Aktivitas di pelabuhan Tenau Kupang, Foto Genpi/Congkasae.com |
***Oleh Antonius Rahu***
Covid-19 sebuah nama yang melambung tinggi jelang akhir tahun 2019, sering jadi headline surat kabar dan media-media online serta televisi.
Sayangnya ketenarannya bukan karena kebaikan namun karena dikenal sebagai monster menakutkan dijuluki pembunuh beringas tanpa ampun.
Itulah sebabnya manusia sebagai kelompok penguasa planet ke tiga dalam sistem tata surya di galaksi bima sakti tengah berjuang melawan sang monster.
Ada ketakutan yang berlebih yang juga dikenal dengan istilah paranoid dengan Corona yang dalam bahasa Yunani diartikan sebagai Mahkota itu.
ketakutan karena keberingasannya membunuh siapa saja hanya dalam hitungan hari, jutaan manusia di dunia telah meninggal, sementara sekelompok ilmuwan harus berpacuh dengan waktu mempelajari struktur serta menemukan antivirus.
Semua Berimbas
Pandemi Corona ini telah menimbulkan efek domino bagi semua sektor, mulai dari kesehatan, pariwisata, ekonomi sampai sosial.
Di Indonesia Meski pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk memutus rantai penyebaran virus Corona, namun hasilnya belum signifikan.
Teriakan Lock down oleh sekelompok orang pun mulai terdengar, namun pemerintah Jokowi tampaknya lebih memikirkan nasib 260 juta warganya terutama mereka-mereka yang kerja hari ini untuk makan hari ini.
Lihat saja, pemerintah baru hanya mengeluarkan kebijakan kerja dari rumah saja, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mulai terasa di mana-mana.
Bayangkan jika opsi lockdown itu diambil presiden Jokowi, maka insiden kericuhan seperti yang terjadi di India pasti terjadi di Indonesia.
Kita patut mengacungi presiden dua Jempol dalam kasus ini, presiden kita paham betul dengan kondisi riil di lapangan.
Karenanya Ia bergeming ketika menerima surat pengajuan penutupan bandara dan pelabuhan oleh beberapa kepala daerah termasuk dari NTT.
Maraknya PHK di sejumlah sektor di kota-kota besar akibat wabah Covid-19 saat ini mulai terasa terutama di kalangan karyawan.
Lihat saja, dalam beberapa pekan belakangan gelombang kepulangan pekerja sektor riil dari kota-kota besar mulai terasa, termasuk di Provinsi NTT.
Ini merupakan kejadian di luar kebiasaan, jika mengacu pada statistik penumpang dalam bulan-bulan ini biasanya masuk dalam kategori low sesion.
Namun hal itu berbanding terbalik untuk tahun 2020, dampak Corona memang sudah mulai terasa di mana-mana.
Apa Kabar Tulang Punggung NTT??
Kabar tentang kepulangan pekerja di kota-kota besar belakangan mulai keras terdengar di telinga kami yang tinggal di NTT.
Di satu sisi kami masih berdoa semoga bapak -mama, kaka-adik saya di perantauan tidak mengalami nasib serupa.
Mengingat mereka adalah tulang punggung kami di NTT, selama ini merekalah yang mengirimi kami uang dari hanya untuk membeli sabun, membiayai sekolah, mengganti alang-alang dengan sengk, hingga membeli beras untuk makan.
Merekalah sosok tulang punggung yang sangat kami bangga-banggakan, kami selalu berdo'a semoga mereka baik-baik saja di tanah rantau.
Apalagi katanya NTT sebagai salah satu provinsi yang dulunya dijuluki sebagai provinsi Nanti Tuhan Tolong namun kini telah berganti nama menjadi Negeri Titipan Tuhan, karena belum ada kasus covid-19 di provinsi ini.
Entah benar-benar belum terdetksi atau karena alat deteksinya belum memadahi, yang jelas hanya petugas kesehatan dan Tuhan yang tahu soal itu.
Berbekalkan Lampu Pelita di sudut ruangan yang gelap, kami selalu berdoa setiap malam semoga wabah Corona ini segera berlalu.
Dalam do'a kami selalu menitip nama-nama, ende-ema, ina-ama, ka'e azi, yang berada di tanah rantau semoga selamat dari paparan Covid-19.
Semoga mereka selalu dalam lindungan Tuhan dan tidak terdampak wabah Corona biar kami masih bisa makan, kami masih bisa bersekolah.
Namun rupanya do'a itu tidak terdengar sampai di telinga Tuhan, buktinya kini mereka sedang dalam perjalanan pulang, menyusul penutupan tempat usaha yang jadi sumber mata pencaharian mereka selama ini.
Kepulangan mereka di satu sisih jadi kabar gembira bagi kami, karena kami bisa bersua kembali setelah sekian lama terpisah.
Namun di sisi lain, kami khawatir jika mereka pulang, lantas siapa yang bisa membiayai kehidupan kami?
Akankah mereka benar-benar sehat selama dalam perjalanan dan tidak terpapar virus Corona?
Tulang Punggung Ditolak di Tanah Kelahiran
Kabar kepulangan mereka (Para Perantau) belakangan rupanya mendapatkan tanggapan berbeda dari sesama kami yang di NTT.
Terutama dari mereka yang selama ini paranoid dengan dampak wabah Corona ini, mereka yang mungkin belum pernah merantau ke luar daerah.
Mereka yang kuliahnya dibiayai orang tua, dan belum pernah merasakan susahnya mencari uang untuk biaya kuliah sendiri.
Kabarnya kedatangan tulang punggung ini ke NTT diwarnai aksi penolakan, rasa khawatir dan ketakutan berlebih telah menumpulkan rasa kemanusiaan dari kelompok yang getol menyuarakan aksi penolakan.
Sehingga mereka lupa akan jasa besar para perantau, sampai-sampai lokasi karantina saja ditolak oleh warga sesama oarang sini, orang NTT.
Kedatangan perantau ke tanah kelahirannya sendiri kini diidentik dengan pembawa penyakit, lihat saja unggahan-unggahan kelompok itu di media sosial yang seolah-olah menggeneralisir perantau sebagai pembawa penyakit.
Padahal pemerintah telah menyediakan sejumlah langkah dan perlakuan khsusus bagi sang tulang punggung.
Diantaranya, disemproti desinfektan pintu kedatnagan, dishelter selama 14 hari sebelum diperbolehkan bertemu keluarga di rumah.
Namun itu saja tidak cukup, di Manggarai Timur misalnya ada warga kampung yang mengungsi ke kebun karena ada warganya yang baru datang dari luar NTT, pulang merantau.
Selain itu di Ruteng penentuan wisma atlet Golo Dukal sebagai lokasi shelter bagi sang tulang punggung diwarnai aksi penolakan oleh warga sekitar.
Di Maumere Flores, ratusan penumpang kapal KM Lambelu terpaksa terkatung-katung di lautan selama beberapa jam menyusul ditemukannya tiga orang diduga ODP dalam kapal.
Belum lagi aksi penolakan serupa yang cukup rasial di media sosial dengan melabelkan perantau sebagai pembawa penyakit.
Saya sedih melihat tindakan sesama kami di NTT, di manakah rasa kemanusiaannya? Tidakkah tersirat di benak sedikit saja bahwa perantau ini adalah tulang punggung kita selama ini.
Merekalah yang membiayai kita sekolah, mungkin pulsa untuk unggah status facebook mu juga uang dari hasil keringat perantau ini?
Namun karena ketakutan berlebih kita merasa seolah-olah paling sehat dan paling peduli dengan kesehatan.
Kita berpura-pura amnesia dengan kasus kematian warga NTT yang ada di Bali misalnya, datanya hampir setiap minggu ada warga yang dikirim pulang ke NTT karena meninggal.
Entah karena sakit dan dirujuk ke Denpasar lalu meninggal ataupun karena faktor lain, dan uang untuk mengirim pulang jenazah ke NTT itu dari hasil keringat perantau NTT yang ada di Bali.
Kenapa kita sedikit saja tidak merasa bersyukur atas rahmat dan berkat yang kita terima dan mengucapkan terima kasih pada perantau, atas apa yang telah mereka lakukan untuk kita.
Kenapa kita sudah mulai membedakan klaster perantau dan pribumi dalam kasus ini hanya karena dugaan yang ada dalam pikiran kita, yang belum tentu benar?
Terimalah Kedatangan Mereka
Sudahilah perdebatan perantau dan penduduk pribumi, sudahilah penolakan pada perantau, apalagi melabelkan mereka sebagai pembawa penyakit.
Itu sangat tidak manusiawi, bukankah Tuhan Yesus dalam Matius 7:3 mengatakan demikian " Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di matamu tidak engkau ketahui?"
Ya....kita telalu detail dan berlagak detail oriented dalam melihat sesama kita yang baru datang dari perantauan sementara kesalahan dan kekurangan besar di dalam diri kita sendiri tidak kita hiraukan.
Kita terlalu mematok kriteria tinggi dan berlagak sok sehat paling peduli dan paling sosialita di media sosial dengan status bernada keritikan menyudutkan pendatang baru.
Kita lupa bahwa selama ini merekalah yang menghidupi kita, selama ini perantau inilah yang menjadi tulang punggung kita.
Mungkin karena jasa mereka makanya kita bisa beli HP Android untuk berlagak di media sosial, bisa kesekolah, bisa merasa nyaman tinggal dalam rumah tembok.
Mari sudahi perdebatan itu, kita rangkul pendatang baru sebagaimana seorang ayah yang menerima anaknya dari perantauan meski telah memboroskan harta kekayaannya (baca Lukas 15:11-32
).
Meski dalam kasus ini konteksnya tidak sama, tapi kita bisa mencontohi tindakan tokoh Bapa dalam perumpamaan itu.
Perantau itu sehat-sehat, mereka tidak sakit, jangan hanya karena istilah ODP dan PDP saja kita lantas mengkategorikan semua perantau sebabagi ODP apa lagi PDP.
ODP itu hanyalah istilah saja mereka belum tentu sakit, apalagi sejumlah pemerintah daerah di NTT kabarnya sekarang sudah mulai mengaloksikan dana APBD tahun 2020 untuk menyambut kedatangan sang tulang Punggung, anak sulung dan orang tua dari daerah rantauan.
Kita percayakan pada petugas kesehatan untuk menjalankan apa yang mesti dijalankan, jika memang harus dikarantina, ikuti Protap yang ada.
Untuk perantau juga jangan menyembunyikan kondisi kesehatan yang dialami, jika mengeluh batuk atau sesak napas katakan itu sejujurnya pada petugas kesehatan, ini demi kebaikan kita bersama.
Jangan berlaku arogan kepada petugas kesehatan jika berada di tempat karantina atau shelter, ini hanyalah prosedur yang harus dilalui sebelum diperbolehkan menemui keluarga di kampung.
Kalian sayang kami bukan? kami juga sayang kalian, jadi mari sama-sama kita berdoa pada sang Khalik untuk sudahi wabah ini.
Biar kita sama-sama bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala. Akhir kata dari tulisan yang tidak berbobot ini salam rindu untuk warga perantau NTT di manapun berada, salam sayang terutama untuk kaka ade, ina-ama,ine-ame, ka'e azi, bapa mama saya yang ada di Bali, salam hangat dari bumi Flobamora.
Penulis merupakan mantan perantau dan mantan anggota Flobamora Bali saat ini menetap di Labuan Bajo Flores.