[Congkasae.com/Lejong] “Pahlawan Tanpa Tanda
Jasa” pasti kita semua sudah mengetahui
bahwa istilah itu diperuntukan bagi
seorang
Guru.
Ya.. benar, berprofesi sebagai seorang guru
bukanlah hal yang mudah karenanya menjadi seorang guru dapat dikategorikan sebagai pekerjaan yang mulia.
“ mencerdaskan kehidupan bangsa , penerang dalam kegelapan” demikianlah
sederet istilah untuk seorang Guru.
Bagaimana tidak, Dokter, perawat, pilot, direktur, Anggota Dewan, presiden,
bahkan ilmuwan yang hampir setiap waktu berinovasi itu adalah buah dari profesi
guru.
Menjadi seorang Guru memang tidaklah berbeda seperti seorang petani yang senantiasa
membuang duri dan mencabut rumput yang tumbuh di celah- celah tanamanya seperti kata Hamid All gazali.
Menguras tenaga karena Berjalan kaki hingga ribuan meter, bertaruhkan nyawa karena harus
mengarungi
derasnya arus sungai Wae Mokel demi mendidik siswa agar bisa melanjudkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi.
Itulah yang dilakukan
oleh Wihelmus
Dam seorang Guru di SDI Satar Mata, Kecamatan Kota Komba Kab,
Manggarai Timur, Flores NTT.
Pak Willy, itulah sapaan akrab yang kerapkali disebutkan
oleh anak-anak didiknya. Bagi muridnya
pak Willy ini adalah sosok yang baik dan humoris,
sehingga para siswa tidak pernah jenuh mengikuti pelajaran yang dibawakannya.
Bapak dari empat orang anak ini kabarnya
sudah
sejak tahun 2002 silam, mengemban tugas di Satar
Mata.
Mulai dari status sekolah itu yang
masih TRK
(Tambah Ruangan Kelas) hingga saat ini Sekolah Dasar
Satar
Mata yang sudah menyandang setatus Sekolah Dasar Negeri.
“Pada tahun 2002, saya ditugaskan ke sini
(Satar Mata). Sebelumnya saya tinggal di Wakung Desa Mokel sekarang Desa Mokel morid kecamatan Kota komba,”katanya
kepada Congkasae.com baru-baru ini.
Wily juga mengisahkan
kondisi awal sekolah tersebut ketika ia datang pertama kalinya dengan kondisi
yang gedung yang memprihatinkan hanya terdapat 1 unit
gedung
dan isinya 2 ruangan kelas yang reot.
“Jumlah muridnyapun kala itu dapat dihitung dengan jari tangan. Sebagian dari mereka
sudah berusia remaja dan ada bebrapa yang pantasnya berada di bangku SMA dan
kuliah,”tambahnya.
Melihat situasi yang
semakin parah akibat jumlah murid yang tidak mencapai kuota, Wily dan
teman-teman seprofesinya mengaku sempat putus harapan.
“Namun berkat usaha dan kerja
keras, Guru dan orang tua murid, puji Tuhan sekolah ini dapat bertahan dalam
kondisi kritis,”kisahnya.
Kabar baiknya menurut
Wily saat
ini kapasitas gedung yang disediakan tidak lagi cukup menampung jumlah
murid
yang bertambah banyak.
“Atas persetujuan beberapa
pihak, gedung kapela akhirnya digunakan untuk
ruangan kelas,“katanya.
Satar Mata adalah salah
satu daerah terisolir yang jauh dari akses jalan raya apa lagi fasilitas
listrik.
Untuk bisa sampai ke Satar Mata, kita harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 3 km dari kampung Galong desa
Watu Pari dan
harus menyebrangi derasnya arus sungai Wae Mokel.
Selain itu, tempatnya yang jauh dari keramaian menyebabkan banyak Guru mudah yang terkadang berpikir dua kali untuk
mengabdi di sana.
Di musim penghujan, untuk bisa ke sana, bukanlah
perkara gampang, kita harus bertaruh nyawa dengan derasnya arus sungai
Wae Mokel.
Namun uniknya kondisi
tersebut tidak sedikitpun menyiutkan nyali Wihelmus Dam meski kerap mendapatkan desakan dari keluarganya
termasuk anak keduanya Gonzales Dam yang selalu meminta sang
ayah untuk segera pindah tugas.
“Awalnya tidak nyaman, bahkan
kerapkali meminta bapak untuk pindah tugas. Namun Beliau tetap
bersikuku,”kata Gonzales Dam anak
keduanya.
Alhasil kedua puteranya menyelesaikan
sekolah dasarnya di Satar Mata dan saat ini sudah menyelesaikan pendidikan S1di salah satu kampus ternama Di Bali.
Berkat perjuangan dan kegigihanya,
beliau
diangkat menjadi kepalah sekolah beberapa bulan yang lalu.
Tugas yang disebutnya
sangat mulia jika
ada
kegiatan dinas di Borong atau di tempat lain pria
berusia
53 tahun ini, harus berjalan kaki dan menempuh jarak yang cukup jauh, melewati
aliran sungai yang deras.
Walaupun terkadang langkahnya
tertaih-tatih, namun karena tekad yang kuat dan demi mengemban tugas dan
tanggung jawab ia tetap semangat manjalankannya.
Baginya menempuh pendidikan menjadi
seroang guru
lebih mudah jika dibandingkan menjadi
seorang guru itu sendiri.
Penulis: Kristo sapang
Editor: Antonius Rahu