Oleh : Alvitus Minggu
Diskusi
tentang Rueng merupakan ide atau gagasan yang cukup menarik untuk disimak
secara mendalam serta secara tidak langsung ingin mengajak masyarakat Manggarai
merefleksikan kembali cerita tentang Rueng dalam legenda Manggarai.
Diskusi
tentang Rueng merupakan bentuk komitmen bersama dalam rangka menghadirkan
sesuatu yang positif bagi warga Manggarai di tanah perantauan maupun yang
menetap di Manggarai.
Rueng
dan Legenda Loke Nggerang
Cerita
tentang Rueng tentu saja berrmuara pada Legenda Loke Nggerang. Konon katanya Loke
Nggerang merupakan Legenda yang mengisahkan kehidupan seorang gadis cantik dari
daerah Manggarai.
Jaman
dulu gadis hidup di sebuah dusun kecil
bernama Ndoso. Secara biologis Nggerang merupakan hasil dari perkawinan silang
resmi antara manusia dengan mahluk halus dari alam lain, dalam bahasa setempat
dinamakan kakartana atau darat (bidadari) atau juga disebut ata pelesina.
Ayah
Nggerang bernama Awang dan Ibunya bernama Hendang. Hendang berasal dari alam
lain. Putri Nggerang ditinggalkan Ibunya semasa dia masih balita.
Ayahnya
meninggal dunia sebagai akibat melanggar pantangan sebanyak tiga kali. Kisah
ini terjadi ketika Hendang pergi menimba air, sementara Nggerang pada waktu itu
masih bayi dijaga dan digendong ayahya.
Hendang
memberi pesan kepada Awang suaminya “jika anak ini menangis jangan mendendang lagu ipung setiwu, pake sewae, teu sa ambong
neka woleng jaong, muku ca pu neka woleng curup.
Namun
ketika Hendang sedang pergi menimba air yang jaraknya cukup jauh dari rumah Nggerang
pun menangis, kemudian Awang berupaya menghentikan tangisan Nggerang dengan
mendendangkan lagu yang sama tadi sebanyak tiga kali, namun tidak membuat putrinya
berhenti menangis.
Pelanggaran
tetap saja didendangkan Awang sebanyak tiga kali. Kendatipun sudah dingatkan berkali-kali
oleh Hendang namun Awang masih juga melanggarnya akhirnya perpisahan pun
terjadi.
Hendang
ibunda putri Nggerang pergi meninggalkan kedua orang terkasihnya Awang suaminya
serta Nggerang anaknya di Dusun Ndoso.
Hendang
berpesan agar Nggerang yang merupakan buah cinta mereka agar dijaga suaminya. Mendengar
pesan tersebut, Awang diam membisu dan tak berdaya.
Seketika
itu Hendang berubah wujud menjadi seekor nepa
atau ular, lalu dia pergi meninggalkan Dusun Ndoso untuk selamanya.
Sepeninggal
ibunya, putri Nggerang diasuh empat saudaranya yaitu; satu laki-laki, dan tiga
wanita yang merupakan anak dari istri
pertama bernama ayahnya yang bernama Tana.
Ayahnya
beristri dua yaitu Hendang yang berasal dari alam lain dan Tana merupakan manusia biasa.
Raja
Bima, saat itu selalu melihat cahanya yang terpancar ke langit yang berasal
dari daerah Manggarai.
Cahanya
tersebut sesungguhnya berasal dari kulit emas putri Nggerang yang tumbuh pada
punggung bagian atas, berbentuk bulat dan besarnya seukuran bulatan mata uang
logam.
Sultan
Bima pun segera mengutus seorang abdi kerajaan bersama beberapa orang prajurit
kerajaan ke Manggarai guna melacak keberadaan cahaya tersebut.
Ternyata
cahaya itu dimiliki seorang putri dan masih remaja bernama Nggerang. Dalam
perkembangan selanjutnya Sultan Bimapun mempersiapkan diri untuk berangkat ke
Manggarai, tepatnya di Dusun Ndoso untuk meminang Nggerang.
Namun
sangat disayangkan, ketika Sultan Bima menyampaikan isi hatinya, putri Nggerang
menolaknya.
Raja
Bimapun sakit hati dan menaruh dendam kepada Nggerang. Raja Bima kemudian mengancam
dengan mengirimkan magic ke Dusun
Ndoso. Seluruh Dusun Ndoso diselimuti awan tebal kehitam-hitaman.
Fenomena
inipun hingga saat ini masih dikenal dengan sebutan rewung taki tana. Ancaman demi ancaman tak gubris putri Nggerang
hingga akhirnya raja Bima tak sabar lagi membunuh putri Nggerang.
Saat
itu sebagai kesultanan Bima berkuasa atas tanah Manggarai. Kulit perut Nggerang
dijadikan gendang yang disimpan di Ndoso
Manggarai Barat, sementara satu lagi disimpan di rumah adat Todo kecamatan
Satar Mese Kabupaten Manggarai.
Bargaining
Position Rueng dan Orang Manggarai Masa Kini
Meskipun
cerita Rueng dalam Legenda Manggarai tidak bersifat kontekstual, akan tetapi
cerita tersebut tetap dianggap masih berelevan dengan konteks kekinian.
Dimana
pengalaman perubahan sosial yang terjadi di Manggarai, sesungguhnya merupakan
kombinasi antara aspek input dan output.
Generasi
Manggarai saat ini merupakan produk dari
nilai tradisi cerita tentang Rueng yang
terjadi pada masa silam.
Hingga
kini cerita tentang Rueng dalam legenda
Manggarai selalu menjadi sesuatu yang menarik serta menjadi fokus perhatian bersama
orang Manggarai yang hendaknya hal itu tetap dipertahankan dan dilestarikan
secara konsisten dan berkesinambungan.
Bertitik
tolak dari hal tersebut secara sosial, putri Nggerang memiliki bargaining position (posisi tawar) yaitu
posisi yang dapat memungkinkan seseorang untuk dapat berpengaruh dalam
kelompoknya.
Berpengaruh
yang dimaksudkan disini adalah mengenai derajat sosial perempuan Manggarai. Putri
Nggerang seoarang gadis yang cantik, yaitu; memiliki keindahan tubuh yang sangat
proporsional, memiliki harkat dan martabat yang tangguh, dan memiliki
kepribadian yang baik sehingga membuatnya tidak gampang dipengaruhi oleh siapapun
memenuhi keinginan Sultan Bima untuk menerima lamaranya sebagai calon istrinya.
Dalam
konteks politik sebagaimana diungkapkan oleh “Hoogerwerf”, bahwa berbicara bargaining
position (posisi tawar) itu sama halnya berbicara tentang pengaruh.
Mendasarkan
otoritas yang potensial dan kemungkinan untuk mempengaruhi tingkah laku pihak
lain dalam kaitannnya dengan tujuan dari
seseorang.
Teori
ini berimplikasi pada keputusan putri Nggerang, dimana putri Nggerang memiliki
otoritas atau pengaruh tradisioanl sehingga ia menolak segala bentuk tawaran
Sultan Bima untuk melamar putri Nggerang.
Dalam
konteks ini cerita tentang putri Nggerang sebenarnya itu tidak terlepas dari
isu tentang gender. Berbasis persamaan hak antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan dalam berbagai sektor baik
dalam kepemimpinan politik maupun dalam sektor publik lainnya.
Sudah
saatnya tidak boleh terbelenggu dengan cerita tentang Nggerang yang hidup penuh
dengan kekerasan hingga pada akhirnya meninggal dunia dengan cara yang tragis sebagai
akibat perilaku kekejaman fisik sang penguasa sultan Bima pada masa itu.
Waktu
boleh silih berganti tetapi yang paling penting adalah bagaimana Masyarakat
Manggarai agar bisa keluar dari stigma tentang kekerasan yang dirasakan seorang
putri Nggerang sehingga ke depan tidak muncul lagi putri Nggerang yang lain.
Perlunya
Peningkatan Partisipasi Kaum Perempuan Manggarai
Salah
satu solusi menghilangkan stigma itu perlu adanya peningkatan partisipasi
perempuan Manggarai dalam berbagai bidang sosial misalnya menjadi pengurus
partai politik, organisasi kemasyarakatan, LSM, instansi pemerintah, sebagai
anggota parlemen, maupun dalam bidang lainya.
Dalam
kaitan tersebut sebagaimana diungkapkan Rober Michels dalam buku berjudul;
Partai politik Kecenderungan oligarkis dalam Birokrasi.
Bahwasannya
semua orang berhak menjadi warga negara dan semua warga negara berhak dipilih
oleh siapapun. Artinya siapa pun yang
ingin menjadi pemimpin formal di setiap level politik memiliki hak politik yang
sama untuk mendapatkannya termasuk dari agama mana pun serta dari kaum
laki-laki dan kaum perempuan.
Teori
tersebut sudah membuktikan bahwa di era pilkada langsung banyak bermunculan kepemimpinan
politik dari kalangan perempuan di daerah.
Tahun
1955 perempuan Indonesia mulai muncul memiliki hak yang sama dengan kaum
laki-laki melalui hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang terjadi pada
pemilu pertama di Indonesia.
Pengalaman
perubahan kecenderungan untuk mengakomodasi pemenuhan hak politik perempuan di
seluruh dunia berbeda-beda misalnya Amerika baru membolehkan perempuan untuk
memilih pada tahun 1920, 144 tahun setelah merdeka.
Kemudian
Perancis juga baru mengakomodasi hak politik perempuan pada tahun 1944 melalui
konstitusinya.
Amerika
dan perancis adalah negara yang sangat konsent terhadap persoalan isu Gender.
Tujuannya adalah agar perempuan diakui sebagai subjek hukum yang punya hak
politik seperti halnya laki-laki. Gerakan ini meluas di negara-negara Barat.
Pada
pemilu pertama tahun 1955 ada perempuan yang mendapatkan suara cukup untuk
menduduki kursi di parlemen bernama Salawati Daud.
Dia
merupakan pejuang dalam perang kemerdekaan asal Makasar terpilih sebagai
anggota Dewan konstituante dari Partai komunis Indonesia (PKI).
Salawati
sebelumnya adalah menjadi walikota Makasar yang dipilih pada tahun 1949,
setelah kota ini merdeka secara de facto
dari Belanda.
Tapi,
bagaimana dengan posisi perempuan Manggarai dalam konteks kekinian, terutama
Rueng dalam perspekttif kepemimpinan politik Manggarai?
Perbandingan
perubahan antara era Rueng dalam legenda Manggarai dengan era demokrasi
langsung dan era kapitalisme, Manggarai sudah mengalami kemajuan yang cukup
signifikan.
Kecenderungan
pemenuhan hak politik perempuan di Manggarai tak bisa dibilang payah. Hal ini
terbukti banyak kaum perempuan di Manggarai sekarang menjadi pejabat publik.
Misalnya
Maria Geong wakil Bupati Manggarai Barat, Osi Gandut anggota DPRD Manggarai
selama dua periode dan merangkap sebagai ketua fraksi Golkar.
Leni
Paga menjadi kepala bandar udara, Ney Asmon yang menjabat sebagai kepala dinas
Peternakan kabupaten Manggarai Barat, Sisi Nanga mantan anggota DPRD Manggarai
dari fraksi Golkar, kemudian Lila Jehaun mantan anggota KPUD Manggarai.
Penulis
merupakan dosen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Universitas Keristen Indonesia UKI Jakarta