[Congkasae.com/Sipi-sopok] Manggarai merupakan salah satu kabupaten yang terletak di ujung barat pulau Flores. Kabupaten ini dulunya hanya satu yakni kabupaten Manggarai.
Namun karena alasan luas wilayah serta mendekatkan pelayanan pada masyarakat kini kabupaten ini dimekarkan menjadi tiga kabupaten baru, masing-masing dengan nama, kabupaten Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur.
Kendati telah dimekarkan menjadi tiga kabupaten, namun kabupaten ini memiliki kesamaan budaya, adat istiadat dan bahasa, yakni bahasa Manggarai.
Begitu pula dengan mata pencaharian penduduknya, yang mayoritas sebagai petani. Ya...letak geografis kabupaten ini sangat cocok untuk tanaman holtikultura, seperti kopi, cengkeh, kakao, padi, jagung, dan masih banyak lagi.
Bahkan menurut kabar yang beredar, kabupaten ini menjadi salah satu lumbung penghasil kopi terbesar di wilayah Flores, NTT. Sayangnya predikat tersebut tampaknya akan bergeser.
Pasalnya kaum muda di kabupaten ini enggan melirik sektor pertanian yang telah diwariskan oleh nenek moyang terdahulu.
Mengacu pada hasil sensus pertanian yang dilakukan di tahun 2003 misalnya, yang menyebutkan adanya penurunan jumlah petani yang ada di kabupaten ini. Penurunannya sebesar 16,3 persen pada tahun 2013.
Hal tersebut juga linear jika dibandingkan data yang dirilis oleh badan pusat statistik untuk tingkat Nasional. Dari jumlah total petani yang ada saat ini, hanya 12 persen yang berusia dibawah 35 tahun, sisanya merupakan petani tua.
Kondisi ini membenarkan asumsi bahwa terdapat keengganan kaum muda untuk menjadi petani. Ini semestinya tidak boleh terjadi, pasalnya letak geografis kabupaten ini sangatlah cocok untuk sektor pertanian.
Secara umum ada beberapa alasan mengapa kaum muda enggan melirik sektor ini yakni diuraikan berikut ini.
1. Gengsi
Ya...itu dia masalahnya, gengsi telah menggeser sektor pertanian sebagai salah satu profesi yang patut digeluti oleh kaum muda kita. Bahwasannya menjadi petani itu merupakan profesi yang dianggap paling rendah di mata masyarakat.
Apalagi jika kaum muda kita sedikit berlatar belakang pendidikan tinggi, maka menjadi petani merupakan sebuah mimpi buruk.
2. Tidak Usah Kuliah Kalau Ujung-Ujungnya Jadi Petani
Harus diakui bahwa anggapan ini hingga kini masih terpelihara dengan apik dalam memori dan ingatan orang Manggarai terutama kaum muda.
Menempuh pendidikan tinggi bagi kaum muda merupakan cara untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Termasuk meninggalkan sektor pertanian yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.
Adanya stigma dalam masyarakat bahwa lulusan sarjana harus kerja di kantor, memperparah kondisi ini. Akibatnya sektor pertanian kian ditinggal oleh kaum muda.
3. Menjadi Petani Identik dengan Kemiskinan
Melihat faktanya di lapangan bahwa menekuni profesi Petani yang di bidang pertanian dianggap sebagai salah satu profesi yang memiliki masa depan suram.
Hal tersebut sebenarnya hanyalah asumsi semata, buktinya beberapa wilayah di Manggarai Timur yang menjadi lumbung penghasil Kopi dan Cengkeh misalnya, para petaninya sudah memiliki taraf hidup yang jauh lebih baik.
Hanya saja, penulis melihat bahwa pengelolaan sektor pertanian yang dilakukan oleh para petani kita di Manggarai Raya saat ini belum dilakukan secara profesional.
Selain itu di Manggarai Tengah penulis menemukan hal yang luar biasa, di tengah kondisi tanah yang tidak subur (tanah liat yang berwarna merah) mereka bisa menggunakan berbagai macam pola atau teknik menanam sayur.
Hasilnya sangat luar biasa, petani Kenda menjadi pemasok sayur terbesar di Pasar Impres Ruteng. Sebuah keniscayaan yang menjadi nyata.
Setiap pagi, angkutan dari arah Kenda selalu dipenuhi dengan sayur-sayuran ini tentu saja membawa dampak yang luar biasa bagi petani di Kenda terutama dari segi pendapatan.
4. Tidak Sadar Pasar
Harus disadari bahwa menjadi petani jika tidak membangun jaringan ke luar memang agak susah. Percuma jika hasil pertanian berlimpah jika tidak bisa memasarkannya.
Hal ini juga rupanya terjadi dan dialami kaum mudah Manggarai masa kini. Mereka lebih memilih bergelut profesi lain ketimbang menggeluti sektor pertanian.
Hal tersebut karena tidak bisa membaca peluang terutama permintaan pasar, sebagai contoh penulis menemukan harga Labu siam alias Labu Jepang di pasar Batu Cermin Labuan Bajo sangat mahal.
Sebiji dihargai Rp. 2000, ternyata harga labu itu menjadi mahal karena para penjualnya harus memesannya ke Bajawa kabupaten Ngada.
Pertanyaannya adalah apakah bumi Manggarai sudah tidak bisa ditumbuhi oleh tanaman Labu Jepang? Mengapa harus mengimpor dari Bajawa? Sebuah pertanyaan yang perlu dikaji lagi lebih jauh.
5. Merantau Lebih Menjanjikan
Harus diakui bahwa bagi kaum muda Manggarai masa kini, merantau merupakan salah satu impian yang paling ideal.
Dengan merantau masih dianggap bisa mengubah nasib dan masa depan. Padahal faktanya tidak selalu seperti itu.
Kaum mudahnya rela melakukan pekerjaan apa saja sampai di tanah rantau, yang penting bisa meninggalkan kampung halaman.
Mirisnya di beberapa wilayah yang menjadi tempat tujuan, pekerjaan yang digeluti itu tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan di kampung halaman.
Di derah perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan misalnya, pekerjaan yang digeluti itu membuka lahan pertanian baru, dengan kondisi kerja yang sangat memprihatinkan. Bukankah itu yang dilakukan di Manggarai? Lalu mengapa merantau?