Salah satu batuan Megalkitikum setinggi 7 meter namun telah patah dihantam petir/Foto Congkasae.com Antonius Rahu |
[Congkasae.com/Sosial Budaya] Kampung adat merupakan salah satu kekayaan yang memiliki nilai historis tinggi.
Apalagi jika dipelihara dengan baik, maka akan berpotensi menjadi obyek wisata yang bisa mendatangkan rupiah.
Seperti kampung adat Golo Wake yang terletak di desa Rana Mbata, kecamatan Kota komba, kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT.
Di kampung adat ini terdapat deretan batuan megalitikum yang berusia ratusan tahun, dan memiliki sejarah yang sangat penting, terutama bagi orang Manggarai Timur khususnya orang-orang dari suku Wake.
Baru-baru ini saya melakukan penelusuran terkait kondisi terkini dari kampung adat Golo Wake, terutama terkait sejarah dan kondisi terkini dari bebatuan yang terdapat di kampung itu.
Saya bergerak menuju desa Rana Mbata dan langsung menemui Yosep Tasung tu,a Teno suku Wake untuk memandu perjalanan saya menuju kampung adat Golo Wake.
Berbekalkan pengetahuan dari tu,a teno Wake saya pun berangkat menuju lokasi. Konon katanya di kampung adat Golo Wake ini terdapat batuan yang usianya ratusan tahun.
Kampung adat Golo Wake ini juga menjadi kampung pertama yang dihuni oleh nenek moyang suku Wake ketika pertama kali menginjakkan kaki di Manggarai Timur.
Informasi dari sumber yang lain menyebut, dibalik bebatuan megalitik yang berdirih kokoh itu terdapat emas dan benda-benda pusaka lainnya.
Rasa penasaran saya pun kian memuncak, setelah melakukan perundiangan dengan tu,a teno suku Wake, ditentukan hari yang pas untuk mengadakan kunjungan ke kampung adat tersebut.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, saya bergegas menemui Yosep Tasung, sang tua teno suku Wake.
Batuan yang diyakini sebagai kubur nenek moyang suku wake/Foto Congkasae.com Antonius Rahu |
Menurut Yosep Tasung jika berkunjung ke kampung ini, mereka harus membawa lilin dan sebotol tuak, hal itu dilakukan karena di kampung ini terdapat kuburan nenek moyang mereka.
Jadi sekalian mereka mengadakan do'a sekaligus memberi sesajen (takung) pada leluhur mereka. Namun bagi orang luar seperti saya, tidak diwajibkan membawa lilin dan tuak.
Saya pun segera berjalan kaki menuju kampung adat Golo Wake dipandu langsung sang tua Teno, Yosep Tasung.
Kami bergerak dari kampung terdekat yakni dari kampung Munde, desa Rana Mbata menuju ke selatan.
Menurut Yosep Tasung, lokasi kampung adat Golo Wake tak jauh dari kampung Munde, jika berjalan kaki hanya memerlukan waktu 30 menit, namun jika menggunakan sepeda motor maka hanya ditempuh dalam waktu 10 menit saja.
Kami berjalan menuju kampung adat Golo Wake, melewati jalanan yang belum diaspal, sesekali saya bertanya kepada sang tu'a teno terkait kondisi terkini di kampung adat itu.
Setelah berjalan selama 10 menit kami pun sampai di pertigaan menuju kampung adat itu, jaraknya tak terlalu jauh dari jalan raya Mbata-Lait,
Yosep Tasung sang tu'a teno langsung memberitahu saya bahwa kampung adat itu terletak di atas bukit, dan kami harus melakukan pendakian dengan jarak 700 meter.
Dari jauh saya melihat ada batuan yang tersusun rapih, sang tu'a teno mengatakan jika yang saya amati itu merupakan benteng terluar dari kampung adat itu.
Dari jauh saya melihat ada batuan yang tersusun rapih, sang tu'a teno mengatakan jika yang saya amati itu merupakan benteng terluar dari kampung adat itu.
Ditinggal Semenjak Perang
Kampung adat Golo Wake saat ini tidak berpenghuni, semenjak tragedi peperangan yang sangat sengit dengan kerajaan Todo ratusan tahun silam.
Ternyata benar, apa yang saya amati dari pertigaan itu memang batuan yang tersusun rapih, mengintari puncak bukit itu.
Total ada dua bebatuan yang melingkari puncak bukit, orang-orang dari suku Wake menyebutnya dengan istilah benteng pertahanan.
Menurut Yosep Tasung, ring perthanan ini sengaja dibangun untuk menghalau serangan musuh, bebatuan yang tersusun rapih itu juga konon bukan dikerjakan oleh tangan manusia melainkan oleh roh halus.
Rasa penasaran saya pun semakin memuncak ketika mendengarkan penjelasan bapak Yosep Tasung ini. Kami pun melangkah selangkah demi selangkah sembari mengabadikan gambar.
Saya merasakan ada perasaan yang berbeda ketika melewati ring pertahanan kedua, dan memasuki area kampung adat Golo Wake ini.
Dari jauh tampak terlihat gundukan batu yang masih tersusun rapih, letaknya di tengah kampung, di atas gundukan batuan itu ditumbuhi oleh pohon yang sangat besar.
Tu'a teno langsung memberitahu saya, jika yang saya amati itu merupakan compang (Mesbah) dari kampung adat Golo Wake.
Menurut Yosep, dulu ketika melakukan persembahan seperti hang woja, atau acara adat lainnya yang mengurbankan kerbau, para leluhur mereka menyembelih kerbau tersebut di compang itu sembari melakukan Raga yakni menari mengintari compang itu dengan diiringi gong dan gendang.
Menurut Yosep, compang itu juga disebut Soa karena memiliki fungsi ganda, selain fungsi utama sebagai tempat memberi persembahan alias sesajen. Beberapa kali saya mencoba mengabadikan gambar dari jarak jauh.
Maklum saya memiliki perasaan takut untuk mendekati compang itu, apa lagi sang tu'a teno mengingatkan saya untuk berhati-hati dan tidak melakukan kegiatan tanpa diperintah.
Menurutnya para leluhur suku Wake akan marah jika tidak mengindahkan larangan selama berada di area kampung Golo Wake.
Saya merasakan bagaikan tengah berziara ke masa lalu, masa dimana belum ada kemajuan zaman seperti saat ini.
Beberapa batuan yang bentuknya sangat aneh saya temukan di tempat ini, ada beberapa batuang yang mirip seperti kapak, ada juga yang memiliki bentuk unik dan diduga menjadi batuan yang digunakan leluhur kampung ini ratusan bahkan ribuan tahun silam.
Batuan megalitikum peninggalan nenek moyang suku Wake/Foto Congkasae.com Antonius Rahu |
Kampung adat Golo Wake saat ini tidak berpenghuni, semenjak tragedi peperangan yang sangat sengit dengan kerajaan Todo ratusan tahun silam.
Ternyata benar, apa yang saya amati dari pertigaan itu memang batuan yang tersusun rapih, mengintari puncak bukit itu.
Total ada dua bebatuan yang melingkari puncak bukit, orang-orang dari suku Wake menyebutnya dengan istilah benteng pertahanan.
Menurut Yosep Tasung, ring perthanan ini sengaja dibangun untuk menghalau serangan musuh, bebatuan yang tersusun rapih itu juga konon bukan dikerjakan oleh tangan manusia melainkan oleh roh halus.
Rasa penasaran saya pun semakin memuncak ketika mendengarkan penjelasan bapak Yosep Tasung ini. Kami pun melangkah selangkah demi selangkah sembari mengabadikan gambar.
Saya merasakan ada perasaan yang berbeda ketika melewati ring pertahanan kedua, dan memasuki area kampung adat Golo Wake ini.
Dari jauh tampak terlihat gundukan batu yang masih tersusun rapih, letaknya di tengah kampung, di atas gundukan batuan itu ditumbuhi oleh pohon yang sangat besar.
Tu'a teno langsung memberitahu saya, jika yang saya amati itu merupakan compang (Mesbah) dari kampung adat Golo Wake.
Menurut Yosep, dulu ketika melakukan persembahan seperti hang woja, atau acara adat lainnya yang mengurbankan kerbau, para leluhur mereka menyembelih kerbau tersebut di compang itu sembari melakukan Raga yakni menari mengintari compang itu dengan diiringi gong dan gendang.
Menurut Yosep, compang itu juga disebut Soa karena memiliki fungsi ganda, selain fungsi utama sebagai tempat memberi persembahan alias sesajen. Beberapa kali saya mencoba mengabadikan gambar dari jarak jauh.
Maklum saya memiliki perasaan takut untuk mendekati compang itu, apa lagi sang tu'a teno mengingatkan saya untuk berhati-hati dan tidak melakukan kegiatan tanpa diperintah.
Menurutnya para leluhur suku Wake akan marah jika tidak mengindahkan larangan selama berada di area kampung Golo Wake.
Saya merasakan bagaikan tengah berziara ke masa lalu, masa dimana belum ada kemajuan zaman seperti saat ini.
Beberapa batuan yang bentuknya sangat aneh saya temukan di tempat ini, ada beberapa batuang yang mirip seperti kapak, ada juga yang memiliki bentuk unik dan diduga menjadi batuan yang digunakan leluhur kampung ini ratusan bahkan ribuan tahun silam.
Batuan peninggalan suku Wake/Foto congkasae.com Antonius Rahu |
Selain itu terdapat juga bebatuan yang mirip seperti senjata zaman dulu yang diyakini sebagai senjata untuk menghalau serangan musuh.
Sementara di bagian timur compang tampak berjejer bebatuan yang diyakini sebagai kuburan nenek moyang suku Wake yang mendiami wilayah itu.
Selain itu terdapat batuan yang berbentuk lonjong setinggi 7 meter yang berdirih kokoh di tengah kampung itu.
Sayang bebatuan setinggi 7 meter itu sudah patah akibat disambar petir beberapa tahun silam, menurut pengakuan tu'a teno suku Wake, dalam setahun lokasi itu memang sering disambar petir.
"Dulu di tempat ini banyak sekali ditumbuhi pohon kelapa, namun belakangan semua kelapa itu mati akibat disambar petir,"kata Yosep Tasung kepada Congkasae.com di lokasi belum lama ini.
Menurut apa yang diyakini oleh tua teno suku Wake ini, kampung adat pertama suku Wake itu kerap disambar petir terutama jika musim hujan tiba.
Hal itu menjadi pertanda bahwa dibalik undakan batu yang tersusun rapih itu masih terdapat barang-barang peninggalan nenek moyang mereka dulu.
"Itu makanya di sekitar area kampung adat ini sering disambar petir,"tambahnya.
Hal itu pulah yang menjadi alasan mengapa batu setinggi 7 meter yang berdiri kokoh di kampung Wake ikut disambar petir.
Perburuan Rusa
Usai melihat bebatuan unik dan ajaib di lokasi kampung Wake, rasa penasaran saya pun kian bertambah terutama terkait siapa sosok nenek moyang yang mendirikan kampung itu dulu.
Untuk menjawab rasa penasaran itu, saya berkesempatan menemui Lasarus salah satu tu'a adat suku Wake di Mbata, desa Rana Mbata, Manggarai Timur.
Menurutnya peninggalan berupa bebatuan yang ada di kampung lama Wake itu merupakan jejak peradaban suku Wake di tanah Manus Manggarai Timur yang masih tersisah.
"Itu menjadi bukti nyata yang kita lihat saat ini, bahwa nenek moyang kami orang Wake dulu bermukim di sana,"kata Lasarus kepada congkasae.com di kediamannya di Mbata, Manggarai Timur.
Menjawab pertanyaan saya, Lasarus pun bercerita perihal keberadaan batuan megalitikum yang tersusun rapih itu.
Ia mengatakan awal kedatangan nenek moyang suku Wake di tanah Manus bermula dari perburuan hewan liar jenis rusa (tagi).
Batuan yang diyakini kuburan nenek moyang suku wake/Foto Congkasae.com Antonius Rahu |
"Mereka (nenek moyang) awalnya mengejar rusa yang sudah ditombaki, namun semakin mereka kejar rusa itu semakin kencang berlari,"kisah Lasarus.
Karena fokus mengejar rusa yang sudah ditombaki itu, nenek moyang mereka tidak menyadari bahwa mereka sudah jauh meninggalkan kampung halamannya di sekitar daerah Watu Ata.
"Alhasil rusa itu berhasil mereka tangkap, namun mereka baru menyadari jika jarak yang mereka tempuh untuk kembali sudah sangat jauh,"katanya.
Karena matahari sudah kembali ke peraduannya, maka merekapun mulai bergegas untuk mencari tempat bermalam.
Kebetulan mereka mencari lokasi yang strategis dan didapatlan lokasi yang berada di Golo Wake itu.
Wae Nu'ang sebagai Wae Teku Suku Wake
compang alias mebah suku wake/ Foto congkasae.com Antonius Rahu |
Menurut pengakuan Lasarus salah satu syarat agar sebuah daerah dijadikan kampung adalah adanya sumber mata air sebagai wae teku disamping lodok.
Untuk itu para leluhur mereka melakukan pencarian terhadap keberadaan mata air di sekitar lokasi itu.
"Dan didapat waktu itu di dekat kampung itu lalu mereka beri nama Wae Nu'ang,"kata Lasarus.
Lasarus menyimpulkan pemberian nama wae Nu'ang terhadap sumber mata air itu bukan tanpa alasan, hal yang menurut Lasa berawal dari nama suku Wake,"Selor Wake Embong Saun, waen Nu'ang,"tambahnya.
Lasarus menambahkan hingga saat ini Wae Nu'ang menjadi salah satu sumber mata air minum bagi warga Suku Wake termasuk warga lain yang berasal dari dua kampung terdekat yakni Munde, dan Zeor.
Setiap kali ada upacara adat berupa hang woja selalu diawali dengan ritual yang disebut roi wae teku, untuk suku Wake moment ini dijadikan sebagai kesempatan untuk membetulkan talang air (sosor) hingga membersihkan area di sekitar mata air minum.
Lodok Kagok yang Misterius
Sebagai syarat lain dari pendirian kampung zaman dulu adalah Lodok yakni pembagian lahan yang berbentuk jaring laba-laba.
undakan batu yang merupakan benteng pertahanan kampung wake/Foto congkasae.com Antonius Rahu |
Untuk suku Wake Kagok adalah lodok yang subur dan menjanjikan, Lodok Kagok ini juga selain menjanjikan juga disertai dengan kisah misterius.
Lasarus mengatakan konon lahan kagok milik suku Wake di masanya ditumbuhi oleh tanaman seperti Padi dan jagung.
Uniknya tanaman-tanaman itu nyaris tak mengenal batasan musim panen seperti tanaman padi dan jagung pada umumnya.
"Jadi di Kagok itu dulu konon selalu ditumbuhi oleh padi dan jagung yang panennya secara terus menerus, jadi habis mengetam dua bulan berikutnya mengetam lagi tanpa dilakukan tanam ulang alias weri nii weru,"kisah Lasarus.
Lasarus salah satu tokoh adat suku Wake/Foto Congkasae.com Antonius Rahu |
Hal tersebut menurut Lasarus menjadi lahan rebutan bagi suku lain termasuk suku Todo yang belakangan melancarkan serangan ke kampung Wake.
Dalam peperangan itu beberapa orang dari suku Wake meninggal demikian pula dari suku Todo. Pasca peperangan itu kampung wake dibiarkan begitu saja dengan semua peninggalannya sampai dengan hari ini.
Penulis: Antonius Rahu