Porang Tanaman liar yang kini diburu Petani di Manggarai / Foto Congkasae |
Porang merupakan salah satu tanaman umbi-umbian yang belakangan dikabarkan bernilai ekonomis tinggi. Tanaman yang berasal dari ordo Amorphophallus ini belakangan mulai dilirik warga karena harganya yang mengalahkan Cengkeh dan kopi nya saya punya bapa.
Ini merupakan kabar gembira bagi kami orang Manggarai, mengingat Porang ini termasuk tanaman liar yang mudah dijumpai di dataran rendah hingga dataran tinggi.
Dulunya Jadi Korban Polaris
Dulu tanaman ini juga sering jadi korban Polaris nya saya punya bapa ketika hendak membuka kebun untuk tanaman jagung padi, kopi, kemiri dan vanili.(Polaris itu jenis obat pemusnah gulma, yang petani pasti tahu).
Nah omong punya omong, ternyata belakangan Porang yang dulunya selalu jadi korban Polaris ini malah jadi komoditas yang paling utama diburu oleh petani di Manggarai termasuk saya punya bapa dan mama.
Baru-baru ini saya kebetulan pulang ke kampung hanya sekedar menengok mereka di rumah (ngo laat) dan sempat pergi ke kebun, niat awalnya untuk pilih kemirinya mama di kebun.
Betapa kagetnya saya karena ternyata di bawah pohon kemiri nya mama yang biasanya diselingi oleh ubi talas (tete teko) itu kini sudah disulap jadi tanaman Porang.
Dulunya tanaman ini sering jadi korban polaris karena dianggap tidak ada gunanya / Foto getty image |
Saya kaget dengan perubahan yang dilakukan oleh mama dalam hati saya bertanya sejak kapan mama dan bapa hobi tanam Porang ini?
Dulu tanaman ini kan musuh utama mereka kenapa sekarang mereka malah berbalik arah jadi mencintai tanaman liar ini?
Saya pun mulai menghunus parang untuk membabat beberapa batang tanaman yang sudah mulai tinggi untuk memudahkan saya melihat buah kemiri yang sudah berserakan di tanah.
Baru sekitar lima batang saya babat, tiba-tiba mama berteriak dari balik pohon pisang, “nana, nana kenapa kau babat itu mama punya Lola? (Lola merupakan sebutan untuk Porang)”.
“ah mama ini Lola kan sudah tinggi to, jadi susah untuk mencari kemiri,” sahut ku mengelak.
“Itu Lola mama tanam dari tahun lalu nana itu sengaja ditanam, mahal itu barang sekarang,” ujar mama.
“hah???” sahutku dalam hati.
Ini barang mama pikul bibitnya dari atas gunung itu, mama rela seharian penuh pigi gali itu bibit Lola datang kau tebas enak-enak,” lanjut mama menggerutu.
Saya sempat bingung, dengan respons mama karena telah merusak tanaman liar Porang miliknya, saya pun mulai melanjutkan kegiatan mengumpulkan buah kemiri yang ditutupi daun Porang.
Mama mulai menggerutu lagi soal Porang yang saya tebas tadi rupanya dia masih kesal dengan saya karena telah merusak tanaman kesayangannya.
“ hemmmm percuma kau k**iah Lola ini saja kau tidak tau kegunaannya, lebih pintar saya yang hanya tamat SD ini,”sahut mama mengeledek.
Mama memang selalu begitu jika saya melakukan kesalahan selalu mengeledek dengan senjata utamanya yang itu.
Waktu itu pernah kami hitung-hitungan omset bersih kemirinya mama di bawah pohon kemiri saya dan mama berdebat soal kalkulasi biaya dari kumpul buah kemiri biaya angkut ke rumah sampai kemiri dijual.
Waktu itu mama mengatai saya juga percuma ku*iah, jauh-jauh ke Bali karena saya dinilainya tidak cekatan soal hitung-hitungan uang.
Jika mama sudah begitu saya punya senjata utama hanya satu, yakni cukup berkata biar saya bo*oh kan mama punya anak masih to? Mama langsung diam memang hahahahaha.
Porang Mulai Dilirik Karena Harga Naik
Nah balik lagi ke Lola alias Porang tadi, rupanya setelah saya telisik lebih jauh tanaman liar ini mulai dibudidayakan dalam beberapa tahun terakir, setelah masuknya beberapa pengepul ke daerah Manggarai.
Orang Manggarai memiliki satu kebiasaan unik soal ini, yakni jika harga salah satu komoditas pertanian melonjak maka orang akan ramai-ramai menanam komoditas tersebut.
Mata uang Rupiah ilustrasi / Getty Image |
Komoditas tersebut akan dirawat sepenuh hati, komoditas pertanian lain akan dikesampingkan, ini merupakan kebiasaan lumrah bagi orang Manggarai.
Nah giliran harganya menurun drastis maka ia akan ditinggalkan bak mantan pacar yang sudah tidak ada gunanya lagi hahahaha.
Nah begitulah pola kebiasaan para petani di Manggarai ini sebenarnya tidak salah mengingat teori permintaan dan penawaran dalam ekonomi.
Menjadi soal jika harganya jatuh maka beberapa komoditas pertanian dimusnahkan, waktu itu pernah punya paman saya kopinya dibabat habis hanya karena harganya sempat menyentuh harga Rp.15.000/kg dan diganti dengan kakao.
Nah ketika Kakaonya sudah mulai berbuah paman mulai menemui masalah dengan sistem perawatan yang ribet apalagi harga jual yang tidak sepadan.
Waktu itu harga Cengkeh sempat menyentuh harga Rp.100.000/kg maka semua kakao nya paman dibabat dan diganti dengan cengkeh.
Sekarang belum berbuah masih dalam tahap perawatan, paman saya ini memang tidak sabaran orangnya ingin cepat-cepat dapat hasil.
Nah saya juga curiga dengan Porangnya saya punya mama di kebun, saya curiganya jika harga porang semakin melonjak mama akan babat semua pohon kemiri di kebun itu yang repot hahahaha.
Ada satu hal lagi dari kebiasaan petani di Manggarai yakni kalau tanam itu nanggung, misalnya jika judul proyeknya adalah tanam Porang maka seharusnya tanamnya jangan setengah-setengah langsung satu lahan besar memang.
Kalau tanamnya hanya sepuluh dua puluh pohon itu namanya nanggung iya kan? Hahahahaha
Sehingga hasil yang diperoleh juga besar dan menguntungkan, apalagi tanaman Porang ini termasuk tanaman umur pendek jadi metode tanamnya bisa diselingkan dengan tanaman lain seperti kopi, kakao, cengkeh.
Prospek Bagus ke depan
Demam Porang di Manggarai saat ini memang sudah jadi trending topik, jadi bahan obrolan kaum bapak ketika Lejong di pagi atau sore hari.
Di China dan Jepang Porang bisa disulap jadi bahan makanan dan kosmetik / Foto Getty Image |
Sembari menyeruput kopi pa’it dan tete teko biasanya Porang jadi bahan diskusi yang cukup menarik untuk diperbincangkan, ratingnya mengalahkan isu anak tetangga yang dibawa lari sama cowoknya hahahaha.
Bahkan jika saya datang berlibur ke kampung hal yang ditanyakan pertama kali ke saya adalah harga Porang ini terkadang menyakitkan juga.
Saya baru nongol masuk rumah begitu tiba-tiba disambut hangat sama bapa dan mama, pertanyaan pertama setelah ris adalah harga Porang kan sakit ya? Hahahaha.
Merujuk pada data yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 2018 misalnya pemerintah mencatat nilai ekspor Porang keluar Negeri mencapai 11.000 ton dengan omset mencapai 1 Triliun.
Berdasarkan data yang dikeluarkan pemerintah melalui dirjen tanaman pangan kementrian pertanian, saat ini Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi penyumbang ekspor porang terbesar di Indonesia.
Karenanya pemerintah berencana menyediakan bibit Porang yang jauh lebih baik agar bisa menghasilkan kualitas ekspor yang premium.
Pemerintah juga mengimbau masyarakat untuk rajin membudidaya tanaman ini karena memiliki nilai ekspor tinggi.
Jenis-Jenis Porang
Secara umum Porang yang ada di Manggarai dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yakni porang yang berumbih putih dan kuning.
Contoh Umbi Porang kuning / Foto Congkasae |
Perbedaan keduanya cukup mencolok, dari batang dan buahnya, Porang dengan umbi putih cendrung memiliki batang yang bergerigi, tanpa buah di bagian ketiak daun.
Sementara porang dengan umbi kuning cendrung memiliki batang yang halus mulus (tanpa gerigi) serta memiliki buah berwarna coklat kehitaman pada ketiak daunnya.
Buah nya ini sering disebut katak, dan bisa juga langsung dijual. Perlu dicatat bahwa porang yang dicari adalah porang dengan umbi yang berwarna kuning.
Jadi perhatikan beberapa hal tersebut jika hendak membudidayakan tanaman yang satu ini biar tidak salah tanam hehehehe.
Untuk pembibitannya sejauh ini bisa diambil di hutan-hutan, akan tetapi ke depan bibitnya bisa dengan mudah didapatkan karena sudah banyak petani yang membudidaya tanaman ini.
Saat ini harga jual ke pengepul dari tangan petani bervariasi, tergantung jenis Porang yang dijual, untuk umbi porang yang masih mentah biasanya dihargai Rp 5000 hingga Rp 10.000 / kg sementara untuk Porang kering yang telah diiris bisa mencapai 100 ribu rupiah/kg nya.
Bagaimana cukup menggiurkan bukan? Pantesan ya mama mengganti ubi talasnya dengan tanaman Porang ini hahahaha
Tapi bagian ujung dari catatan panjang yang tidak berbobot ini adalah semoga Porang bisa jadi komoditas utama yang bisa mendongkrak prekonomian masyarakat.
Penulis : Antonius Rahu
Editor : Ninda Agasteya