Yosefina Nua ketika berada di lokasi jualannya, Foto Congkasae.com/Marselino Ando |
[Congkasae.com/Lejong] Kehidupan ini penuh misteri, kita tidak akan pernah tahu kapan kita akan dipanggil pulang menghadap sang khalik dan meninggalkan orang-orang tercinta atau kita yang ditinggal oleh orang tercinta. Semua ini merupakan rahasiah yang maha kuasa.
Dalam kehidupan berkeluarga, sudah menjadi kodratnya bahawa suami lah yang berkewajiban untuk mensejahterakan keluarga dengan menafkahi dan memenuhi kebutuhan ekonomi istri dan anak-anaknya.
Namun semuanya berubah ketika sang suami yang menjadi tulang punggung keluarga dipanggil menghadap sang pencipta dan meninggalkan keluarga tercinta untuk selama-lamanya.
Kenyataan pahit itu juga dialami oleh Yosefina Nua seorang ibu rumah tangga yang berasal dari Lengko Di'a, kelurahan Kota Ndora, kecamatan Borong, kabupaten Manggarai Timur.
Yosefina Nua menikah dengan almarhum suaminya pada tahun 1991 dan dari hasil perkawinan keduanya dikaruniai anak-anak yang manis dan imut.
Awal kehidupan mereka cukup bahagia dengan penghasilan yang dibilang lumayan dari almarhum suaminya yang bekerja serabutan, kadang bekerja sebagai buruh kasar, petani dan sopir.
Dari penghasilan ini lah mereka bisa menyokong kehidupan keluarga kecil mereka. Namun kehidupan Yosefina Nua yang akrab disapa Fina ini berubah total semenjak sang meninggal pada tanggal 8 Desember tahun 2003.
Sejak saat itu, Ibu Fina yang tidak memiliki keterampilan dan profesi yang jelas ini, terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarga untuk menafkahi dan menyekolahkan anak-anaknya.
Banyak pekerjaan serabutan yang ia lakoni, mulai dari bekerja harian di warung makan dengan upah yang rendah hingga menjadi buruh tani.
"Semenjak suami saya meninggal, kehidupan keluarga kami berubah total. Saya harus menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja serabutan. Mulai dari bekerja harian di warung makan sampai pada bekerja sebagai buruh tani dengan upah yang rendah. Hampir tiap hari saya dan anak-anak hanya makan 1 kali biar hemat beras," ungkap wanita yang berusia 50 tahun ini dengan mata berkaca-kaca di kediamannya kepada congkasae.com
Namun sepertinya Tuhan punya rencana yang indah untuk keluarga ibu Finah dan anak-anaknya. Pada bulan Juli tahun 2019 ia diperkenalkan oleh temannya dengan seorang pengusaha peti mati di kabupaten Ende dengan tujuan untuk membantu perekonomiannya.
Akhirnya mereka sepakat untuk bertemu lalu pengusaha itupun menawarkan ibu Fina untuk menjual peti mati yang diproduksi dari Ende. Tanpa berpikir panjang ia langsung mengamini tawaran ini.
Peti mati yang dijual semuanya berukuran orang dewasa lalu dijual Rp.2.500.000/peti . Kadang 1 bulan diorder sampai 3 peti dari wilayah Borong, Kisol, Mukun dan bahakan pernah sekali diorder dari wilayah Ruteng, kabupaten Manggarai.
Yosefina Nua di lapak dagang sebelah rumahnya di Borong, Foto Congkasae.com/Marselino Ando |
Meskipun upah yang ia terima dari setiap orderan hanya Rp.200.000 , karena selebihnya di kirim ke pemilik usaha, tetapi ibu Fina mengaku puas karena bisa menambah penghasilannya dari pekerjaan serabutan lainnya. Uang ini ia pergunakan untuk menambah biaya sekolah anaknya yang sedang duduk di bangku SD dan SMA.
"Setelah saya menjual peti mati, kehidupan keluarga saya cukup berubah. Kini saya dan anak-anak bisa makan nasi 3 kali sehari seperti keluarga yang lain. Uang ini juga tambah-tambah untuk biaya sekolah anak," tutur ibu Fina sambil mengusap air matanya.
Kondisi Peti Mayat yang dijual siap digunakan, Foto Congkasae.com/Marselino Ando |
Namun setiap usaha pasti ada hambatan dan rintangan untuk mencapai kesuksesan. Ia pernah ditegur, dilarang dan bahakan dipaksa tutup oleh beberpa masyrakat sekitar dengan alasan dan dalih bahawa menjual peti mati tidak sesuai dengan budaya Manggarai Timur.
Namun wanita yang masih berdarah Ngada ini selalu melihat dari aspek positif saja dan memutuskan untuk terus menjual peti mati.
Ia pun berharap seiring waktu berjalan masyrakat yang beluam paham bisa mengerti dan mendukung usahanya. Karena semua ini ia lakoni hanya semata-mata untuk mencari sesuap nasi dan menyambung kehidupan keluarganya.
Penulis: Marselino Ando
Editor: Antonius Rahu