***Oleh Fr. Sirilus Yekrianus, SMM***
Cinta,…ah… tidak, aku ini insan terluka dari
dunia asmara. Kumemendamnya ke alam bawah sadar, mencoba untuk membuat lupa
sederetan diari itu.
Namun kenapa aku harus menipu diri, membungkam
sukma ku sendiri. Aku ingin berlari dari luka batin ini.
Aku merasa sangat kehilangan dia. Ah sosok
romantis yang kurindukan. Imajinasiku kerap bermain mengimpikan dia tetap
bersanding di sisiku.
Membayangkan bersamanya melewatkan setiap
derap perjuangan di SMANLIBO (sma 5 borong)tercinta, menelusuri pantai Cepi
Watu yang eksotik, berjalan ke sungai Wae Bobo tuk
bercinta, becumbu di pasir putih Cepi Watu.
Bernyanyi bersama burung gereja di pujian senja
geraja Gregorius Borong. Akhirnya mengucapkan kecupan selamat tinggal di
jembatan Wae Bobo.
Kenanglah kembali senja itu hadir. Senja yang
membuat runyam hati kita untuk memutuskannya.
Berharap
hatimu tetap tegar, sesungguhnya yang mulia dari hari itu adalah kita
saling menguatkan rindu dalam duka sekalipun.
Jangan ciptakan risau di hatimu, walau
sekarang jemariku tak sempat mengais secuil senyuman untukmu seorang. Kini kita
hanya merindukan dalam jarak.
Cukuplah dirimu mengenal cinta ibarat senja
itu. Bahwa kasih sayang yang kita rajut adalah mantra hati yang selalu kita
bayar dalam kebijaksanaan. Segeralah memeluk hari kasih sayang itu pehuh
harapan, sekalipun keberadaan kita terus disita jarak. Pergilah kemana hati
membawamu. Sebab kala itu kita ternyata memilih untuk berpisah.
Dalam balutan jarak yang terus mengenal sepi,
di balik barisan perbukitan Poco Ndeki aku ingin membuka kembali kisah itu.
Walau terluka tetapi tetap berharga.
Semenjak pergimu dahulu, aku bagaikan mawar
digolek sunyi dalam kamar, mengambang mata di sudut sepi, berkelindah perih di
hati. Ribuan kata berarak menyibak pekat hati, kelam, kusam menyita hariku,
tiada daya tanpamu, padamu aku rindu.
Mengertikah engkau selepas tanyaku di suatu
senja tentang perpisahan kita? Kuyakin itu tak bertakhta lama di benakmu.
Dewi, aku yakin engkau tengah gelisah untuk
mengartikan hari kisah itu. Sebab dalam hari itulah kisah kita berakhir. Lantas
engkau mungkin terluka.
Ku pangil engkau kembali mengenang bersama
Valentine Day di pantai Cepi Watu. Aku tahu bahwa kado yang kuberikan kala itu
adalah luka yang mungkin masih tersimpan dalam kisahmu selanjutnya.
Memori
ku tetap mengingat, kala itu engkau bagai putri salju bergaun putih, rambut ombakmu dibiarkan terlepas
sendiri diribak semilir angin laut.
Engkau membiarkan pinggangmu bersandar di tepi
tembok memandang hamparan laut lepas sembari menunggu aku datang,.
Dari jauh aku tak berhenti memandang anggunnya
parasmu senja itu. Aku melangkah mendekat mencoba bermain tebak menutupi mata
ayumu.
Dewi engkau pasti sudah lama menungu, bukan?
Maafkan aku terlambat datang. ”Tidak
ka Riki aku juga barusan tiba lima menit yang lalu kok.” Tersenyum.
Memercikiku dengan air. “Yah inilah kesukaanmu
bermain air sudut pantai kala berduan bersamaku. Ka Rik, engkau tahu tidak, ombak
adalah saksi kita dan hamparan pasir putih ini adalah kisah kita”
Alunan nada suaranya mengema di hati mengugah
rasa menikmati setiap nada kata-katanya.
Serasa dahagaku tak pernah puas menyelami
setiap sentuhan kata di balik bibir manisnya. Andai engkau tahu Dewi, aku
sedang kehilangan kata untuk mengungkapkan desahan hatiku sebenarnya.
Kak Riki, kok diam aja sih, Valentine malah
sedih bukanya gembira, oooooh mungkin sedang merangkai puisi lagi, aku tunggu
yah…”
“Tidak!” Jawabku pelan. “Aku hanya tak kuasa
memandang indahnya parasmu di hari yang bahagia ini. Engkau begitu cantik
sekaligus berbeda.”
Tersenyum. “Oh, ya tumben kok datang terlambat
hari ini, kenapa sih, bosan ya lihat tempat ini terus?” Aku serasa diam seribu
bahasa tak mampu berkata-kata lagi. Rupanya ia menangkap raut sedih pada rona
wajahku.
Aku tak mau menipu diri lagi, biarkan
segalanya jelas. Tuhan bantulah aku mengurai kejujuranku di hadapanya.
Aku mencoba memegang tanganya sembari menatap
dalam-dalam di ujung kedua boala matanya, tanganku gemetaran, sementara di
sekujur pipiku air putih bening berkelindan jatuh. Ia mungkin melihat
kelakuanku tampak aneh.
“Dewi...” Suaraku parau memecahkan situasi
mencekam itu. “Aku telah melamar masuk biara, aku tetap ingin menjadi imam,
selama ini aku sebenarnya telah berdusta pada nurani ku sendiri, sebab suara
hatiku masih memilih Dia yang telah memangilku sejak aku masuk seminari”.
Situasi itu kembali hening, serasa camar enggan
bersuara lagi, sementara angin laut berhenti, sepi.
Kapal nelayan
seakan menjauh dari bibir pantai, aku tak tahu kemana rimbanya pergi,
ombak secepat kilat menghapus penggalan kata “I love you forever” pada hamparan
pasir putih, lalu semakin menyusut, surut.
Apakah alam peduli kisah suka-duka manusia?
semuanya benar-benar aneh. Sementara
tubuh gadis mungil di hadapanku rubuh total di depan dadaku. Ia tak sadarkakan
diri. Aku tak tau harus berbuat apa.
Beruntung sebuah sepeda ontel tua berliaran
pelan di sudut dermaga. Aku merebahkannya ke pasir dan berlari mencopot begitu
saja sebotol aqua pada sepeda itu.
Lalu mencoba membuka mulut Dewi dan memaksanya
menelan air sedikit-demi sedikit. Mungkin pertolongan kecil ini menghentikan
desakan pilu pada hatinya.
Mulutkupun tak berhenti komat-kamit mengucapkan
ribuan balada doa. Tuhan aku tak ingin terjadi sesuatu pada dirinya .
Tujuh menit berselang aku baru merasakan
kehangatan kembali pada tubuh manis itu, berarti ada tanda-tanda kehidupan.
Aku memang tak ingin engkau pergi walau
sebentar lagi aku tetap harus pergi dari darimu. Kedua bola matanya membias
pelan menatapku.
“kak Riki, kenapa ini semua terjadi, mengapa
engkau pergi sedini ini?”
“Maafkan aku Dewi, aku tak mampu memberikan
kebahagiaan terbesarmu di hari kasih sayang ini. Aku tak mampu melanjutkan
impian kita tuk hidup bersama sampai akhir hayat.”
“ Aku membiarkan engkau mencari penganti yang
terbaik dari lelaki muda di depanmu sekarang. Aku yakin engkau dapat bahagia
bersamanya. “
“Sekali lagi bencilah kau jika engkau
menginginkannya, aku telah berdusta pada diriku sendiri dan gadis secantik engkau. Hapuslah kisahku
dari diari hidupmu!”
”Tidak kak Riki, ini semua takdir, terkadang
manusia merangkai banyak rencana namun belum tentu sejalan dengan pilihan dia
sang sumber kehidupan”. Suaranya terbata lembut dalam rangkulan kedua tanganku.
“Aku
tahu siapa engkau, engkau pula tahu
siapa aku. Engkau adalah orang terbaik yang pernah aku miliki dan terus
menjagaku walau sebentar dalam doamu.”
“ Di hatiku tetap tersimpan
mutiara cinta yang pernah kita taburkan bersama. Aku berjanji tidak akan menikah
sebelum kak Riki mengucur ujung kasulanya di atas mas kawinku.”
“ Aku percaya engkau pergi untuk Dia yang telah
memangilmu. Jangan sia-siakan hari harimu bersamaNya”. Aku tak mampu menjawab
sepatah katapun. Entah apa yang aku rasakan sekarang.
Yang pasti aku sama sekali kehilangan dia. Aku
hanya mampu memeluknya erat dengan kecupan terakhirku. Yah inilah senja
terakhir di Pantai Cepi Watu sekaligus kisah asmaraku. Tamat.........!!!!