Pater Stanislaw Ograbek SVD Misionaris Polandia, Foto: Ear Ratuanik/Congkasae.com |
Oleh P. Joseph Pati
Mudaj MSF
Pater Stanislaw
Ograbek, SVD telah menghadap Bapak di surga, Sabtu 15/02, pkl. 23.59 di RS
Vinsensius a Paulo Surabaya. Ia bagaikan bintang yang menghadirkan secercah
terang di tengah kegelapan.
Meninggalkan
Eropa
Meninggalkan negeri
kelahirannya, Polandia, Pastor Stanis menghabiskan sisa waktu hidupnya di
Flores dan Kalimantan Tengah sebagai seorang Misionaris, kurang lebih 50 tahun,
menjadi berkat bagi banyak orang.
Tahun 1965, ia
bersama 19 teman seangkatan menuju Inonesia. Perjalanan panjang dimulai dari
Warsawa melewati pegunungan Alpen dan beberapa negara Komunis. Pemeriksaan dan
pengawalan cukup ketat diterapkan oleh petugas Imigrasi.
Di Cekoslowakia,
hampir saja ia ditahan karena masalah adiminstrasi. Di Napoli, mendengar bahwa
dia berasal dari Polandia, seorang perwira bertanya padanya, apakah kamu
seorang beriman atau komunis?
Situasi waktu itu
memang menegangkan karena pengaruh komunisme. Pemerintah Komunis tidak mau
memberi izin kepada misionaris ke luar negeri. Waktu itu, Polandia berada di
bawa kekuasaan Rusia. Pada tahun yang sama, di Indonesia juga sedang terjadi
pergolakan atas gerakan Partai Komunis Indonesia.
Pater Stanislaw Ograbek SVD Berpose bersama umat Katolik di Manggarai, Foto Vhyani Tunggal/Congkasae.com |
Namun awal
kedatangannya di Flores sungguh berkesan. Ketika naik-turun gunung di Manggarai
dan melihat kali-kali di dasar lembah-lembah yang hijau atau melihat air terjun
yang putih jatuh perlahan-lahan seperti kapuk jatuh dari pohon, ia bernyanyi,
“Negeri ini indah.
Negeri ini elok, negeri ini bertanya; entahkan dia menarik?”
Tanah nan subur, penuh harapan.
Ia merasakan
kebahagiaan yang luar biasa atas penyambutan hangat masyarakat di
Borong-Manggarai.
“Kami tidak menduga
bahwa acara yang bagus dan menarik ini adalah pokok dan pembukaan dari segala
upacara adat di Manggarai, yang akan menyertai kami sampai ke pintu surga. "
"Siapa tahu, barangkali lewat pintu gerbang firdaus kami akan dijemput lagi
menurut adat Manggarai, paling kurang dengan tuak manis.” Tulis Pastor Stanis
dalam buku, “50 Tahun di Pulau Flores dan Kalimantan.”
Berkarya
di Flores
Selama kurang lebih 30
tahun ia berkarya di Pulau Flores. Melihat keadaan infrastruktur yang belum
memadai, misionaris Polandia ini memberi perhatian yang sanga besar.
Selain
sebagai Pastor Paroki, beliau berjuang tanpa kenal lelah untuk membangun proyek
jalan dan jembatan demi masyarakat, bekerja sama dengan pemerintah Swiss.
Ia sempat dijuluki
Pastor saksemen. Tidak berlebihan pula, umat dan masyarakat di Manggarai
menjulukinya sebagai ‘penyelamat kedua.’ Dia membuka sekat-sekat yang membatasi
akses masyarakat.
Pater Stanis tampak mengenakan selendang Songke, Foto Gabriel Mahal/Congkasae.com |
Di Manggarai pater
Stanis dikenal sebagai tokoh pembuka sekat isolasi Satar Mese, dan satar Mese
Barat khususnya jalan dari kecamatan Ruteng menuju, Kebe Gego dan Dintor di
Satar Mese Barat.
Jalan itulah yang
kini menjadi akses masuk ke wilayah Dintor termasuk Wae Rebo.
Atas jasanya di tanah
Nusa Bunga ini, beliau pun dianugerahi tanda penghargaan Cincin Emas oleh
Gubernur NTT, Ben Mboi, teman lamanya waktu di Tondo, atas jasa-jasanya yang
luar biasa dalam pembangunan infrastruktur di propinsi NTT.
Kini, ia bertemu
kembali dengan teman lamanya tersebut di surga.
Pada malam sebelum
meninggalkan Flores menuju Kalimantan, ia merasa cape dan sakit, setelah
menyelesaikan jembatan Wae Aur.
Ada beberapa lepuh pada tanggannya. Pada saat
itu, ia menyadari dirinya sebagai Perantau Kecil. “Memudarnya Perantau Kecil,”
tulisnya.
Ia tidak bisa
memegang bolpoin untuk menulis kisah-kisah yang ia alami hari itu. Namun dalam
cahaya pelita suram, ia menemukan petikan sajak Polandia dalam sebuah Majalah:
“Kita akan dihancurkan oleh waktu, seperti oleh batu penggiling. Malam gelap
gulita akan menelan Anda dan saya.”
Berkarya
di Keuskupan Palangkaraya
Pada tahun 1994,
Pastor Stanis pindah dan bekerja di Keuskupan Palangka Raya, sebagai Pastor
Paroki Nanga Bulik. Dari Nanga Bulik, beliau mendapat tugas khusus menggalang
Dana untuk membangun RS Katolik Palangka Raya, RS Awal Bros Betang Pambelum.
Dengan peluh dan air
mata, ia berjuang demi mendirikan tempat bagi orang-orang sakit dan yang
membutuhkan kesehatan. Kurang lebih 20 tahun bertugas di Keuskupan Palangka
Raya.
Sabtu malam pukul
23.59 WIB, waktu menelan dan membawanya ke alam baka. Ia telah menyelesaikan
misi pelayanannya di tanah perantauan, dunia ini.
Pater Stanislaw Ograbek SVD tampak mengenakan jubah, Foto Pater Joseph Pati Mudaj MSF/Congkasae.com |
Seperti saat
meninggalkan Eropa, ada gugusan Bintang Pari yang bercahaya terang dan
mengesankan, lalu menghilang. Namun tidak ada yang sia-sia dari sebuah cahaya.
Bintang itu telah
menyinari sebagian masyarakat Flores dan Kalimantan Tengah. Bintang itu kini
tetap bernyala. Bintang itu adalah energi Positip yang saya rasakan pula.
“Bintang-bintang di
langit bisa hilang dari pandangan mata, tetapi persahabatan di hati manusia
tidak mungkin terbenam,” tulis Pater Stanis.
“Kita semua adalah
perantau di dunia ini,” katanya pada suatu kesempatan.
Penulis
merupakan Ex
Misionaris Filipina dan Sekretaris Uskup Keuskupan Palangkaraya
Penyunting Akhir: Antonius Rahu