaring menahan rasa lapar dan tidak mampu
berbuat apa-apa lagi.
Uangku sudah habis, semuanya sudah habis ditelan
kebebasan dan kesenanganku selama ini. “Ah ternyata sama saja hidup di luar dan
di dalam biara. Semuanya tidak bahagia dan penuh kepahitan.”
Sementara
aku merenungkan nasibku, hp-ku
berbunyi. Ternyata seorang teman frater menelepon dan meminta pendapat dariku.
Karena ia juga mau keluar katanya ia tidak bahagia tinggal dalam biara dan
melihat diriku sangat bahagia ketika hidup di luar biara.
Sebelum memberi
pendapat, aku lama terdiam memikirkan
seluruh peristiwa yang terjadi dalam hidupku selama ini. Sambil menarik napas
dalam-dalam, aku mengatakan hal ini : “ teman, apa yang kamu alami sekarang
sama seperti yang kualami dulu.
Aku berpikir bahwa hidup di luar biara lebih
bahagia daripada di dalam biara. Ternyata tidak! Teman. Ada satu hal yang menjadi
pelajaran buatku sekarang dan mungkin juga baik kuberitahukan padamu.
Seringkali aku melihat bahwa orang-orang di sekitarku merasa bahagia ketika
menjalani hidup mereka. Namun, ternyata
sebagian dari mereka juga berpikiran seperti diriku.
Mereka berkata
kepadaku betapa bahagianya kamu. Teman, kebahagiaan itu bukan terletak
pada apa yang kita lihat di sekitar kita.
Kebahagiaan itu tergantung dari kita
yang menjalani kehidupan ini. Apabila
kita bisa menikmati dan memaknai setiap moment dalam hidup maka kebahagiaan itu
akan datang kepada kita.
Kebahagiaan itu diciptakan oleh diri kita sendiri.
Orang yang selalu mengeluh dan berkata betapa bahagianya mereka adalah orang yang belum menemukan
makna hidup yang dia jalani setiap hari. Dan salah satunya adalah diriku.”
Setelah
percakapan itu, aku kembali memikirkan dan merenungkan hidupku. “Ah...setidaknya
aku bisa belajar dari peristiwa yang terjadi dalam hidupku selama ini.
Aku
tidak boleh lagi mengambil keputusan, hanya karena aku melihat sisi baik dari
peristiwa yang akan aku jalani selanjutnya.
Aku juga harus melihat kemungkinan
buruk apabila aku mengambil keputusan itu. Dan sekarang aku sudah mengambil
keputusan itu.
Walaupun keputusan tersebut merupakan kesalahan terbesar dalam
hidupku, aku akan tetap menerima resiko dari keputusan itu.” Aku pun langsung
bangun dari tempat tidur dan mulai menata hidup baruku ini.
Penulis saat ini sedang mempelajari studi filsafat di STFT WIDYA SASANA, Malang. kardi adalah seorang religius dari Serikat Maria Montfortan.
Baca Juga
1, Cintaku Kandas Karena Belis
2.Ulumbu, Murka Alam yang Membawa Berkah
3. Rindu yang Tak Terbalaskan
4.Molas Manggarai dan Belis 200 Juta
5. Molas Manggarai dan Bedak Viva Nomor 5
Penulis saat ini sedang mempelajari studi filsafat di STFT WIDYA SASANA, Malang. kardi adalah seorang religius dari Serikat Maria Montfortan.
Baca Juga
1, Cintaku Kandas Karena Belis
2.Ulumbu, Murka Alam yang Membawa Berkah
3. Rindu yang Tak Terbalaskan
4.Molas Manggarai dan Belis 200 Juta
5. Molas Manggarai dan Bedak Viva Nomor 5