- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Senja Terakhir di Pantai Cepi Watu

    Tim Redaksi | Editor: Antonius Rahu
    22 Agustus, 2018, 18:00 WIB Last Updated 2018-08-22T11:00:26Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1


    ***Oleh Fr. Sirilus Yekrianus, SMM***
    Cinta,…ah… tidak, aku ini insan terluka dari dunia asmara. Kumemendamnya ke alam bawah sadar, mencoba untuk membuat lupa sederetan diari itu.
    Namun kenapa aku harus menipu diri, membungkam sukma ku sendiri. Aku ingin berlari dari luka batin ini.
    Aku merasa sangat kehilangan dia. Ah sosok romantis yang kurindukan. Imajinasiku kerap bermain mengimpikan dia tetap bersanding di sisiku.
    Membayangkan bersamanya melewatkan setiap derap perjuangan di SMANLIBO (sma 5 borong)tercinta, menelusuri pantai Cepi Watu yang eksotik, berjalan ke sungai Wae Bobo tuk bercinta, becumbu di pasir putih Cepi Watu.
    Bernyanyi bersama burung gereja di pujian senja geraja Gregorius Borong. Akhirnya mengucapkan kecupan selamat tinggal di jembatan Wae Bobo.
    Kenanglah kembali senja itu hadir. Senja yang membuat runyam hati kita untuk memutuskannya.
    Berharap  hatimu tetap tegar, sesungguhnya yang mulia dari hari itu adalah kita saling menguatkan rindu dalam duka sekalipun.
    Jangan ciptakan risau di hatimu, walau sekarang jemariku tak sempat mengais secuil senyuman untukmu seorang. Kini kita hanya merindukan dalam jarak.
    Cukuplah dirimu mengenal cinta ibarat senja itu. Bahwa kasih sayang yang kita rajut adalah mantra hati yang selalu kita bayar dalam kebijaksanaan. Segeralah memeluk hari kasih sayang itu pehuh harapan, sekalipun keberadaan kita terus disita jarak. Pergilah kemana hati membawamu. Sebab kala itu kita ternyata memilih untuk berpisah.
    Dalam balutan jarak yang terus mengenal sepi, di balik barisan perbukitan Poco Ndeki aku ingin membuka kembali kisah itu. Walau terluka tetapi tetap berharga.
    Semenjak pergimu dahulu, aku bagaikan mawar digolek sunyi dalam kamar, mengambang mata di sudut sepi, berkelindah perih di hati. Ribuan kata berarak menyibak pekat hati, kelam, kusam menyita hariku, tiada daya tanpamu, padamu aku rindu.
     Mengertikah engkau selepas tanyaku di suatu senja tentang perpisahan kita? Kuyakin itu tak bertakhta lama di benakmu.
    Dewi, aku yakin engkau tengah gelisah untuk mengartikan hari kisah itu. Sebab dalam hari itulah kisah kita berakhir. Lantas engkau mungkin terluka.
    Ku pangil engkau kembali mengenang bersama Valentine Day di pantai Cepi Watu. Aku tahu bahwa kado yang kuberikan kala itu adalah luka yang mungkin masih tersimpan dalam kisahmu selanjutnya.
     Memori ku tetap mengingat, kala itu engkau bagai putri salju bergaun  putih, rambut ombakmu dibiarkan terlepas sendiri diribak semilir angin laut.
    Engkau membiarkan pinggangmu bersandar di tepi tembok memandang hamparan laut lepas sembari menunggu aku datang,.
    Dari jauh aku tak berhenti memandang anggunnya parasmu senja itu. Aku melangkah mendekat mencoba bermain tebak menutupi mata ayumu.
    Dewi engkau pasti sudah lama menungu, bukan? Maafkan aku terlambat datang. ”Tidak ka Riki aku juga barusan tiba lima menit yang lalu kok.” Tersenyum.
    Memercikiku dengan air. “Yah inilah kesukaanmu bermain air sudut pantai kala berduan bersamaku. Ka Rik, engkau tahu tidak, ombak adalah saksi kita dan hamparan pasir putih ini adalah kisah kita”
    Alunan nada suaranya mengema di hati mengugah rasa menikmati setiap nada kata-katanya.
    Serasa dahagaku tak pernah puas menyelami setiap sentuhan kata di balik bibir manisnya. Andai engkau tahu Dewi, aku sedang kehilangan kata untuk mengungkapkan desahan hatiku sebenarnya.
    Kak Riki, kok diam aja sih, Valentine malah sedih bukanya gembira, oooooh mungkin sedang merangkai puisi lagi, aku tunggu yah…”
     “Tidak!” Jawabku pelan. “Aku hanya tak kuasa memandang indahnya parasmu di hari yang bahagia ini. Engkau begitu cantik sekaligus berbeda.”
    Tersenyum. “Oh, ya tumben kok datang terlambat hari ini, kenapa sih, bosan ya lihat tempat ini terus?” Aku serasa diam seribu bahasa tak mampu berkata-kata lagi. Rupanya ia menangkap raut sedih pada rona wajahku.
    Aku tak mau menipu diri lagi, biarkan segalanya jelas. Tuhan bantulah aku mengurai kejujuranku di hadapanya. 
    Aku mencoba memegang tanganya sembari menatap dalam-dalam di ujung kedua boala matanya, tanganku gemetaran, sementara di sekujur pipiku air putih bening berkelindan jatuh. Ia mungkin melihat kelakuanku tampak aneh.
    “Dewi...” Suaraku parau memecahkan situasi mencekam itu. “Aku telah melamar masuk biara, aku tetap ingin menjadi imam, selama ini aku sebenarnya telah berdusta pada nurani ku sendiri, sebab suara hatiku masih memilih Dia yang telah memangilku sejak aku masuk seminari”. 
    Situasi itu kembali hening, serasa camar enggan bersuara lagi, sementara angin laut berhenti, sepi.
    Kapal nelayan  seakan menjauh dari bibir pantai, aku tak tahu kemana rimbanya pergi, ombak secepat kilat menghapus penggalan kata “I love you forever” pada hamparan pasir putih, lalu semakin menyusut, surut.
    Apakah alam peduli kisah suka-duka manusia? semuanya benar-benar  aneh. Sementara tubuh gadis mungil di hadapanku rubuh total di depan dadaku. Ia tak sadarkakan diri.  Aku tak tau harus berbuat apa.
    Beruntung sebuah sepeda ontel tua berliaran pelan di sudut dermaga. Aku merebahkannya ke pasir dan berlari mencopot begitu saja sebotol aqua pada sepeda itu.
    Lalu mencoba membuka mulut Dewi dan memaksanya menelan air sedikit-demi sedikit. Mungkin pertolongan kecil ini menghentikan desakan pilu pada hatinya.
    Mulutkupun tak berhenti komat-kamit mengucapkan ribuan balada doa. Tuhan aku tak ingin terjadi sesuatu pada dirinya .
    Tujuh menit berselang aku baru merasakan kehangatan kembali pada tubuh manis itu, berarti ada tanda-tanda kehidupan.
    Aku memang tak ingin engkau pergi walau sebentar lagi aku tetap harus pergi dari darimu. Kedua bola matanya membias pelan menatapku.
    “kak Riki, kenapa ini semua terjadi, mengapa engkau pergi sedini ini?”
      “Maafkan aku Dewi, aku tak mampu memberikan kebahagiaan terbesarmu di hari kasih sayang ini. Aku tak mampu melanjutkan impian kita tuk hidup bersama sampai akhir hayat.
    Aku membiarkan engkau mencari penganti yang terbaik dari lelaki muda di depanmu sekarang. Aku yakin engkau dapat bahagia bersamanya.
    Sekali lagi bencilah kau jika engkau menginginkannya, aku telah berdusta pada diriku sendiri  dan gadis secantik engkau. Hapuslah kisahku dari diari hidupmu!”
    ”Tidak kak Riki, ini semua takdir, terkadang manusia merangkai banyak rencana namun belum tentu sejalan dengan pilihan dia sang sumber kehidupan”. Suaranya terbata lembut dalam rangkulan kedua tanganku.
     “Aku tahu siapa engkau, engkau  pula tahu siapa aku. Engkau adalah orang terbaik yang pernah aku miliki dan terus menjagaku walau sebentar dalam doamu.
    Di hatiku tetap tersimpan mutiara cinta yang pernah kita taburkan bersama. Aku berjanji tidak akan menikah sebelum kak Riki mengucur ujung kasulanya di atas mas kawinku.
    Aku percaya engkau pergi untuk Dia yang telah memangilmu. Jangan sia-siakan hari harimu bersamaNya”. Aku tak mampu menjawab sepatah katapun. Entah apa yang aku rasakan sekarang.
    Yang pasti aku sama sekali kehilangan dia. Aku hanya mampu memeluknya erat dengan kecupan terakhirku. Yah inilah senja terakhir di Pantai Cepi Watu sekaligus kisah asmaraku. Tamat.........!!!!
      
     Fr. Sirilus Yekrianus, SMM
     Baca Juga

    Komentar

    Tampilkan

    ads