***Cerpen Karya Kristo
Sapang***
Nama saya Jio... saya adalah putra tunggal dalam
keluarga hoby saya berkebun. Lahan pemeberian ayah adalah
tempet saya bekerja.
Berbeda dengan
teman ku, dulu semenjak tamat SMA, mereka memilih lanjut ke
perguruan tinggi. Namaun, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan karena keterbatasan ekonomi.
saya memilih
untuk tetap di kampung membantu orang Tua. mencari makanan sapi, mengabil
makanan babi dan menyiang rumput di kebun kopi adalah pekerjaan rutin saya.
Hampir Setiap
hari saya menghabiskan waktu di kebun. Lain dengan Maria, dia adalah Anak
tunggal dikeluarga berada di desa kami.
Kebetulan dia
adalah teman sebangku saya saat
SMA dulu. saat ini berada di luar kota, melanjutkan pendidikan manajemennya.
Maklum, mereka termasuk kategori orang kaya di
desa kami, memiliki mesin perontok padi, mesin giling padi, giling kopi,
tracktor dan mereka juga memiliki beberapa unit kendaraan, nah itu dia kategori
kaya di desa kami.
Maria itu orangnya
baik, ramah dan penyayang, sewaktu-waktu saya sering meminjamkan pulpen padanya,
saat mata pelajaran matematika, dia selalu memilih kelompok yang sama dengan saya.
Saat guru tidak
masuk kelas kami selalu bersendaguarau, tukar ceritra, bahkan dia tak
sungkan-sungkan curhat rahasianya dengan saya.
Serasa ada yang
kurang ketika antara saya dan
dia ada yang tidak masuk sekolah boleh dikatakan “Teman tapi mesrah” itulah
kata teman-teman tentang kami.
Kedekatannya
membuat saya semakin penasaran bahkan pada suatu ketikan saya berencana untuk “menembaknya”.
Segala sesuatupun
saya siapkan dengan matang mulai dari cara bicara, kata-kata, hingga expresi wajah, telah kuperagakan depan cermin
lemari di rumah kami.
Keesokan hari jam
06: 30 dengan semangat sayapun berangkat sekolah, di sekolah, Maria sudah menunggu. Paras cantik,
alis mata lentik, lesung pipi, kulit mulus dan bersih adalah ciri khas Maria dan
itu semua membuat saya semakin dag-dig-dug di depanya.
Sebelum saya
mengungkapkan isi hati, saya termenung dan tiba-tiba saya berubah pikiran, saya lebih memilih
menyelamatkan pertemanan kami dari pada menajadikan Maria sebagi kekasih hati
saya.
Lagipula
seandainya Maria menolak saya, itu artinya saya sudah menghancurkan pertemanan kami. Jadi, teman saja
sudah cukup.
Sejak saat itu,
saya menguburkan niat saya dalam-dalam hingga selesai SMA, saya tetap bersih
kuku menguburkan niat saya
itu.
Pada liburan 2
tahun kemarin, Maria baru saja pulang dari luar kota untuk berlibur, Dia
terlihat tambah cantik saja rupanya.
”Tinggal di kampung saja sudah seperti artis, apalagi tinggal di kota, ibarat
bidadari dari kayangan saat terbang sayapnya patah dan jatuh di kampung kami,” pikir ku dalam hati.
Namaun sejak saat
itu sepertinya ada yang
kurang beres dengan hubungan pertemanan kami, bukan karena Maria, namun orang
tuanya tidak senang ketika Maria bertegur sapa dengan saya.
Apalagi
sekali-sekali ketika dia bertamu ke rumah saya sangat terlihat jelas ekspresi wajah sinis dari kedua orang tuanya.
Memang tidak bisa
disalahkan orangtuanya, bayangkan saja, Maria
sebentar lagi wisudah, namanya bertamabah. Sedangkan saya..? menghafal musim
panen kopi mungkin bisa saya lakukan
tetapi mendekati Maria, mungkin itu hal tersulit dalam hidup saya.
Minder adalah
kata yang tepat untuk saya saat itu, niat saya untuk hidup bersama Maria
semakin dalam ku kubur..kini Maria hanya menjadi khyalan waktu senggang atau
saat mencari rumput sapi di kebun.
Sebagai manusia,
kita boleh-boleh saja membuat rencan namun, rencana Tuhan di atas segala rencana.
Berbeda dengan
liburan sebelumnya, liburan tahun kemarin Maria pun pulang namun, pintu
rumahnya tidak pernah dibuka, tidak seperti biasanya.
Saya curiga ada yang tidak beres dengan Maria, kebetulan waktu itu sedang ada pendemi covid 19.
Pikiran saya pun tidak tenang seperti ada kontak batin dan memberikan petunjuk
bahwa Maria sedang tidak baik-baik saja.
Haripun berlalu,
terlihat aktifitas yang tidak
seperti pada biasanya, di rumah Maria hanya terdengar suara pada malam hari
saja, sedangkan siang hari, layakny rumah yag tidak berpenghuni.
Karena
mencurigakan, bebrapa orang wargapun berniat untuk meggledah rumah Maria, tak
lama kemudian, merekapun menemukan sehelai surat di tas Maria, dalam surat itu
menuliskan bahwa Maria adalah ODP (orang dalam pengawasan) covid 19.
Tak lama
berselang berita tersebut menyebar hingga ke pelosok desa, masyarakat yang
panik, serta praturan desa mengahruskan keluarga Maria untuk menjalankan
isolasi.
Hati saya hancur
berkeping- keping, harapan dan impian musnah seketika. Corona virus itu
berbahaya.
Tidak ada jalan
kesembuhan ketika sudah terpapar virus itu, Itulah pikiran yang
terlintas dalam benak saya. Desa
kami kejam. Lebih kejam lagi
dari orang tuanya Maria yang
melarang Maria untuk dekat dengan saya.
Tak mau ambil
pusing, pak kepala desa pun mengeluarkan aturan bahwa Maria dan keluarga harus
diisolasi di kantor desa.
Ini kesempatan emas saya untuk mendekati Maria yang kebetulan lokasi kebun kami berdekatan dengan kantor desa.
Selama kegiatan isolasi berjalan, saya sering memantau Maria
dan keluarga namun tetap memakai masker jahitan mama serta tidak pernah lupa
mandi selepas menjenguk keluarganya.
Tak sedikit wagra
yang menghujat saya karena dekat dengan Maria saat pandemi tersebut, apalgi Maria adalah ODP covid-19.
Saya tidak pernah
menggubris kata mereka tentang saya, bagi saya, hidup namun tidak bersama Maria
adalah mati suri, sedangkan mati suri bersama Maria pasti akan hidup lagi.
Kubulatkan tekad
untuk selalu bersama Maria dalam suka dan duka, cinta yang dahsyat
menghancurkan maut menghadang sekejap.
Kini hampir
setiap hari saya pergi menjenguk Maria dan tidak lupa memakai masker pengaman. Obat- obatan dari medis diperkuat
oleh obat tradisi racikan saya sendiri, berkat pengalaman saya lima tahun lalau
diaman semua ayam kami mati karena terkena virus.
Untuk virus,
proses inkubasi dan siklus hidupnya pada umunya hampir sama, tidak melihat
hewan ataupun manusia, pemahaman saya seperti itu tentang virus.
bagi saya
menyembuhkan Maria adalah hal terpenting saat itu. Atas persetujuan bapak dan
mama, saya menjual seekor sapi kesayangan saya untuk membeli obat yang
disarankan petugas kesehatan di pusat kota.
Untung dapat
diraih, malang dapat ditolak, setelah mengkonsumsi, obat tersebut, kesehatan
Maria berangsur membaik demikian juga kedua orang tuanya.
Tak sungkan
sayapun mengungkapkan isi hati saya ke Maria dengan memgang tangannya, saya
menggali prasaan yang telah kukubur dalam- dalam selama bertahun-tahun lamanya.
Kuceritrakan kepadanya
apa adanya awalnya Maria
tidak berkata apa-apa, hanya linangan air mata tanda kepasrahan terpancar dari
wajahnya, namun dengan yakin dia berkata bahwa dirinya sudah sejak lama mengharapkan
kata-kata ini dari saya.
Jujur Maria
ternyata tulus mencintai saya, dia mengaku bahwa selam di luar kota, dia tak merelahkan orang lain
singgah di hatinya.
Urat-urat merah
di wajahnya, serta kulit mulus dan bercahaya membuat saya yakin bahwa belum ada
lakai-laki yang pernah
singgah di hatinya.
Tak lama
berselang tiba-tiba orang tua Maria datang, rasa takut bercampur berani saya
meminta izin ke orang tua Maria untuk menikahinya dalam waktu yang akan datang.
Tatapan tajam
ciri khas
ayah Maria membuat saya sempat gerogi, namun di akhir dia berkata bahwa laki-alaki seperti
saya pantas mencintai dan dicintai Maria
saya bahagia mendengarnya.
Beberapa menit
kemudian petuga kesehatan datang, dan mnginformasikan bahwa besok Maria dan
keluarga akan dipulangkan ke rumah.
Sebelum pulang
kami berempat mengikuti Rapid Test, puji Tuhan semunya negatif covid 19.
Di rumah saya tak
sabar menemui bapa dan mama saya dan menceritrakan semuanya, ayah pun
menyetujuinya.
Maria, Cinta ku
dahsyat mengalahkan ombak di Cepi Watu, kokoh melebihi gunung Ranaka,
engkau bagiku adalah kain Songke yang menyelimuti ku di saat tubuh ini
kedinginan.
Derasnya aliran Wae Mokel akan kuarungi demi menggapai engkau,
engkau tak usah khawatir
tentang masa depan kita, kebun kopi di Wae Watu adalah milik kita aku berjanji untuk mengikhlaskan sisa hidupku bersama Mu.
Atas usaha dan
kerja keras Junio, demi
mendapatkan Maria Minggu depan Junio dan Maria akan melangsungkan pernikahanya.
Sebagai pembaca
yang setia hingga akhir ceritra anda diundang untuk turut membahagiakan kedua
mempelai.
Penulis saat ini menetap di Surabaya