- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Mengenal Anak Rona, Sang Pengatur Kehidupan Orang Manggarai

    Penulis: Antonius Rahu | Editor:Tim Redaksi
    29 Mei, 2020, 18:57 WIB Last Updated 2023-04-18T09:10:45Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1

    acara adat Manggarai
    Budaya Cepa sebagai lambang penerimaan tamu dalam adat Manggarai

    ***Catatan Antonius Rahu***

    Jadi bicara belis dalam budaya Manggarai itu berasal dari pemberian keluarga laki-laki (suami) sebagai bentuk apresiasi kepada keluarga besar perempuan (istri).

    Memasuki bulan Mei hingga Oktober di Manggarai biasanya menjadi puncak dari semua upacara adat, mulai dari kelas (pesta kenduri), laki atau wai anak (pesta nikah) sampai upacara wuat wa’i (pesta sekolah).


    Semuanya dilakukan dalam rentang bulan Mei hingga Oktober, saking seringnya tak jarang masyarakat Manggarai menamai bulan Mei hingga Oktober sebagai wulang anak rona.


    wulang anak rona ini menambah daftar musim di Manggarai menjadi tiga musim mulai dari wulang cekeng (masa kerja), wulang ka’eng bo (masa istirahat) dan wulang anak rona (masa upacara adat).


    Bicara soal wulang anak rona, ada satu hal yang amat esensial dalam budaya Manggarai karenanya penting diketahui oleh semua orang Manggarai.


    Pada kesempatan ini akan diulas dari mana asal-usulnya anak rona serta bagaimana posisi tawar anak rona dalam kehidupan orang Manggarai pada umumnya.


    Wabah Cacar yang Mengancam Populasi Orang Manggarai


    Lahirnya istilah anak rona tentu tidak terlepas dari sejarah peradaban Manggarai pada masa lampau. Anak rona merupakan bukti dari upaya untuk mempertahankan keturunan alias wa’u dalam bahasa Manggarai.


    Sekitar pertengahan tahun 1930 an, Manggarai pernah dilanda oleh wabah penyakit cacar yang amat hebat. Wabah ini menelan korban jiwa yang sangat banyak di hampir seluruh wilayah Manggarai.


    Jumlah kematian semakin hari semakin bertambah, sementara obat penawar penyakit cacar kala itu tak kunjung ditemukan.


    Saking ganasnya wabah cacar yang melanda tanah Manggarai kala itu sampai-sampai beberapa suku alias wa’u mulai terancam punah.


    Meski pada akhirnya wabah itu pergi meninggalkan bumi congkasae setelah kenyang dengan ribuan nyawa, namun ada bekas yang jadi peninggalan wabah cacar yang masih kita rasakan hingga sekarang.


    Pasalnya usai wabah cacar orang Manggarai mulai memperhitungkan pentingnya posisi perempuan dalam kehidupannya.


    Jika sebelumnya perempuan selalu berada di bawah kelas laki-laki, karenanya praktik poligami merupakan hal yang lazim di Manggarai kala itu.


    Siapa yang memiliki ilmu kebal dan ilmu hitam (mbeko) yang kuat maka dia berhak mendapatkan istri yang cantik dan dalam jumlah yang banyak.


    Namun pasca dilanda wabah cacar, masing-masing suku alias wa’u mulai memikirkan keberadaan perempuan, karena hanya perempuan saja yang bisa melahirkan sebagai satu-satunya upaya mempertahankan eksistensi wa’u.


    Perempuan Manggarai sebagai Nii dan Lahirnya Budaya Belis


    Akibat wabah cacar itu pula orang Manggarai akhirnya sadar bahwa ancaman kepunahan dari wa.u sudah semakin nyata.


    Satu-satunya upaya untuk mempertahankan eksistensi suku alias wa’u hanyalah dengan menikah dan memiliki keturunan.


    Bersamaan dengan itu, perempuan mulai diperhitungkan dalam struktur masyarakat Manggarai, perempuan kini dianggap sebagai ni’i alias bibit penerus keturunan.


    Sebagai ni’i posisi perempuan amat diperhitungkan sejak saat itu, karenanya praktik poligami yang marak terjadi dalam masyarakat Manggarai mulai ditinggalkan.


    Meski pada akhirnya praktik poligami ini baru benar-benar hilang dari tanah Manggarai setelah masuknya agama Katolik di seluruh tanah Manggarai.


    Sejak saat itu setiap orang yang hendak menikah harus memberikan harta kekayaan termasuk budak alias mendi kepada ibunda sang memplai perempuan.


    Pemberian itu sebagai ucapan terima kasih kepada ibunda memplai perempuan karena telah merelahkan anak perempuannya menikah dengan orang lain yang berasal dari wa’u (suku) yang berbeda.


    Pemberian yang merupakan wujud penghargaan tertinggi ini tidak dibatasi, tidak ada paksaan, tergantung kemampuan keluarga laki-laki.


    Pemberian ini pula yang hari ini kita kenal dengan istilah belis perempuan Manggarai. Jadi bicara belis dalam budaya Manggarai itu berasal dari pemberian keluarga laki-laki (suami) sebagai bentuk apresiasi kepada keluarga besar perempuan (istri).


    Karena telah merelahkan anak perempuannya menikah di luar wa’u nya sebagai upaya untuk mempertahankan eksistensi wa’u di keluarga laki-laki (suami).


    Woe Nelu sebagai Embrio Lahirnya Anak Rona


    Pemberian yang awalnya tidak dipaksakan dan merupakan wujud penghargaan tertinggi bagi kaum hawa di Manggarai rupanya mulai memunculkan spekulasi baru terutama dalam keluarga besar perempuan.


    Pasalnya dengan pemberian dari keluarga laki-laki sebagai bentuk penghargaan terhadap perempuan itu suatu waktu juga akan melegalkan status perempuan Manggarai sebagai ata data atau ata pe’ang (orang luar) dan bukan lagi jadi bagian dalam keluarga asal.


    Alhasil para tokoh adat Manggarai mulai berpikir ekstra keras bagaimana cara agar hubungan kekerabatan antara dua keluarga besar ini (keluarga besar laki-laki dan perempuan) akan tetap terjalin sampai kapanpun, tanpa ada mata rantai yang terputus.


    Setelah melewati perdebatan yang sengit antar lintas tokoh adat dari lintas wa’u maka disepakati nilai Belis yang super duper mahal sebagai jalan tengah.


    Dengan nilai belis yang super mahal dan terkadang tidak masuk akal ini maka pihak keluarga laki-laki pasti tidak sanggup membayar semua permintaan keluarga perempuan.


    Karena tidak sanggup melunasi permintaan ini yang jadi celah penambal kemungkinan putusnya hubungan kedua keluarga besar.

     

    Dari sana lahirnya ungkapan salang wae atau wae teku tedeng ungkapan salang wae merupakan landasan berdirinya woe nelu yang menjadi embrio adanya anak rona dan anak wina.


    Salang Wae merepresentasikan hubungan kekerabatan antar dua keluarga besar yang terus berkelanjutan sebagaimana orang menggunakan jalan ke mata air yang terus dilalui pagi dan soreh sepanjang hayat dikandung badan.



    Sementara wae teku tedeng menggambarkan hubungan kedua keluarga yang terus berkelanjutan bahkan hingga maut memisahkan.


    Untuk lebih mempertegas lagi hubungan kekerabatan dua keluarga besar maka pihak pemberi istri (pihak keluarga perempuan) disebut anak rona sementara keluarga laki-laki disebut anak wina.


    Hubungan kekerabatan antara anak rona dan anak wina ini disebut dengan istilah woe nelu. 


    Dalam artikel selanjutnya akan diurai hubungan kekerabatan kedua anak rona dan anak wina termasuk praktis Belis dewasa ini yang dinilai memberatkan anak wina.


    Penulis merupakan pemerhati budaya Manggarai saat ini menetap di Labuan Bajo Flores.


    Baca Juga:

    1. Demi Enu, Ngampang Toe Tanda Tengku toe Nggeru


    2. Mengenal Lingko Pati dan Lingko Widang dalam pembagian warisan orang Manggarai


    3. Lopo Mekas, panggilan kesayangan orang Manggarai Timur

    Komentar

    Tampilkan

    ads