***Oleh Antonius Rahu***
Manggarai merupakan salah satu kabupaten yang memiliki beragam tarian tradisionalnya. Kabupaten yang terletak di ujung barat pulau Flores ini rupanya menyimpan banyak kekayaan alam dan juga kekayaan tradisinya.
Salah satu tarian tradisional yang sangat populer dari daerah ini adalah tarian Caci. Caci sendiri merupakan tarian yang mempertontonkan adu ketangkasan para pemainnya.
Tarian ini hanya bisa dimainkan oleh kaum adam saja, sementara kaum perempuan hanya bisa mengambil bagian dalam menabuh gendang dan Gong yang mengiringi tarian Caci.
Konon katanya, pada zaman dahulu kala, tarian ini dipentaskan dalam upacara adat yang cukup sakral, contohnya upacara sesetopok (peresmian kampung baru), upacara kelas Mese (pesta kenduri), upacara Hang Woja (semacam penti di Manggarai Timur).
Namun seiring perkembangan zaman, kini tarian Caci tak hanya dipentaskan dalam kegiatan atau upacara-upacara besar saja, akan tetapi untuk acara biasa pun tarian ini sudah bisa dipentaskan.
Contohnya dalam rangka memeriahkan HUT RI, seperti yang dilakukan oleh warga Manggarai yang berdomisili di Bali, baru-baru ini.
Warga Manggarai yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Manggarai Bali (IKMB) menggelar pementasan tarian Caci selama sehari.
Kegiatan tersebut digelar di lapangan Lagoon Nusa Dua Bali. Uniknya pementasan tarian ini rupanya sukses menyedot perhatian ribuan warga Manggarai Raya yang ada di Bali.
Buktinya lapangan Lagoon Nusa Dua siang itu dibanjiri lautan manusia. Ini sekaligus membuktikan bahwa rasa cinta dan sadar akan kelestarian Caci ini masih terbilang cukup tinggi di kalanagan warga Manggarai.
Meski jauh dari daerah asal, warga Manggarai yang menetap di Bali masih memiliki rasa bangga dengan adat dan tradisinya.
Saya melihat ada beberapa hal penting yang cukup menarik dibalik pementasan tarian Caci di lapangan Lagoon Nusa Dua Bali siang itu.
Caci Sebagai Media Pemersatu
Dalam hal ini penulis berpandangan di balik pementasan tarian Caci yang syarat akan kekerasan fisik, dimana aksi saling cambuk itu diperlihatkan di hadapan publik, terkandung sebuah pesan bahwa Caci sebenarnya menjadi media pemersatu.
Melalui tarian Caci ini, warga Manggarai disatukan, bisa bertegur sapa, karena pada akhirnya tarian ini menjadi magnet yang menyedot perhatian warganya untuk datang dan menyaksikan pentas tarian Caci.
Orang Manggarai kemudian tak lagi terpisah oleh sekat-sekat batas teritorial yang ditetapkan oleh pemerintah (tiga kabupaten yang ada di Manggarai Raya).
Semua sekat-sekat itu kemudian dilebur menjadi satu, melalui pentas tarian caci ini. Dalam hal ini, tarian Caci ini benar-benar menjadi medium yang mempersatukan semua warga Manggarai, tanpa memperhatikan latar belakang, daerah asal dan suku.
Semua perbedaan itu mengerucut jadi satu yakni kita ini satu. Sesungguhnya Manggarai itu satu (wae Mokel awon, Selat Sape salen) itulah Manggarai.
Caci Sebagai Seni
Meski dalam prakteknya tarian Caci ini syarat akan kekerasan fisik, namun penulis melihat itu bukan menjadi sumber kekacauan. Karena pada akhirnya Caci hanyalah seni membela diri melali gaya taang dibalik Panggal dan Nggiling.
Demikian juga bagi orang yang melakukan cambuk (ata Paki), ini bukan sebuah kesempatan untuk menyambuk lawan dan meluapkan dendam yang ada dalam diri.
Ini hanyalah sebuah seni memainkan cambukan melalui larik (alat cambuk). Ada kebanggaan tersendiri ketika melihat lawan terkena cambukan. Akan tetapi ini bukan dijadikan media untuk saling melakukan balas dendam terhadap lawan.
Karena pada akhirnya keduanya akan bersalaman (cau lime tau) yang diakhiri dengan Lomes dan Paci, yang dibalas oleh penonton.
Ini hanyalah sebuah sarana untuk menyalurkan unek-unek yang ada dalam diri. Caci merupakan seni membela diri dan seni memainkan Cambukan.
Caci Sebagai Identitas
Caci juga bisa ditafsirkan sebagai identitas orang Manggarai. Tarian tradisional ini bisa merepresentasikan jatih diri orang Manggarai.
Karena keunikan dan kekhasannya, maka tak jarang, tarian ini selalu meyedot perhatian publik. Tidak semua orang Manggarai juga bisa memainkan tarian ini.
Karena hanya orang-orang Manggarai yang berani dan memiliki bakat saja yang bisa mementaskan tarian tradisional ini.
Karena keunikannyalah tarian tradisional ini bisa melambangkan jatih diri orang Manggarai. Ketika menyebutkan Caci, orang kemudian berpikir bahwa itu adalah tarian tradisional dari Manggarai.
Karena itu, menjadi tugas besar bagi kita semua dalam merawat tradisi Caci ini agar bisa berlanjut dari dulu hingga nanti.
Bukan malah putus di tangan kita yang hidup di zaman sekarang. Menjadi pekerjaan rumah terbesar bagi kaum muda dari generasi Z (generasi kelahiran diatas tahun 2000 an), untuk menjaga keberlangsukan tradisi ini.
Apalagi di era gempuran teknologi yang semakin serba instan ini, kita sebagai generasi penerus Manggarai harus memiliki fondasi yang kokoh untuk menahan serangan budaya dan tradisi luar.
Kaum muda dari generasi Z tidak boleh larut dalam hiruk-pikuk dan keriuhan budaya-budaya asing. Berkacalah pada masyarakat Bali yang tetap kokoh membangun fondasi adat dan tradisinya meski digempur oleh arus perubahan zaman.
Karena merawat tradisi bukan menjadi tugas siapa-siapa melainkan tugas kita semua.
Antonius Rahu |
Penulis merupakan pengajar, dan pemerhati budaya, saat ini tinggal di Denpasar Bali.