Kumpul Kope dalam Budaya Manggarai |
***Oleh Sirilus Yekry***
Persaudaraan
di tanah air belakangan ini dipengaruhi oleh munculnya beberapa gerakan
religius fundamentalis yang mengganggu pancasila.
Gerakan
semacam ini bersifat radikal dan sering kali menunjukan superioritas kebenaran
agamanya masing-masing.
Mereka
meyakini bahwa satu-satunya kebenaran mutlak adalah apa yang mereka yakini.
Tentu saja paham semacam ini merusak persaudaran dan persatuan bangsa indonesia
yang memiliki keragaman keyakinan religius.
Gerakan
semacam ini menimbulkan perselisihan pendapat dalam masyarakat dan tidak heran
bila kelompok (agama) yang satu membenci agama yang lain.
Gerakan
semacam ini dirancang oleh elit politik demi maksud politik tertentu. Isu agama
dimanfatkan untuk melengser kubu oposisi politik.
Tulisan
ini berupaya menggali semangat persaudaraan yang termuat dalam satu kekayaan
budaya Nusantara yaitu dalam tradisi Kumpul
kope hae reba-Manggarai.
Saya
tidak mendeskripsikan tradisi kumpul kope
hae reba ini secara menyeluruh dan
mendetail.
Fokus
perhatian saya adalah nilai persaudaraan yang terkandung di dalamnya. Secara
harafiah istilah kumpul kope berarti “kumpul parang”.
Dalam
kebanyakan budaya parang sering digunakan untuk bekerja dan berperang. Dalam
kebudayaan Manggarai parang digunakan untuk berperang ternyata memiliki sisi melo.
Parang
dimaknai sebagai suatu benda yang luhur dan mulia oleh orang Manggarai. Kumpul kope (kumpul parang) merupakan bahasa simbolis yang merujuk pada
perkumpulan pemuda yang mendukung sahabatnya yang akan membangun keluarga baru
(kaeng kilo).
Dengan
kata lain kumpul kope adalah ungkapan simbolis dari perkumpulan kaum lelaki (hae reba)
yang mendukung sahabatnya yang akan membangun hidup rumah tangga baru.
Dikatakan
mendukung kehidupan, karena membangun hidup keluarga tidak lain adalah usaha
untuk mencintai kehidupan itu sendiri.
Hal
ini tentu berbeda dengan pengumpulan massa yang bertujuan memisahkan diri dari
persatuan Indonesia dan keutuhan NKRI.
Memang
persaudaraan dalam konteks tradisi kumpul
kope hae reba, hanya terbatas pada persaudaraan kaum laki-laki.
Hal
ini tidak berarti kita tidak mengakui akan adanya perempuan, bukan berarti kita
tidak mengakui peran perempuan dalam tradisi ini.
Yang
kita lihat dalam tradisi ini adalah motif keterlibatan persaudaannya yang tidak
berdasarkan keyakinan religius dan kesamaan genealogis tertentu, serta tidak
demi memenuhi kepuasan pribadi semata, melainkan didasari oleh adanya rasa
cinta akan sahabatnya yang akan membangun rumah tangga.
Jadi
konteks kumpul kope hae reba ini
adalah persiapan “pernikahan”. Dukungan yang diberi adalah dukungan yang tanpa
mengharapkan imbalan, tanpa mengejar popularitas dan tanpa keistimewaan, inilah
yang hendak digali dalam tradisi kumpul
kope hae reba- Manggarai.
Persaudaraan
sejati berarti kita bersaudara dan bersatu bukan karena pertama-tama karena
kita satu keturunan, satu suku, atau karena aku dipuaskan oleh yang lain
melainkan karena cinta dan merasa bahwa kita semua adalah sama yaitu manusia
yang membutuhkan kehadiran orang lain dalam hidup.
Tentang Kumpul Kope Hae Reba
Secara
etimologi Kumpul kope hae reba berasal
dari kata kumpul dan kope (kumpul: kumpul, berkumpul, menghimpun dan kope: parang).
Sedangkan
hae reba (hae:
teman, sahabat, dan reba: pemuda,
orang yang belum menikah). Secarah harafiah kumpul
kope adalah mengumpulkan parang-parang.
Namun
arti sebenarnya lebih dari yang harafiah yaitu pengumpulan dana untuk persiapan
pernikahan dan membayar belis dalam nuansa persaudaraan dan penuh cinta.
Hal
yang paling utama diperhatikan dalam hal ini adalah kope (parang). Kope
(parang) merupakan bahasa kiasan yang berarti jenis kelamin laki-laki (bdk. Adi
M. Nggoro, Budaya Manggarai, 2006: 86).
Kope
(parang) ini simbol keperkasaan laki-laki, kejantanan laki-laki.
Istilah
Kumpul kope hae reba sebenarnya terdiri dari dua arti yang berbeda yaitu kumpul kope sendiri dan hae reba.
Namun
dalam pembahasan ini keduanya disatukan agar memiliki arti yang mendalam
tentang rasa persaudaraan.
Kumpul kope hae
reba
ini adalah kumpulan para pemuda yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan untuk
mendukung saudara, sahabat mereka yang akan menikah.
Kumpul kope adalah salah satu khazanah
kebudayaan Manggarai. Kumpul kope
merupakan pengumpulan dana atas dasar persatuan, kekeluargaan, dan
persaudaraan.
Kumpul kope ini melibatkan keluarga kandung (hae weki), para tetangga atau kerabat (pa’ang olo ngaung musi), teman, sahabat
dan kenalan (hae reba) (bdk.
Adi
M. Nggoro, ibid., 90). Konteks
tradisi kumpul kope ini adalah persiapan pernikahan. Dalam acara kumpul kope hanya laki-laki saja yang
terlibat.
Bukan
berarti peran perempuan diabaikan dan dalam hal ini tidak menyinggung soal
gender. Namun merekalah yang mempersiapkan konsumsi.
Seorang
pemuda Manggarai yang hendak meminang seorang gadis menyampaikan niatnya itu
kepada orang tua dan keluarga besar.
Selain
mempersiapkan batin tentu saja persiapan finansial sangat dibutuhkan. Oleh
karena itu terlebih dahulu pemuda itu menyampaikan niat itu kepada ase kae (keluarga).
Persiapan
finansial ini dilakukan untuk mengantisipasi belis dan juga resepsi pernikahan.
Pada
saat kumpul kope ini keluarga (ase kae), para sahabat (hae reba), tetangga dan masyarakat satu
kampung (pa’ang olo ngaung musi),
datang untuk menyetor uang,
bercanda
bersama, makan dan minum moke (inung
tuak)yang menjadi kebiasaan orang Manggarai.
Mungkin
yang perlu diberitahukan oleh keluarga kepada ase kae pa’ang olo ngaung musi adalah waktu pernikahan, dengan
masksud agar mereka juga hadir dalam acara pernikahan tersebut.
Kumpul kope itu
secara kasat mata lebih kepada dukungan bersifat material, namun harus diingat
bahwa makna sesungguhnya lebih dari itu.
Pemuda
Manggarai berkumpul untuk mendukung dengan doa dan kehadiran mereka menguatkan
pemuda yang akan meminang sang gadis.
Keterlibatan
hae reba (anak muda) dimotivasi oleh
adanya rasa persaudaraan. Hal ini sangat nampak dalam istilah yang digunakan
yakni toe ata bana (bukan orang
lain).
Pengungkapan
ini memiliki arti yang mendalam. Ungkapan ini menjunjung tinggi rasa
persaudaraan.
Ungkapan
toe ata bana ini mau menekankan bahwa
pemuda yang akan meminang seorang gadis dianggap bukan orang lain oleh hae reba (anak muda, sahabat, teman)
dalam satu kampung.
Jumlah
sumbangan yang diberikan oleh hae reba
ini tergantung kesanggupan masing-masing orang.
Acara
kumpul kope ini didasari oleh rasa
persatuan, persaudaraan, dan kekeluargaan. Nilai-nilai seperti ini merupakan
nilai moral, sebagai ungkapan rasa tanggung jawab keluarga, kerabat yang perlu
dibina, dan dirawat terus.
Berkaitan
dengan hae reba acara kumpul kope ini sangat membantu mereka dalam mempersiapakan diri sebelum
acara pernikahan terjadi.
Hae reba bersatu
padu mendukung kerabatnya itu baik secara materi maupun dukungan doa. Kehadiran
hae reba ini memberi sukacita
tersendiri bagi teman, saudara, sahabatnya
yang akan melamar sang gadis.
Mengapa harus kope (parang)?
Pertanyaan
ini perlu disampaikan untuk melihat keterkaitan antara parang (kope) dengan persaudaraan. Pertama-tama
kita perlu mengetahui bahwa masyarakat Manggarai menganut sistem patrilineal
dimana peran laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan.
Peran
laki-laki lebih dominan hanya mau mengatakan bahwa laki-lakilah yang menjadi
pelindung, menjadi tulang punggung keluarga, pada intinya laki-laki menjadi
penanggung jawab atas keluarga.
Menurut
tradisi Manggarai, yang layak memakai parang untuk bekerja adalah laki-laki
(Adi M. Nggoro, ibid., 87).
Pekerjaan
ini dipercayakan kepada kaum laki-laki karena ada anggapan bahwa kekuatan fisik
laki-laki memampukan dia mengerjakan hal seperti ini.
Sementara
kekuatan fisik perempuan tidak melebihi kekuatan fisik laki-laki. Selain itu kope (parang) ini melambangkan
keperkasaan kaum laki-laki.
Kope
(parang) bukan hanya berfungsi untuk memotong kayu (paki haju) dan memotong daging.
Kope (parang) memiliki makna simbolis yang
melampaui artinya yang secara harafiah. Dikatakan melebihi karena memiliki
bentuk dan fungsinya yang sepadan dengan peran laki-laki. Ia menghancurkan
sekaligus melindungi.
Kope
(parang) membantu kaum lelaki untuk bekerja dan melindungi keluarganya dari
bahaya.
Orang
Manggarai memiliki dua jenis kope
(parang) yaitu kope lerong dan kope duat.
Kope lerong adalah
parang yang khusus digunakan pada saat melamar perempuan (ngo rei ina wai) dan pada saat perang (ngo raha/rani), bahkan dalam kesempatan lain kope lerong ini dikenakan pada saat pergi cari kerbau, berdagang
dll.
Untuk
membeli kope lerong ini ada hal yang perlu diperhatikan misalnya apakah kope (parang) ini membawa rejeki atau
sial.
Ata pecing (dukun, peramal, penerawang)
mampu melihat dan mengukur dengan jari tangan (rempa lime) apakah parang tersebut membawa rejeki atau sial.
Kope lerong ini
memiliki keunikan yang membedakannya dari parang yang lain dalam bentuk
fisiknya misalnya: bentuknya panjang, corang
rangga (gagang berbentuk tanduk), lupang
(sarung) dihiasi dengan kain merah.
Kope duat (parang
untuk kerja), ialah parang (kope)
yang digunakan untuk semua aktivitas kerja manusia, khususnya kerja kasar (Adi
M. Nggoro, ibid., 92).
Kope
(parang) ini tidak perlu dilihat atau diukur oleh jari untuk melihat apakah
parang itu membawa rejeki atau sial.
Biasanya
orang tua yang akan membeli parang (kope
duat) itu terlebih dahulu mereka menggosokan sirih untuk melihat apakah
parang itu kuat atau tidak.
Dari
kedua jenis parang ini kita dapat melihat perbedaannya dan melihat fungsinya
masing-masing. Melihat kedua fungsinya ini kita dapat mengaitkannya dengan
peran laki-laki dalam kebudayaan Manggarai.
Dengan
menganut sistem patrilineal menuntut para lelaki Manggarai untuk memiliki
parang yaitu (kope lerong dan kope duat).
Memang terkesan bahwa kedudukan laki-laki sangat diagung-agungkan tapi inilah
kenyataan yang terjadi dalam teradisi orang Manggarai.
Nilai
persaudaraan dalam tradisi kumpul kope
hae reba-Manggarai
Relasi
intersubjektivas adalah relasi antara pribadi dialami sebagai relasi antara
subjek dengan subjek, bukan subjek dengan objek.
Relasi
antara subjek-objek terjadi ketika seseorang menjadikan yang lain sebagai ‘itu’ yang dapat memuaskan-ku, yang
dapat dimanfatkan, dan memiliki kesan saya memberi supaya mendapat imbalan.
Atau
dengan kata lain, yang lain didekati hanya untuk memenuhi kepentinganku, hanya
untuk memenuhi keinginanku. Ketika sudah dipenuhi, yang lain tidak dibutuhkan
lagi, hal inilah relasi subjek-objek.
Namun,
relasi subjek-subjek merupakan relasi yang didasari oleh persahabatan. Relasi
persahabatan ini terjadi dalam konteks relasi dengan Liyan.
Maksudnya
dengan siapa Aku ambil bagian dalam kegembiraan, harapan duka, dan kecemasan
meski beda dalam agama, latar belakang budaya, kepercayaan dan lain-lain (bdk.
Armada Riyanto, Menjadi Mencintai, 2013: 112).
Relasi
subjek-subjek ini adalah relasi yang mementingkan rasa persaudaraan. Saya
mendekati yang lain karena yang lain menghadirkan diri sebagai pribadi yang
sama dengan Aku.
Kehadiran
yang lain adalah kehadiran sebagai saudara, sahabat. Berbicara mengenai
kehadiran Gabriel Marcel mengatakan kehadiran dapat diwujudkan jika “Aku”
berjumpa dengan “Engkau”.
Marcel
membedakan relasi antara “Aku”-“Engkau” dengan relasi “Aku”-“Ia”. Relasi
“Aku”-“Ia”, orang lain bagi saya tampak dalam aspek-aspek fungsional saja.
Sementara
relasi “Aku”-“Engkau”, sesama manusia tampak bagi saya justru sebagai sesama.
Kehadiran ini dapat direalisasikan dalam cinta.
Aku
dan Engkau mencapai pada taraf kita (bdk. K. Bertens, Filsafat Barat Abat XX, 1985: 304).
Hal
ini yang dimaksud Marcel tentang partisipatif adalah kehadiran. Partisipatif
ini bukan hanya merujuk pada kedekatan fisik tetapi lebih dari itu yaitu kehadiran
subjek secara utuh.
Afirmasi
Marcel dapat dipautkan dengan tradisi Kumpul
kope hae reba-Manggarai. Tradisi kumpul
kope sebenarnya bentuk konkrit terkait dengan gagasan kehadiran.
Kehadiran
dalam kumpul kope ini bukan
pertama-tama berbicara tentang berapa besar uang atau hal-hal meterial, bukan
pula kehadiran-ku di sana dapat memberikan kepuasan bagiku, bukan pula hadir
untuk memamerkan harta kekayaan.
Tetapi
kehadiran dalam tradisi kumpul kope
ialah sejauh mana kehadiranku sungguh-sungguh mendukung saudara-ku yang akan
memulai babak kehidupan baru yaitu hidup berkeluarga.
Dengan
demikian relasi yang terjadi dalam kumpul
kope hae reba ini merupakan relasi subjek-subjek.
Dikatakan
demikian karena orang (sahabat) yang hadir dalam kumpul dana alias kumpul kope ini sama sekali tidak
memandang sahabatnya yang akan menikah sebagai objek yang patut dikasihani
melainkan sebagai saudara.
Relasi
yang terjadi dalam tradisi kumpul kope
bukanlah relasi atas dasar saling menguntungkan, sebab konsep saling menguntungkan
dapat menghancurkan seluruh intensitas ketulusan manusiawi.
Relasi
ini tidak melihat untung-rugi, tapi yang dilihat adalah persaudaraan.
Relasi
intersubjektivitas mengandaikan relasi yang egaliter. Relasi kedua subjek tidak
saling memanfatkan.
Relasi
keduanya harus dihayati sebagai aktivitas menjadi (Adi M. Nggoro. Op. cit., 144).
Dalam
relasi kaum laki-laki Manggarai sama sekali tidak bermaksud mendatangkan
keuntungan bagi dirinya sendiri.
Para
lelaki Manggarai berkumpul dalam pertemuan mulai dari bantang kope sampai pada kumpul kope tetap menjalin hubungan
kekeluargaan dan dalam nuansa kekeluargaan juga.
Kekeluargaan
disini tidak lagi hanya didasarkan pada hubungan genealogis. Sebab yang datang
bukan saja ase kae (keluarga
kandung), melainkan para pemuda yang berada di kampung tersebut walaupun tidak
ada hubungan keluarga (hae reba one beo).
Melalui
acara kumpul kope ini masyarakat
Manggarai memperluas jaringan kebersamaan, jaringan kekeluargaan, karena yang
hadir dalam acara kumpul kope itu
sendiri bukan hanya keluarga kandung melainkan sahabat, kenalan dan lain sebagainya.
Dari
sini dapat disimpulkan bahwa keutamaan dalam acara kumpul kope itu adalah persaudaraan.
Kumpul
kope hae reba:
ungkapan mencintai kehidupan
Mencintai
kehidupan adalah kebenaran moral yang tidak dapat disangkal oleh siapapun yang
berkehendak baik. Kehidupan itu perlu dijaga, dirawat, dipelihara dan
dilindungi.
Kehidupan
yang dimaksud adalah pengalaman eksistensi seseorang yang memiliki hak,
kewajiban dan kebebasan.
Hak,
kewajiban dan kebebasan seseorang untuk bereksistensi tidak boleh dibatasi,
dicabut oleh siapapun.
Namun
perlu diingat bahwa orang yang menuntut hak, kewajiban dan kebebasan harus
melihat norma yang berlaku dalam suatu tatanan kehidupan.
Kehadiran
orang lain harus disadarai sebagai kehadiran yang bertanggung jawab dan sebagai
yang mencintai atas kehadiran sesamanya.
Pada
zaman sekarang ini ada banyak orang yang terjebak dalam kebudayaan yang
sebenarnya tidak menghargai kehidupan, misalnya: konsumsi narkoba, bom bunuh
diri, aborsi dan lain-lain.
Tradisi
kumpul kope hae reba Manggarai adalah
salah satu tradisi yang mencintai, mengharagai kehidupan.
Tradisi
kumpul kope hae reba ini seperti yang
sudah dijelaskan pada bagian awal, yaitu bertujuan untuk mendukung seorang
(pemuda) yang akan, membangun hidup rumah tangga yang baru.
Membangun
hidup rumah tangga dalam konteks budaya Manggarai bertujuan untuk meneruskan
keturunan (kudut beka agu buar).
Pasangan
yang akan menikah berkomitmen akan hidup setia dan saling mencintai. Komitmen
untuk setia dan mencintai ini merupakan ungkapan mencintai kehidupan karena di
dalamnya tidak adanya perpecahan.
Memang
harus diakui dalam membangun hidup rumah tangga pasti ada silang pendapat,
kurang menerima keputusan suami atau istri, namun hal ini tidak menimbulkan
terjadinya perceraian.
Kebahagian
kedua mempelai ini akan menjadi sempurna jika dianugerahkan anak. Orang Manggarai
biasanya sangat menghargai akan anugerah yang diberikan Tuhan, yakni kehadiran sang buah hati.
Orang
Manggarai percaya bahwa kehadiran sang buah hati merupakan hadiah yang
diberikan, -“dipercayakan”- kepada mereka oleh Mori Kraeng (Tuhan Allah) (bdk. Petrus Janggur, Butir-Butir Adat Manggarai, 2010: 53).
Tindakan
aborsi sama sekali suatu hal yang jarang ditemukan di daerah Manggarai. Hal ini
dikarenakan kebudayaannya masih kental.
Kita
kembali kepada tradisi kumpul kope hae
reba. Kehadiran kaum laki-laki dalam acara kumpul kope hae reba dilihat sebagai tindakan yang mencintai,
merawat dan mendukung budaya kehidupan.
Dikatakan
demikian lantaran menikah dalam budaya Manggarai selalu dikaitkan dengan
penerusan keturunan.
Meskipun
hal ini bukanlah tujuan utama dari sebuah pernikahan namun dalam insting orang
Manggarai memiliki keturunan adalah sesuatu yang urgen dan pewarisan keturunan
ini dilihat sebagai sebuah realitas yang selalu menyertai perkawinan.
Kehadiran
kaum laki-laki dalam acara kumpul kope
ini dilihat sebagai kehadiran yang mendukung pewarisan keturunan. Kehadiran
mereka memberikan kekuatan psikologis bagi sahabat, saudara mereka yang akan
membangun kehidupan rumah tangga yang baru.
Persaudaraan lintas batas
Persaudaraan
lintas batas ini ditandai dengan tidak adanya perbedaan pandangan masyarakat
Manggarai tentang orang yang hadir pada saat acara kumpul kopehae reba.
Maksudnya
tidak ada perlakuan yang istimewa antara yang satu dengan yang lain. Dalam
tradisi kumpul kope hae reba persamaan
tidak lagi menjadi dasar persahabatan dan persaudaraan.
Karena
persamaan itu bukan berarti sahabat, saudara atau keluarga. Jika kehadiran hae reba didasarkan karena adanya
persamaan, di sana tidak ada nilai kekeluargaan.
Contoh,
sesorang yang hadir dalam acara kumpul
kope ini beranggapan bahwa mereka memiliki persamaan nasib karena sama-sama
akan menikah.
Maka
apa yang saya berikan harus dibalas. Perinsip
semacam ini berseberangan dengan nilai yang terkandung dalam tradisi kumpul kope yaitu persaudaraan (memberi
tanpa menuntut balasan). Saya memberi karena dia adalah saudaraku, keluargaku.
Persahabatan
dalam tradisi kumpul kope ini tidak
didasari oleh adanya kesamaan tertentu sebab dapat mengusung sikap
fundamentalisme.
Persahabatan
semacam ini mereduksi arti persahabatan sejauh sama. Konsekuensinya yang sama
tidak didekati sebagai sahabat, melainkan sebagai lawan atau musuh dan relasi
tidak dilandasi oleh rasa cinta.
Mereka
bersembunyi dibalik kata persahabatan, dimanteli oleh afirmasi persaudaraan.
Padahal ada tujuan tersembunyi dibalik semuanya itu.
Dalam
tradisi kumpul kope hae reba, kita akan menemukan
persahabatan yang dibicarakan oleh Aristoteles dan Agustinus.
Aristoteles
mengatakan persahabatan itu mengatasi keutamaan keadilan, sebab dalam
persahabatan pasti ada sikap saling
memberi, memperhatikan dan menghormati.
Afirmasi
Aristoteles ini juga terdapat dalam tradisi kumpul
kope hae reba-Manggarai. Dalam tradis kumpul
kope hae reba-Manggarai tema keadilan tidak relevan lagi.
Dikatakan
tidak relevan karena kehadiran hae reba
tidak dimotivasi apakah kehadiranku mendatangkan keadilan baginya atau bagi
saudaraku yang akan menikah.
Tetapi
kehadiranku sebagai saudara yang memberi dukungan, kekuatan, dan dilandasi oleh
rasa cinta.
Agustinus
pernah mengatakan bahwa tidak ada hiburan yang lebih tinggi daripada tinggal
bersama sahabat.
Gagasan
Agustinus ini menjadi gambaran dari pengalaman saudara yang mengalami dukungan
dari sahabatnya dalam acara kumpul kope
hae reba.
Kehadiran
pribadi lain yang datang untuk mendukung saudara yang akan membangun rumah
tangga baru baik secara material maupun batin memberi kebahagian tersendiri
baginya.
Setiap
pilihan hidup membutuhkan kehadiran dan dukungan orang lain terutama dalam
acara kumpul kope.
Bisa
dibayangkan betapa bahagianya sang calon pengantin laki-laki melihat ada begitu banyak orang (saudara)
yang hadir dalam acara kumpul kope
tersebut.
Kedua
filosof di atas kiranya membantu kita untuk melihat universalitas persaudaraan
dalam tradisi kumpul kope hae reba-Manggarai.
Persaudaraan
melampaui persoalan adil-tidak adil, bahagia-tidak bahagia, keluarga-bukan
keluarga.
Karena
sejatinya persaudaraan itu adalah keadilan, kebahagian, dan kekeluargaan. Atau
dengan kata lain, keadilan, kebahagian dan kekeluargaan berada dalam
persaudaraan.
Tradisi
kupul kope hae reba merupakan suatu tradisi yang sangat menekankan akan
keterlibatan orang lain.
Keterlibatan
di sini lebih pada kehadiran yang mencintai. Tradisi Kumpul kope hae reba ini adalah kumpulan para pemuda yang
menjunjung tinggi nilai persaudaraan untuk mendukung saudara, sahabat mereka
yang akan menikah.
Kope
(parang merupakan lambang kejantanan laki-laki. Menurut tradisi Manggarai, yang
layak memakai parang untuk bekerja adalah pekerjaan laki-laki.
Laki-laki
Manggarai berperan sebagai pelindung keluarga sekaligus sebagai kepala
keluarga. Oleh karena itu kope
(parang) ini berkaitan erat dengan laki-laki.
Tradisi
ini sangat menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Mereka bersatu untuk mendukung
saudara mereka yang akan menikah.
Melalui
acara kumpul kope ini masyarakat
Manggarai memperluas jaringan kebersamaan, jaringan kekeluargaan, karena yang
hadir dalam acara kumpul kope itu sendiri bukan hanya keluarga kandung
melainkan sahabat, kenalan dan lain sebagainya.
Tradisi
ini diangkat untuk menggali semangat persaudaraan yang masih kental di tanah
Manggarai dan mungkin tidak terdapat di daerah Indonesia pada umumnya.