- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Menggali Nilai Persaudaraan dalam Tradisi Kumpul Kope Hae Reba Manggarai

    Tim Redaksi | Editor: Antonius Rahu
    12 Januari, 2020, 18:29 WIB Last Updated 2020-01-12T11:29:43Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1
    Kumpul Kope  dalam Budaya Manggarai


    ***Oleh Sirilus Yekry***
    Persaudaraan di tanah air belakangan ini dipengaruhi oleh munculnya beberapa gerakan religius fundamentalis yang mengganggu pancasila.

    Gerakan semacam ini bersifat radikal dan sering kali menunjukan superioritas kebenaran agamanya masing-masing.

    Mereka meyakini bahwa satu-satunya kebenaran mutlak adalah apa yang mereka yakini. Tentu saja paham semacam ini merusak persaudaran dan persatuan bangsa indonesia yang memiliki keragaman keyakinan religius.

    Gerakan semacam ini menimbulkan perselisihan pendapat dalam masyarakat dan tidak heran bila kelompok (agama) yang satu membenci agama yang lain.

    Gerakan semacam ini dirancang oleh elit politik demi maksud politik tertentu. Isu agama dimanfatkan untuk melengser kubu oposisi politik.

    Tulisan ini berupaya menggali semangat persaudaraan yang termuat dalam satu kekayaan budaya Nusantara yaitu dalam tradisi Kumpul kope hae reba-Manggarai.

    Saya tidak mendeskripsikan tradisi kumpul kope hae reba ini secara menyeluruh dan mendetail.
     
    Kuda masih jadi hewan faforit dalam budaya Belis di Manggarai 
    Fokus perhatian saya adalah nilai persaudaraan yang terkandung di dalamnya. Secara harafiah istilah kumpul kope berarti “kumpul parang”.

    Dalam kebanyakan budaya parang sering digunakan untuk bekerja dan berperang. Dalam kebudayaan Manggarai parang digunakan untuk berperang ternyata memiliki sisi melo.

    Parang dimaknai sebagai suatu benda yang luhur dan mulia oleh orang Manggarai. Kumpul kope (kumpul parang) merupakan bahasa simbolis yang merujuk pada perkumpulan pemuda yang mendukung sahabatnya yang akan membangun keluarga baru (kaeng kilo).

    Dengan kata lain kumpul kope adalah ungkapan simbolis dari perkumpulan kaum lelaki (hae reba) yang mendukung sahabatnya yang akan membangun hidup rumah tangga baru.

    Dikatakan mendukung kehidupan, karena membangun hidup keluarga tidak lain adalah usaha untuk mencintai kehidupan itu sendiri.

    Hal ini tentu berbeda dengan pengumpulan massa yang bertujuan memisahkan diri dari persatuan Indonesia dan keutuhan NKRI.
     
    Tradisi Tuke Mbaru dalam adat Manggarai
    Memang persaudaraan dalam konteks tradisi kumpul kope hae reba, hanya terbatas pada persaudaraan kaum laki-laki.

    Hal ini tidak berarti kita tidak mengakui akan adanya perempuan, bukan berarti kita tidak mengakui peran perempuan dalam tradisi ini.

    Yang kita lihat dalam tradisi ini adalah motif keterlibatan persaudaannya yang tidak berdasarkan keyakinan religius dan kesamaan genealogis tertentu, serta tidak demi memenuhi kepuasan pribadi semata, melainkan didasari oleh adanya rasa cinta akan sahabatnya yang akan membangun rumah tangga.

    Jadi konteks kumpul kope hae reba ini adalah persiapan “pernikahan”. Dukungan yang diberi adalah dukungan yang tanpa mengharapkan imbalan, tanpa mengejar popularitas dan tanpa keistimewaan, inilah yang hendak digali dalam tradisi kumpul kope hae reba- Manggarai.

    Persaudaraan sejati berarti kita bersaudara dan bersatu bukan karena pertama-tama karena kita satu keturunan, satu suku, atau karena aku dipuaskan oleh yang lain melainkan karena cinta dan merasa bahwa kita semua adalah sama yaitu manusia yang membutuhkan kehadiran orang lain dalam hidup.

    Tentang Kumpul Kope Hae Reba
    Secara etimologi Kumpul kope hae reba berasal dari kata kumpul dan kope (kumpul: kumpul, berkumpul, menghimpun dan kope: parang).

    Sedangkan hae reba  (hae: teman, sahabat, dan reba: pemuda, orang yang belum menikah). Secarah harafiah kumpul kope adalah mengumpulkan parang-parang.

    Namun arti sebenarnya lebih dari yang harafiah yaitu pengumpulan dana untuk persiapan pernikahan dan membayar belis dalam nuansa persaudaraan dan penuh cinta.

    Hal yang paling utama diperhatikan dalam hal ini adalah kope (parang). Kope (parang) merupakan bahasa kiasan yang berarti jenis kelamin laki-laki (bdk. Adi M. Nggoro, Budaya Manggarai, 2006:  86).
     
    Tukar Kila dalam perkawinan Manggarai
    Kope (parang) ini simbol keperkasaan laki-laki, kejantanan laki-laki.

    Istilah Kumpul kope hae reba sebenarnya terdiri dari dua arti yang berbeda yaitu kumpul kope sendiri dan hae reba.

    Namun dalam pembahasan ini keduanya disatukan agar memiliki arti yang mendalam tentang rasa persaudaraan.

    Kumpul kope hae reba ini adalah kumpulan para pemuda yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan untuk mendukung saudara, sahabat mereka yang akan menikah.

    Kumpul kope adalah salah satu khazanah kebudayaan Manggarai. Kumpul kope merupakan pengumpulan dana atas dasar persatuan, kekeluargaan, dan persaudaraan.

    Kumpul kope ini melibatkan keluarga kandung (hae weki), para tetangga atau kerabat (pa’ang olo ngaung musi), teman, sahabat dan kenalan (hae reba) (bdk.

    Adi M. Nggoro, ibid., 90). Konteks tradisi kumpul kope ini adalah persiapan pernikahan. Dalam acara kumpul kope hanya laki-laki saja yang terlibat.

    Bukan berarti peran perempuan diabaikan dan dalam hal ini tidak menyinggung soal gender. Namun merekalah yang mempersiapkan konsumsi.
    Seorang pemuda Manggarai yang hendak meminang seorang gadis menyampaikan niatnya itu kepada orang tua dan keluarga besar.
     
    Acara Podo Wina Weru dalam adat Manggarai
    Selain mempersiapkan batin tentu saja persiapan finansial sangat dibutuhkan. Oleh karena itu terlebih dahulu pemuda itu menyampaikan niat itu kepada ase kae (keluarga).

    Persiapan finansial ini dilakukan untuk mengantisipasi belis dan juga resepsi pernikahan.

    Pada saat kumpul kope ini keluarga (ase kae), para sahabat (hae reba), tetangga dan masyarakat satu kampung (pa’ang olo ngaung musi), datang untuk menyetor uang,

    bercanda bersama, makan dan minum moke (inung tuak)yang menjadi kebiasaan orang Manggarai.

    Mungkin yang perlu diberitahukan oleh keluarga kepada ase kae pa’ang olo ngaung musi adalah waktu pernikahan, dengan masksud agar mereka juga hadir dalam acara pernikahan tersebut.

    Kumpul kope itu secara kasat mata lebih kepada dukungan bersifat material, namun harus diingat bahwa makna sesungguhnya lebih dari itu.

    Pemuda Manggarai berkumpul untuk mendukung dengan doa dan kehadiran mereka menguatkan pemuda yang akan meminang sang gadis.

    Keterlibatan hae reba (anak muda) dimotivasi oleh adanya rasa persaudaraan. Hal ini sangat nampak dalam istilah yang digunakan yakni toe ata bana (bukan orang lain).

    Pengungkapan ini memiliki arti yang mendalam. Ungkapan ini menjunjung tinggi rasa persaudaraan.

    Ungkapan toe ata bana ini mau menekankan bahwa pemuda yang akan meminang seorang gadis dianggap bukan orang lain oleh hae reba (anak muda, sahabat, teman) dalam satu kampung.

    Jumlah sumbangan yang diberikan oleh hae reba ini tergantung kesanggupan masing-masing orang.
     
    Peran Tongka dalam adat Manggarai
    Acara kumpul kope ini didasari oleh rasa persatuan, persaudaraan, dan kekeluargaan. Nilai-nilai seperti ini merupakan nilai moral, sebagai ungkapan rasa tanggung jawab keluarga, kerabat yang perlu dibina, dan dirawat terus.

    Berkaitan dengan hae reba acara kumpul kope ini sangat membantu mereka dalam mempersiapakan diri sebelum acara pernikahan terjadi.

    Hae reba bersatu padu mendukung kerabatnya itu baik secara materi maupun dukungan doa. Kehadiran hae reba ini memberi sukacita tersendiri bagi teman, saudara, sahabatnya  yang akan melamar sang gadis.

    Mengapa harus kope (parang)?
    Pertanyaan ini perlu disampaikan untuk melihat keterkaitan antara parang (kope) dengan persaudaraan. Pertama-tama kita perlu mengetahui bahwa masyarakat Manggarai menganut sistem patrilineal dimana peran laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan.

    Peran laki-laki lebih dominan hanya mau mengatakan bahwa laki-lakilah yang menjadi pelindung, menjadi tulang punggung keluarga, pada intinya laki-laki menjadi penanggung jawab atas keluarga.
     
    Kumpul Kope berarti bentuk solidaritas antara sesama
    Menurut tradisi Manggarai, yang layak memakai parang untuk bekerja adalah laki-laki (Adi M. Nggoro, ibid., 87).

    Pekerjaan ini dipercayakan kepada kaum laki-laki karena ada anggapan bahwa kekuatan fisik laki-laki memampukan dia mengerjakan hal seperti ini.

    Sementara kekuatan fisik perempuan tidak melebihi kekuatan fisik laki-laki. Selain itu kope (parang) ini melambangkan keperkasaan kaum laki-laki.

    Kope (parang) bukan hanya berfungsi untuk memotong kayu (paki haju) dan memotong daging.

     Kope (parang) memiliki makna simbolis yang melampaui artinya yang secara harafiah. Dikatakan melebihi karena memiliki bentuk dan fungsinya yang sepadan dengan peran laki-laki. Ia menghancurkan sekaligus melindungi.

    Kope (parang) membantu kaum lelaki untuk bekerja dan melindungi keluarganya dari bahaya.

    Orang Manggarai memiliki dua jenis kope (parang) yaitu kope lerong dan kope duat.

    Kope lerong adalah parang yang khusus digunakan pada saat melamar perempuan (ngo rei ina wai) dan pada saat perang (ngo raha/rani), bahkan dalam kesempatan lain kope lerong ini dikenakan pada saat pergi cari kerbau, berdagang dll.

    Untuk membeli kope lerong ini ada hal yang perlu diperhatikan misalnya apakah kope (parang) ini membawa rejeki atau sial.

    Ata pecing (dukun, peramal, penerawang) mampu melihat dan mengukur dengan jari tangan (rempa lime) apakah parang tersebut membawa rejeki atau sial.

    Kope lerong ini memiliki keunikan yang membedakannya dari parang yang lain dalam bentuk fisiknya misalnya: bentuknya panjang, corang rangga (gagang berbentuk tanduk), lupang (sarung) dihiasi dengan kain merah.

    Kope duat (parang untuk kerja), ialah parang (kope) yang digunakan untuk semua aktivitas kerja manusia, khususnya kerja kasar (Adi M. Nggoro, ibid., 92).  

    Kope (parang) ini tidak perlu dilihat atau diukur oleh jari untuk melihat apakah parang itu membawa rejeki atau sial.
     
    Roto, keranjang dari Manggarai salah satu brang wida
    Biasanya orang tua yang akan membeli parang (kope duat) itu terlebih dahulu mereka menggosokan sirih untuk melihat apakah parang itu kuat atau tidak.

    Dari kedua jenis parang ini kita dapat melihat perbedaannya dan melihat fungsinya masing-masing. Melihat kedua fungsinya ini kita dapat mengaitkannya dengan peran laki-laki dalam kebudayaan Manggarai.

    Dengan menganut sistem patrilineal menuntut para lelaki Manggarai untuk memiliki parang yaitu (kope lerong dan kope duat). Memang terkesan bahwa kedudukan laki-laki sangat diagung-agungkan tapi inilah kenyataan yang terjadi dalam teradisi orang Manggarai. 

    Nilai persaudaraan dalam tradisi kumpul kope hae reba-Manggarai

    Relasi intersubjektivas adalah relasi antara pribadi dialami sebagai relasi antara subjek dengan subjek, bukan subjek dengan objek.

    Relasi antara subjek-objek terjadi ketika seseorang menjadikan yang lain sebagai ‘itu’ yang dapat memuaskan-ku, yang dapat dimanfatkan, dan memiliki kesan saya memberi supaya mendapat imbalan.

    Atau dengan kata lain, yang lain didekati hanya untuk memenuhi kepentinganku, hanya untuk memenuhi keinginanku. Ketika sudah dipenuhi, yang lain tidak dibutuhkan lagi, hal inilah relasi subjek-objek.

    Namun, relasi subjek-subjek merupakan relasi yang didasari oleh persahabatan. Relasi persahabatan ini terjadi dalam konteks relasi dengan Liyan.

    Maksudnya dengan siapa Aku ambil bagian dalam kegembiraan, harapan duka, dan kecemasan meski beda dalam agama, latar belakang budaya, kepercayaan dan lain-lain (bdk. Armada Riyanto, Menjadi Mencintai, 2013: 112).

    Relasi subjek-subjek ini adalah relasi yang mementingkan rasa persaudaraan. Saya mendekati yang lain karena yang lain menghadirkan diri sebagai pribadi yang sama dengan Aku.

    Kehadiran yang lain adalah kehadiran sebagai saudara, sahabat. Berbicara mengenai kehadiran Gabriel Marcel mengatakan kehadiran dapat diwujudkan jika “Aku” berjumpa dengan “Engkau”.

    Marcel membedakan relasi antara “Aku”-“Engkau” dengan relasi “Aku”-“Ia”. Relasi “Aku”-“Ia”, orang lain bagi saya tampak dalam aspek-aspek fungsional saja.

    Sementara relasi “Aku”-“Engkau”, sesama manusia tampak bagi saya justru sebagai sesama. Kehadiran ini dapat direalisasikan dalam cinta.

    Aku dan Engkau mencapai pada taraf kita (bdk. K. Bertens, Filsafat Barat Abat XX, 1985: 304).  

    Hal ini yang dimaksud Marcel tentang partisipatif adalah kehadiran. Partisipatif ini bukan hanya merujuk pada kedekatan fisik tetapi lebih dari itu yaitu kehadiran subjek secara utuh.
    Afirmasi Marcel dapat dipautkan dengan tradisi Kumpul kope hae reba-Manggarai. Tradisi kumpul kope sebenarnya bentuk konkrit terkait dengan gagasan kehadiran.

    Kehadiran dalam kumpul kope ini bukan pertama-tama berbicara tentang berapa besar uang atau hal-hal meterial, bukan pula kehadiran-ku di sana dapat memberikan kepuasan bagiku, bukan pula hadir untuk memamerkan harta kekayaan.

    Tetapi kehadiran dalam tradisi kumpul kope ialah sejauh mana kehadiranku sungguh-sungguh mendukung saudara-ku yang akan memulai babak kehidupan baru yaitu hidup berkeluarga.

    Dengan demikian relasi yang terjadi dalam kumpul kope hae reba ini merupakan relasi subjek-subjek.

    Dikatakan demikian karena orang (sahabat) yang hadir dalam kumpul dana alias kumpul kope ini sama sekali tidak memandang sahabatnya yang akan menikah sebagai objek yang patut dikasihani melainkan sebagai saudara.

    Relasi yang terjadi dalam tradisi kumpul kope bukanlah relasi atas dasar saling menguntungkan, sebab konsep saling menguntungkan dapat menghancurkan seluruh intensitas ketulusan manusiawi.

    Relasi ini tidak melihat untung-rugi, tapi yang dilihat adalah persaudaraan.

    Relasi intersubjektivitas mengandaikan relasi yang egaliter. Relasi kedua subjek tidak saling memanfatkan.

    Relasi keduanya harus dihayati sebagai aktivitas menjadi (Adi M. Nggoro. Op. cit., 144).  

    Dalam relasi kaum laki-laki Manggarai sama sekali tidak bermaksud mendatangkan keuntungan bagi dirinya sendiri.

    Para lelaki Manggarai berkumpul dalam pertemuan mulai dari bantang kope sampai pada kumpul kope tetap menjalin hubungan kekeluargaan dan dalam nuansa kekeluargaan juga.

    Kekeluargaan disini tidak lagi hanya didasarkan pada hubungan genealogis. Sebab yang datang bukan saja ase kae (keluarga kandung), melainkan para pemuda yang berada di kampung tersebut walaupun tidak ada hubungan keluarga (hae reba one beo).

    Melalui acara kumpul kope ini masyarakat Manggarai memperluas jaringan kebersamaan, jaringan kekeluargaan, karena yang hadir dalam acara kumpul kope itu sendiri bukan hanya keluarga kandung melainkan sahabat, kenalan dan lain sebagainya.

    Dari sini dapat disimpulkan bahwa keutamaan dalam acara kumpul kope itu adalah persaudaraan.

    Kumpul kope hae reba: ungkapan mencintai kehidupan
    Mencintai kehidupan adalah kebenaran moral yang tidak dapat disangkal oleh siapapun yang berkehendak baik. Kehidupan itu perlu dijaga, dirawat, dipelihara dan dilindungi.

    Kehidupan yang dimaksud adalah pengalaman eksistensi seseorang yang memiliki hak, kewajiban dan kebebasan.

    Hak, kewajiban dan kebebasan seseorang untuk bereksistensi tidak boleh dibatasi, dicabut oleh siapapun.

    Namun perlu diingat bahwa orang yang menuntut hak, kewajiban dan kebebasan harus melihat norma yang berlaku dalam suatu tatanan kehidupan.

    Kehadiran orang lain harus disadarai sebagai kehadiran yang bertanggung jawab dan sebagai yang mencintai atas kehadiran sesamanya.

    Pada zaman sekarang ini ada banyak orang yang terjebak dalam kebudayaan yang sebenarnya tidak menghargai kehidupan, misalnya: konsumsi narkoba, bom bunuh diri, aborsi dan lain-lain.

    Tradisi kumpul kope hae reba Manggarai adalah salah satu tradisi yang mencintai, mengharagai kehidupan.

    Tradisi kumpul kope hae reba ini seperti yang sudah dijelaskan pada bagian awal, yaitu bertujuan untuk mendukung seorang (pemuda) yang akan, membangun hidup rumah tangga yang baru.

    Membangun hidup rumah tangga dalam konteks budaya Manggarai bertujuan untuk meneruskan keturunan (kudut beka agu buar).

    Pasangan yang akan menikah berkomitmen akan hidup setia dan saling mencintai. Komitmen untuk setia dan mencintai ini merupakan ungkapan mencintai kehidupan karena di dalamnya tidak adanya perpecahan.

    Memang harus diakui dalam membangun hidup rumah tangga pasti ada silang pendapat, kurang menerima keputusan suami atau istri, namun hal ini tidak menimbulkan terjadinya perceraian.

    Kebahagian kedua mempelai ini akan menjadi sempurna jika dianugerahkan anak. Orang Manggarai biasanya sangat menghargai akan anugerah yang diberikan Tuhan, yakni  kehadiran sang buah hati.

    Orang Manggarai percaya bahwa kehadiran sang buah hati merupakan hadiah yang diberikan, -“dipercayakan”- kepada mereka oleh Mori Kraeng (Tuhan Allah) (bdk. Petrus Janggur, Butir-Butir Adat Manggarai, 2010: 53).

    Tindakan aborsi sama sekali suatu hal yang jarang ditemukan di daerah Manggarai. Hal ini dikarenakan kebudayaannya masih kental.

    Kita kembali kepada tradisi kumpul kope hae reba. Kehadiran kaum laki-laki dalam acara kumpul kope hae reba dilihat sebagai tindakan yang mencintai, merawat dan mendukung budaya kehidupan.

    Dikatakan demikian lantaran menikah dalam budaya Manggarai selalu dikaitkan dengan penerusan keturunan.

    Meskipun hal ini bukanlah tujuan utama dari sebuah pernikahan namun dalam insting orang Manggarai memiliki keturunan adalah sesuatu yang urgen dan pewarisan keturunan ini dilihat sebagai sebuah realitas yang selalu menyertai perkawinan.

    Kehadiran kaum laki-laki dalam acara kumpul kope ini dilihat sebagai kehadiran yang mendukung pewarisan keturunan. Kehadiran mereka memberikan kekuatan psikologis bagi sahabat, saudara mereka yang akan membangun kehidupan rumah tangga yang baru.

    Persaudaraan lintas batas
    Persaudaraan lintas batas ini ditandai dengan tidak adanya perbedaan pandangan masyarakat Manggarai tentang orang yang hadir pada saat acara kumpul kopehae reba.

    Maksudnya tidak ada perlakuan yang istimewa antara yang satu dengan yang lain. Dalam tradisi kumpul kope hae reba persamaan tidak lagi menjadi dasar persahabatan dan persaudaraan.

    Karena persamaan itu bukan berarti sahabat, saudara atau keluarga. Jika kehadiran hae reba didasarkan karena adanya persamaan, di sana tidak ada nilai kekeluargaan.

    Contoh, sesorang yang hadir dalam acara kumpul kope ini beranggapan bahwa mereka memiliki persamaan nasib karena sama-sama akan menikah.

    Maka apa yang saya  berikan harus dibalas. Perinsip semacam ini berseberangan dengan nilai yang terkandung dalam tradisi kumpul kope yaitu persaudaraan (memberi tanpa menuntut balasan). Saya memberi karena dia adalah saudaraku, keluargaku.

    Persahabatan dalam tradisi kumpul kope ini tidak didasari oleh adanya kesamaan tertentu sebab dapat mengusung sikap fundamentalisme.

    Persahabatan semacam ini mereduksi arti persahabatan sejauh sama. Konsekuensinya yang sama tidak didekati sebagai sahabat, melainkan sebagai lawan atau musuh dan relasi tidak dilandasi oleh rasa cinta.

    Mereka bersembunyi dibalik kata persahabatan, dimanteli oleh afirmasi persaudaraan. Padahal ada tujuan tersembunyi dibalik semuanya itu.

    Dalam tradisi kumpul kope hae reba, kita akan menemukan persahabatan yang dibicarakan oleh Aristoteles dan Agustinus.

    Aristoteles mengatakan persahabatan itu mengatasi keutamaan keadilan, sebab dalam persahabatan pasti  ada sikap saling memberi, memperhatikan dan menghormati.

    Afirmasi Aristoteles ini juga terdapat dalam tradisi kumpul kope hae reba-Manggarai. Dalam tradis kumpul kope hae reba-Manggarai tema keadilan tidak relevan lagi.

    Dikatakan tidak relevan karena kehadiran hae reba tidak dimotivasi apakah kehadiranku mendatangkan keadilan baginya atau bagi saudaraku yang akan menikah.

    Tetapi kehadiranku sebagai saudara yang memberi dukungan, kekuatan, dan dilandasi oleh rasa cinta.

    Agustinus pernah mengatakan bahwa tidak ada hiburan yang lebih tinggi daripada tinggal bersama sahabat.

    Gagasan Agustinus ini menjadi gambaran dari pengalaman saudara yang mengalami dukungan dari sahabatnya dalam acara kumpul kope hae reba.

    Kehadiran pribadi lain yang datang untuk mendukung saudara yang akan membangun rumah tangga baru baik secara material maupun batin memberi kebahagian tersendiri baginya.

    Setiap pilihan hidup membutuhkan kehadiran dan dukungan orang lain terutama dalam acara kumpul kope.

    Bisa dibayangkan betapa bahagianya sang calon pengantin laki-laki  melihat ada begitu banyak orang (saudara) yang hadir dalam acara kumpul kope tersebut.

    Kedua filosof di atas kiranya membantu kita untuk melihat universalitas persaudaraan dalam tradisi kumpul kope hae reba-Manggarai.

    Persaudaraan melampaui persoalan adil-tidak adil, bahagia-tidak bahagia, keluarga-bukan keluarga.
     
    Kumpul Kope biasanya dilakukan sebelum masuk minta
    Karena sejatinya persaudaraan itu adalah keadilan, kebahagian, dan kekeluargaan. Atau dengan kata lain, keadilan, kebahagian dan kekeluargaan berada dalam persaudaraan.

    Tradisi kupul kope hae reba merupakan suatu tradisi yang sangat menekankan akan keterlibatan orang lain.

    Keterlibatan di sini lebih pada kehadiran yang mencintai. Tradisi Kumpul kope hae reba ini adalah kumpulan para pemuda yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan untuk mendukung saudara, sahabat mereka yang akan menikah.

    Kope (parang merupakan lambang kejantanan laki-laki. Menurut tradisi Manggarai, yang layak memakai parang untuk bekerja adalah pekerjaan laki-laki.

    Laki-laki Manggarai berperan sebagai pelindung keluarga sekaligus sebagai kepala keluarga. Oleh karena itu kope (parang) ini berkaitan erat dengan laki-laki.

    Tradisi ini sangat menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Mereka bersatu untuk mendukung saudara mereka yang akan menikah.

    Melalui acara kumpul kope ini masyarakat Manggarai memperluas jaringan kebersamaan, jaringan kekeluargaan, karena yang hadir dalam acara kumpul kope itu sendiri bukan hanya keluarga kandung melainkan sahabat, kenalan dan lain sebagainya.

    Tradisi ini diangkat untuk menggali semangat persaudaraan yang masih kental di tanah Manggarai dan mungkin tidak terdapat di daerah Indonesia pada umumnya.

     Penulis merupakan mahasiswa di Sekolah Tinggi  Ilmu Filsafat Ledalero

    Komentar

    Tampilkan

    ads