[Congkasae.com/Sosbud] Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan gading dan manusia mati meninggalkan nama. Itulah pepatah lama yang mengandung makna yang cukup mendalam.
Kehidupan manusia di dunia ini hanyalah bersifat sementara. Semasa hidup, banyak hal yang dilakukan untuk mewarnai kehidupannya. Ada yang menjadi orang kaya, ada pulah yang kehidupannya pas-pasan.
Ada yang menjadi orang baik, ada juga yang menjadi orang jahat. Namun ketika manusia mati dan meninggalkan keluarga, kerabat, kemewahan dunia atau pun penderitaan semasa hidup, orang-orang yang ditinggalkan hanya mengingat nama dan kebaikan atau keburukan semasa hidup.
Meskipun raga terpisah untuk selama-lamanya, namun orang Rongga di Kisol, Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur meyakini bahwa Embu Nusi (Roh Leluhur) selalu menyertai dan melindungi keluarga yang masih berziarah di Bumi.
Oleh karena itu mereka melakukan ritual yang namanya Ti'i Ka Embu Nusi (Memberi makan Roh Leluhur ) yang dipimpin oleh tetua adat dan dilakukan dalam Sa'o (rumah adat)
Ritual ini biasanya dilakukan pada malam hari pukul . 19.00 Wita , namun sebelumnya diawali dengan putu lilin (Bakar lilin) di kuburan leluhur dan keluarga-keluarga yang telah menghadap sang Khalik.
Tetua adat memiliki andil yang sangat penting selama pelaksanaan ritual ini. Setelah semua keluarga yang hadir berkumpul dalam sa'o (rumah adat) barulah acara ini dilakukan.
Dalam acara Ti'i Ka Embu Nusi , hewan yang dikurbankan adalah Manu Sepang (Ayam jantan berukuran sedang) yang berwarna merah.
Orang Rongga di Kisol meyakini bahawa darah dan aroma bakaran ayam merupakan wujud pemberian makanan kepada roh leluhur.
Konon menurut cerita beberapa tetua adat, ritual ini diyakin serta dilakukan oleh leluhur jauh sebelum masyarakat Rongga di Kisol mengenal agama.
Orang Rongga di Kisol meyakini jika ada sa'o (rumah adat) yang tidak melakukan ritual ini, maka keluarga dalam sa'o tersebut akan mendapat ganjaran dari Embu Nusi (Roh Leluhur) berupa sakit dan nasib yang kurang beruntung (Pintu rejeki yang selalu tertutup).
Makanya tradisi ini masih terus diyakini dan dilakukan pada momen-momen penting seperti, malam Natal, malam tahun baru, malam paskah dan momen-momen lainnya.
Penulis: Marselino Ando
Editor: Antonius Rahu