***Oleh Alvitus Minggu***
Dalam filsafat politik, ide atau gagasan selalu melahirkan pro dan kontra dan itu adalah alamiah bahkan sesuatu hal yang lumrah terjadi dalam dunia demokrasi modern.
Sebuah paham yang mengandung nilai kebebasan di mana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menyatakan pendapat dan pikiran di muka umum yang dijamin oleh konstitusi negara.
Sebagaimana dalam penjelasan pasal 28 UUD 45 berbunyi kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan ditetapkan dengan undang-undang.
Nampaknya penjelasan tersebut, memberi angin segar kepada Rizal Ramli sehingga terdorong semakin percaya diri untuk melakukan kritikan terhadap Airlangga Hartarto selaku Ketua Umum Partai Golkar, partai yang pernah berkuasa pada zaman Orde Baru.
Tuduhan itu bermula ketika Rizal Ramli menuding Partai Golkar dan Airlangga sebagai sponsor utama beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti OmniBus Law, Begal Digital Kartu Prakerja, dan Perpu 2020.
Menurut Rizal Ramli kebijakan tersebut menjadi pintu masuk skandal keuangan untuk mendapat keuntungan bagi partai Golkar di tengah kovid 19.
Hal tersebut membuat Airlangga dan partai Golkar
terdorong melaporkan Rizal Ramli ke pihak berwajib, karena dianggap melakukan
pencemaran nama baik.(Beyond Bloging Compasiana,com 6 Mei 2020).
Pada hal dengan mengeluarkan sejumlah regulasi sebagaimana dimaksudkan tersebut di atas, merupakan langkah strategis pemerintah dalam upaya untuk mengatasi covid-19.
Kritikan tersebut merupakan gambaran ideal pasal 28 yang menunjukan fungsi UUD 1945 itu sendiri sebagai spirit moral serta sebagai hukum dasar tertinggi yang menjamin hak konstitusional warga negara.
Pertanyaan, apa relevansi kritikan Rizal Ramli dengan konsep demokrasi. Kritikan tersebut sah dan dapat dijamin oleh kebebasan demokrasi serta bagian dari kebebasan masyarakat untuk melakukan checks and balances agar dapat mewujudkan tatanan penyelenggaraan negara berjalan sebagaimana mestinya.
Perdebatan ini tidak hanya sekedar sebagai tontonan yang seolah-olah tidak bermanfaat bagi kesadaran publik.
Justri di balik ini menjadi bahan refleksi bersama supaya kita tidak semena-semena menjustifikasi terhadap pemerintah, apa lagi hal yang berbau keritikan tanpa memiliki data yang mendukung.
Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif merupakan konsekuensi logis hasil pemilu yang sah dan keberadaannya bersifat absolut.
Regulasi sebenarnya sebagai perpanjangan tangan kekuasaan negara, yang sangat dipengaruhi oleh tiga struktur kekuasaan itu.
Dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan politik agar tidak terjadi dominasi kekuasaan politik oleh lembaga tertentu dan tidak saling menindas antara lembaga lain.
Inilah sebenarnya esensi pemilu secara hakiki. Dengan demikian apapun keberadaan regulasi yang dilahirkan negara suka atau tidak suka, meskipun bernuansa memaksa bersifat sah dan mengikat bagi semua orang.
Karenanya wajib untuk ditaat, patuh, dan didukung tujuan untuk menjamin keberlangsungan sistem nilai baik hukum, ekonomi, sosial, dan budaya.
Bertolak dari hal tersebut, silang pendapat antara Rizal Ramli dengan Airlangga tidak bisa kita melihatnya sebagai perdebatan biasa, tetapi perdebatan ini telah memasuki wilayah publik.
Sebab posisi Airlangga di jajaran kabinet pemerintahan Jokowi merupakan representasi kekuasaan negara yang dipilih oleh hak politik sejuta rakyat Indonesia melalui mekanisme hukum pemilu pada pilpres 17 April 2019 lalu.
Pemerintahan Jokowi dan publik merupakan sebagai satu kesatuan politik yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Ketika Rizal Ramli melakukan aksi keritikan terhadap Airlangga, sama halnya ia melakukan keritikan terhadap lembaga lain.
Konsekuensinya bisa menimbulkan dampak buruk terhadap citra pemerintahan Jokowi bahkan hal itu sebagai upaya menggiring opini publik untuk menjatuhkan kredibiltas pemerintahan yang sah.
Dalam konteks komunikasi politik, keritikan tersebut merupakan bahasa simbol sebagai akibat ketidaksukaan Rizal Ramli terhadap pemerintahan presiden Jokowi merupakan gambaran ideal untuk memperjelas status Rizal Ramli sebagai oposisi.
Hal ini membenarkan ketika ia sempat menjadi Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan sumber daya pada pemerintahan Jokowi periode 2014.
Tidak lama kemudian iapun terkena Reshuffle Kabinet.
Posisinya digantikan oleh Luhut Binzar Pandjaitan yang sebelumnya menduduki
jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum, dan Keamanan.
Kondisi demikian membuat Rizal Ramli merasa tidak nyaman bahkan terkesan menjadi dendam berkepanjangan sehingga ia terus melancarkan kritikan terhadap pemerintahan Jokowi.
Hal ini menunjukan hubungan politik Rizal Ramli dengan pemerintahan Jokowi sudah tidak harmonis lagi.
Sisi lain, perseteruan Rizal Ramli dengan Airlangga Hartato bagian dari colek politik yang ingin mengganggu proses penyelenggaraan pemerintahan Jokowi yang tengah berlangsung saat ini.
Dengan asumsi Jokowi kembali berbaik hati untuk mengangkat kembali Rizal Ramli sebagai anggota Kabinet peride 2019-2024.
Perlu diingat, keritikan bukan satu-satunnya untuk menyelesaikan masalah tetapi justru muncul masalah baru yang bisa menimbulkan kecemburuan sosial.
Karenanya, siapapun yang selalu mengatasnamakan diri sebagai organisasi Civil society, ingin untuk menyampaikan ide atau gagasan, sampikanlah nasehati itu dengan bijak agar tidak memperkeruh keadaan.
Tetap mengedepankan etika, santun dalam menyampaikan pendapat, dan Berbasis data supaya opini yang kita sampaikan itu tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang dapat menjerumuskan kita ke ranah hukum.
Penulis adalah Dosen Hubungan Internasional dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Universitas Bung Karno Jakarta.
Isi tulisan menjadi tanggung jawab penuh penulis