***Oleh Paulus Nokar***
Ketika semua lini kehidupan sudah dirambah modernisasi, eksistensi budaya mengalami tekanan yang sangat dilematis.
Masyarakat dunia tidak dapat menghindari arus kuat modernisasi yang mengharu biru tatanan kehidupan sosial.
Masyarakat dunia ketiga ( Manggarai) juga tidak terkecuali. Standar sosial dan norma kehidupan perlahan digantikan dengan standard dan norma modern.
Beberapa hal yang dahulu dianggap tabuh sekarang menjadi lumrah dan bahkan dianggap sebagai
sesuatu yang wajar. Ini mulai naif !!
Disculture;
Arus modernisasi telah membawa kita pada sebuah persimpangan jalan yang membuat kita lupa akan jati diri kita.
Kita menyadari dan bahkan mengakui bahwa kita masyarakat dari suatu daerah, tetapi kita tidak berbudaya daerah dimana kita berada.
Kita mengakui diri kita sebagai orang Manggarai, tetapi kita tidak berbudaya Manggarai. Kita lebih merasa enjoi ketika kita tampil dengan budaya asing yang sudah tentu tidak tahu juntrungannya.
Menjadi pertanyaan, apakah budaya harus dirubah seiring zaman, atau budaya justru menjadi semakin bermakna ketika tetap eksis walau semuanya berubah?
Disintegritas;
Seorang remaja yang saya tau persis adalah orang Manggarai ketika ditanya dari mana asalnya dia justru menyebut daerah lain yang menurut dia itu lebih bergengsi daripada mengaku dirinya sebagai orang manggarai.
Bahkan dalam kehidupan kesehariannya dia menghindari bergaul dengan sesama orang Manggarai supaya memperkuat bahwa dia memang bukan orang Manggarai.
Sebaliknya sebagai sesama perantau beberapa orang diluar Manggarai dengan bangga menyatakan diri sebagai orang Manggarai.
Dikota- kota diJawa sampai Makasar orang Manggarai dengan bangga mengenakan baju bertuliskan IKBM (Ikatan Keluarga Besar Manggarai).
Dalam teori psykologi, orang yg mengingkari daerah asalnya adalah orang yang kehilangan kepercayaan diri dan tidak menerima kekurangannya. Kelompok seperti ini perlu mendapat teraphy selfconfidance dan reorientasi diri.
Disintegritas akan berkembang menjadi 'Don Juan' dan pada waktunya akan melahirkan budaya secularisme.
Sampai pada titik ini kita tidak lagi memiliki norma dan etika sosial, tapi semua hanya berpatok pada kehendak pribadi masing-masing.
Pada hakekatnya budaya merupakan tolakukur kepribadian seuatu masyarakat. Dikatakan sebagai tolakukur adalah karena budaya itu mengatur norma perilaku dan budipekerti masyarakatnya.
Yang jelas setiap daerah memiliki aturan normatif yang merupakan cirikhas masyarakatnya. Adalah keliru ketika kita masyarakat Manggarai tetapi berbudaya Asing.
Lebih ironis lagi kalau budaya asing yang kita anut itu tidak kita pahami secara mendalam.
Era millenium memang sebuah realita khidupan, tetapi aplikasi budaya janganlah diabaikan karena makna millenial akan lebih bermanfaat tatkala kita tetap melestarikan budaya kita sendiri.
Akhirul kallam;
Melalui tulisan ini penulis ingin mengajak kita semua untuk tetap melestarikan dan mempertahankan budaya warisan leluhur kita yang syarat makna dan nilai kehidupan.
Dengan melestarikan dan mempertahankan budaya kita maka samalah artinya kita tetap menghormati dan menghargai nenek-moyang kita.***
Penulis merupakan Praktisi pendidikan sekaligus pemerhati budaya Manggarai saat ini menetap di Surabaya.