[Congkasae.com/Sipi-Sopok] Pagi ini saya bangun dengan sedikit kekesalan setelah kemarin sore mama menyuru saya beli labu Jepang di pasar Batu Cermin Labuan Bajo.
Saya sich kesal nya karena mama tidak pernah mengerti dengan kondisi saya saat ini yang lagi galau setelah Moni sang pacar tersayang pergi meninggalkan saya.
Awalnya saya menolak untuk beli labu Jepang di pasar, tapi karena mama terus menggerutu yah sudahlah saya turuti saja.
Saya mulai bergerak menuju pasar Batu Cermin yang jaraknya kebetulan hanya 10 menitan dari rumah di Cowang Dereng Labuan Bajo.
Ini adalah pertama kalinya saya berbelanja di pasar Batu Cermin, jadi agak bingung-bingung melihat para penjual yang didominasi oleh warga yang tidak menggunakan bahasa Manggarai.
Dari jauh saya melihat beberapa ibu tampak mengipas-ngipas ikan segar yang ditaruh diatas sebuah boks sementara lalat-lalat menari-nari di atas tumpukan ikan itu.
Saya mencoba melewati lorong kecil yang penuh sesak oleh ibu-ibu yang antre berbelanja. Beberapa pedagang tampak ramah menawarkan dagangan mereka.
Saya agak sedikit merasa gerah karena berada di kerumunan ibu-ibu yang tengah asik berbelanja, ditambah lagi dengan cuaca yang cukup panas meski jam sudah menunjukan pukul 17:12 Wita
Susana pasar tampaknya kian ramai, dalam hati saya terus bertanya-tanya pasar ini rupanya balum memiliki bangunan permanen, mengapa para pedagang ini menjajakan barang dagangan mereka di alam terbuka?
Setelah saya menyusup masuk ke dalam. eh ternyata bangunan pasarnya tengah dikerjakan dan belum rampung.
Beberapa kali saya bertanya pada penjual ikan terkait keberadaan penjual sayur khususnya Labu Jepang yang saya cari.
Mereka hanya menyuruh saya untuk masuk ke dalam pasar. Setelah saya berkeliling pasar dengan kondisi yang sudah cukup berkeringat karena harus berdesak-desakan dengan ibu-ibu, akhirnya saya menemukan barang yang saya cari.
Ya jodoh saya yakni penjual Labu Jepang rupanya tengah asyk berbicara dengan salah seorang pembeli, mungkin mereka tengah sibuk menyepakati harga Belis untuk nikah,,,,,eeiiittssss harga Labu Jepang maksudnya hehe.
setelah pembeli itu pergi meninggalkan jodoh saya ini, kini giliran saya yang mencoba menawar harga Labu Jepangnya.
Saya mengawali percakapan kami dengan mengutarakan pertanyaan dalam bahasa Manggarai,"Pisa labu dite soo Ende?" tanya ku.
Mama tua itu hanya bilang,"Labu Jepang adek?"
Dalam hati saya bergumam, ini mama tua tidak bisa bahasa Manggarai rupanya, langsung ku tanyai dia terkait harga Labu Jepang yang dijualnya.
"Berapa harga Labu Jepangnya ini Bu?" tanyaku.
"Oh yang itu 2000 satu ade,"jawabnya.
"Dua ribu satu ya bu?" tanyaku bingung.
"Iya dua ribu rupiah satu biji ade,"sahutnya.
"loh kok mahal sekali ya bu?" sahutku lagi.
"Ade ini di Labuan Bajo, ade bisa keliling dulu semua sama kok harganya,"jawab ibu ini dengan nada yang agak kencang.
"Ehm,,,,,maksud saya gini bu, kok bisa mahal amat ya? memangnya Labu Jepang ini didapatkan dari mana bu?"tanya saya.
"Ini Labu ade kami beli dari oto pick up, yang datangnya dari Bajawa kabupaten Ngada kami belinya mahal juga makanya jualnya jadi mahal,"katanya.
"Ohhh begitu ya bu? terus memang hanya dari sana saja pasokan Labu Jepang di kota ini bu?" tanyaku.
"Iya ade, itupun kami harus datang pagi-pagi ke sini kalau tidak ya tidak dapat,"ujarnya.
"Emang orang sini tidak ada yang tanam Labu Jepang ya bu?"sahutku lagi.
"Mungkin tidak hobi ade,"jawab sang ibu singkat.
"Terus ibu terima disini dengan harga berapa bu per bijinya,"sahutku lagi.
"Seribu rupiah per biji ade,"ucapnya.
saya mulai membuat kalkulasi bisnis dalam hati saya bergumam, "kalau bawa satu pick up dari Bajawa katakanlah 500 biji sudah dapat 500 ribu itu baru labu belum sayuran lain."
"Ini bisnis yang menguntungkan sebenarnya, Labu Jepang ini di sana mungkin digunakan untuk pakan ternak, saking banyaknya lalu dibawa ke sini jadi rupiah,"gumamku dalam hati.
"Ade jadi bengong? jadi tidak ni beli Labu nya," sahut ibu itu menghentikan lamunanku.
"Eh iya bu saya beli 10 biji saja deh,"ucapku.
Dalam perjalanan pulang saya terus memikirkan tentang prospek bisnis Labu Jepang yang cukup menguntungkan itu.
Saya ingin menanam Labu Jepang di tanah milik bapak di Terang yang luasnya berbukit-bukit itu. Sesampainya di rumah, saya pun mengutarakan niat saya itu.
Jawaban tidak ku duga justru datang dari mama yang telah menunggu ku dari tadi. "Apa??? nana mau tanam Labu Jepang?? nana e coba pikir ulang saja dulu apa saya tidak salah dengar itu rencana,"ujar mama mematahkan semangatku.
"Mama kan tanam saja dulu to nanti pas sudah berbuah tinggal bawa karung pergi petik terus jual ke pasar kan gampang mama,"jawabku meyakinkan mama.
"Oleh nana saya lemas sekali, masa kau ini jauh-jauh kuliah di Bali pulang mau tanam Labu Jepang lagi itu ide dari mana coba?" jawab mama.
"Ah sudahlah mama lupakan saja ide gila itu,"jawabku singkat.
Dalam hati saya bergumam,"inilah beratnya menjadi orang Manggarai melawan rasa gengsi itu berat sekali, padahal lulusan sarjana itu biasa saja, tapi dianggap luar biasa, saking luar biasanya sampai-sampai dilarang menanam Labu Jepang."
Saya hanya memikirkan mengapa berat sekali rasanya Sarjana itu menyentuh pekerjaan petani yang dianggap sebagai profesi kelas bawah.
Jawabannya karena kita sendiri yang membuat parameter dan dikotomi seperti itu. Yang sebenarnya biasa saja, saya teringat lagi dengan teman satu angkatan dengan saya di Bali, saat ini sudah bisa menghidupi dirinya sendiri dengan membuka perkebunan sayur di desa Batu Riti Tabanan Bali.
Saat ini bahkan dia sudah menjadi suplayer sayuran ke pasar Badung, sebuah pasar terbesar di Denpasar.
Jika mereka saja bisa sukses mengapa kita tidak? Sarjana juga bisa menjadi petani, bisa menjadi pebisnis, dan profesi lainnya.
Saya berjanji untuk tidak mendikotomi gelar sarjana yang saya sandang setelah empat tahun berkutat dengan buku dan diakhiri dengan penderitaan tentang susahnya menyusun Skripsi.
Saya bertekad untuk meneruskan impian saya tadi, impian tentang menjadi petani Labu Jepang di Terang Manggarai Barat.
"Nana kenapa bengong? masih ingat Moni? "tanya mama menghentikan lamunan saya.
"saya masih ingat Moni mama, nyesek banget rasanya setelah Moni pergi dari hidup saya mama,"ujarku.
Hati saya benar-benar hancur setelah Moni kekasih hati ini pergi ditambah lagi dengan larangan dari mama soal Sarjana dilarang tanam Labu Jepang.***
Antonius Rahu |
Penulis saat ini menetap di Denpasar Bali