Para tetua adat sedang membersihkan mata air Wae Si,or |
[Congkasae.com/Sosial Budaya] Orang Manggarai merupakan orang-orang yang menetap di ujung barat pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Sebagai daerah yang beriklim tropis, dengan cura hujan yang tinggi, Sebagian besar warga Manggarai hanya menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.
Tak terkecuali
bagi warga desa Rana Mbata, kecamatan Kota komba, Kabupaten Manggarai Timur,
Flores, NTT.
Bagi warga desa
Rana Mbata, Sektor pertanian merupakan senjata utama dalam menghidupi keluarga
dan memperbaiki masa depan anak-anak mereka.
Untuk itu, bersahabat
dengan alam, melalui beberapa ritual adat merupakan cara paling utama dalam
merawat Sumber Daya Alam yang ada, sehingga tetap terjaga kelestariannya.
Salah satu
ritual yang lazim dilakukan oleh warga desa ini adalah ritual Hang Woja, yakni
rentetan ritual yang digelar sebelum memasuki masa tanam.
Secara
etimologis, Hang Woja berasal dari dua kata yakni dari kata “Hang” yang berarti
makan, dan “Woja” yang berarti Padi.
Hang Woja dapat
diartikan sebagai upacara untuk meminta petunjuk kepada Embu agu Embo (nenek
moyang) agar diberikan panen yang berlimpah pada usaha yang dikerjakan selama
satu kali masa tanam.
Ritual ini
lazimnya digelar pada bulan Oktober hingga November, sebelum masa tanam
dimulai. Warga Desa Rana Mbata, Manggarai Timur percaya bahwa panen yang
berlimpah tak terlepas dari adanya peran Embu agu Embo (nenek moyang) dalam
menjaga tanaman yang ditanam.
Untuk itu Nii
atau Bibit yang ditanam perlu dipersembahkan kepada Jari agu Dedek (Tuhan)
disamping embu agu embo (nenek moyang) dalam ritual Tepal, yang merupakan
bagian dari ritual Hang Woja.
Ritual Hang Woja
diawali dengan kegiatan Roi Wae. Yakni kegiatan untuk membersihkan mata
air minum. Mengganti beberapa peralatan yang dipakai berupa Sosor. Kegiatan ini
hanya dilakukan oleh kaum pria saja.
Roi wae teku
diawali dengan Ker yakni bentuk komunikasi langsung kepada Jari Agu dedek dan Embu agu Embo menggunakan sarana ayam dan tuak.
Roi Wae ini
dilanjutkan dengan makan bersama di lokasi mata air tersebut, uniknya nasinya
dimasak menggunakan bamboo yang dibakar (Kolo) sementara untuk sayurnya dimasak
menggunakan bambu yang dibakar juga kami menyebutnya dengan istilah Ghoset.
Usai makan
bersama, kaum pria ini meninggalkan lokasi mata air sambil bernyanyi bersama
kegiatan ini disebut “Kelong”.
Kaum pria tampak meninggalkan mata air |
Mereka akan
bernyanyi gembira sampai di compang (mesbah untuk persembahan) dan rumah Tu'a
Teno.
Di depan rumah
Tu'a Teno, kaum pria ini akan menyanyi dan menari secara melingkar, kami
menyebutnya dengan istilah Dendek.
Dendek ini akan
berhenti jika Tua Teno melakukan Kepok Sundung sekaligus mengajak mereka masuk
ke dalam rumah sang pemilik tanah ulayat
yakni Tu'a Teno.
Menurut Tu'a adat suku
Rangga, Lorens Zanggu rentetan kegiatan dari roi wae hingga kelong dinamakan dengan istilah Barong Wae.
Barong Wae ini merupakan ritual pembuka dari rangkaian prosesi Hang Woja.
Lorens Zanggu |
"Jadi setelah Barong Wae ini dilanjutkan dengan Caci, hingga malam tiba,"katanya.
Sementara itu, Tu'a Teno suku Gilong, Frans Rapas menilai ritual Barong wae ini sebagai salah satu bentuk ucapan syukur warga kepada Jari Agu Dedek (Tuhan) serta Embu Agu Embo (Leluhur) atas anugerah yang diberikan.
"Orang Manggarai Percaya bahwa mata air sebagai sumber penghidupan merupakan anugerah dari Jari Agu Dedek (Tuhan), serta Embu Agu Embo (Leluhur)sehingga perlu diberikan persembahan kepada mereka,"tandasnya.
Karenanya, menuut Frans Rapas, Ritual Barong Wae menjadi salah satu hal yang perlu dilakukan sebelum melakukan ritual Hang Woja.
Hal ini sudah dilakukan oleh warga terutama bagi warga yang mendapatkan tanah ulayat dari gendang Gilong.
Sementara itu, Tu'a Teno suku Wake Yosep Tasung mengatakan bahwa ritual Barong Wae ini mutlak dilakukan oleh warga yang berdiam di dalam tanah ulayatnya.
"Kami setiap tahun, selalu melakukan Roi Wae ini, terutama sebelum Hang Woja ini dilakukan, Warga kampung percaya bahwa mata air sebagai sumber penghidupan perlu diupacarai sebagai bentuk penghormatan kepada Jari Agu Dedek, serta Embu Agu Embo,"terangnya.
Ritual ini dilakukan pada pagi hari, dan dilanjutkan dengan Caci selama seharian. Warga kampung Mbata percaya bahwa di samping Jari Agu Dedek (Tuhan) ada peran Embu Agu Embo (Leluhur) dari setiap berkat yang diterima, berupa panen yang berlimpah.
Jangan lupa nonton juga videonya
Jangan lupa nonton juga videonya