***Oleh Cen Rian***
Sayup-sayup
kudengar sendiri rintihan pilu sayap-sayap patah. Parah! Sayapku patah semua,
semaunya saja sakit tak kuduga, menjalar seluruh raga, menjamah sekujur badan.
Bukan main
sayatan sekujur tubuhku membelah kemesraan yang terbaris akibat sayap-sayapku
patah. Kenapa bisa melemahkan otak? Jalan pikiranku pun menjadi buntu. Dangkal! Tidak berarah! Aku ingin mati
saja rasanya!
“Bagaimana
melepasnya?”
“Ah, Tuhan,
susah sekali aku melepasnya!”
Tangan-kaki
terbelenggu. Melangkah, ah, jangankan itu, merangkak pun perlu seribu tahun
lagi! Mestinya aku riang dalam hariku yang sibuk bertarung dengan kerasnya
perjuangan.
Mestinya,
astaga, ... aku kalap dalam putaran waktu yang menyayat.
“Balada
makin meruncing,” katanya.
“Parafrasekan
saja,” kataku kaku.
Ia menghela
nafas berat nan panjang. Aku menanti jawabannya dengan perasaan yang tidak
menentu, sementara rindu memburuku, untuk memiliki seutuhnya tanpa perlu
dihambati garis keturunan yang memanjang.
“Tidak
semudah itu, ini bukan dunia sastra yang penuh khayalan belaka tanpa makna dan
arti!”
“Adat,
silsilah tak mudah ditentang seperti karya sastra picisan!” lanjutnya.
“Semuanya
bisa dikalahkan cinta! Tidak ada yang mustahil dalam cinta!” kataku tanpa ragu.
“Mustahil
dengkulmu! Cinta itu bukan Tuhan, yang tak bisa dikalahkan!” suaranya meninggi,
wajah mungil cantiknya tertutup.
“Tuhan
menciptakan cinta, mustahil Ia meniadakan ciptaan-Nya!” kataku semangat, derai
air mata tetap saja tak bisa kubendung lagi.
“Ya betul,
ibarat manusia ciptaan-Nya, yang tak akan bianasa, seperti yang tercatat dalam
Kitab Suci. Namun, Tuhan meniadakannya, lewat silsilah,” katanya lagi,
derai-deari air mata membuncah di ujung pelupuknya.
Aku
tertunduk pilu. Memandangnya ngilu dalam kelesuan. Runcing-runcing problema
silsilah kian tajam, mulai merobek urat-urat kaki, tulang-tulang dan sebentar
lagi aku melumpuh.
Itu
belumlah cukup, otakku mulai pecah, pikiranku mulai kalah, sempurnalah sudah
kesakitanku yang kian memarah.
***
Udara
terasa panas. Aku mengendarai sepeda bututku menerjang siang yang beringas. Aku
berhenti sejenak, ponselku bergetar. Sempat
aku mengumpat, sebab aku biasa dapat SMS tak jelas.
+Main ke kos!
Aku
tersenyum. Malu-malu terbawa situasi.
“Dasar!”
gumamku.
Aku
bergegas pergi. Imajinasiku mulai nakal. Ini manusiawi, ketika detak jantung
tidak beraturan. Sempat tidak kuketahui, ah, aku tidak ambil pusing.
Aku
mendatanginya, perempuan yang, astaga, senyumnya tidak bisa disamakan dengan
apa saja. Ini cinta? Aku sendiripun skeptis tentang jawabannya!
Aku terus
menyusuri jalan berdebu Kota Malang. Senyum masih menggumpal di bibirku. Senyum
yang aku tak tahu bagaimana memastikannya.
Degupan
jantung semakin tak karuan. Bayangkan saja, perempuan ini seniorku. Memang jalan
hidup tak bisa ditebak. Ia tidak asing di mataku. Sudah lama waktuku berputar
di dekatnya, sejak SD.
Hatiku
masih buta kala itu. Tepatnya, benih-benih cinta belum ada sampai kami SMA.
Setidaknya kalau Tuhan menghadirkannya ke dunia ini untuk jodohko, harusnya
pertemukan aku dengannya sejak dulu! Ah, hidup memang penuh misteri, otak tak
cukup besar untuk memprediksi.
Dia,
perempuan ini, senyumnya susah diterka. Ia hanya tersipu menyapaku hari ini,
tidak berkata apa-apa, seperti obrolan ringan biasa orang jatuh dalam penjara
cinta.
Malu-malu,
aku terhanyut dalam rekah bibirnya yang, wah! Cinta? Ah, tidak. Jatuh hati pun
tidak! Pada dasarnya, senyumannya menenggelamkan duniaku.
***
Aku
membunuh rinduku! Ya aku membunuhnya. Otakku dipenuhi senyumnya, imajinasiku
hanya senyummnya. Hanya saja, aku menimpali, sebab pikiranku sempit
mendefenisikan yang terjadi.
Aku kikuk
ketika pelukannya merapat. Lagi-lagi, jantungku berdentum tidak normal. Sempat
aku menyalahkan situasi,”Kenapa harus bertemunya sore ini?” desisku.
Mau
bagaimana lagi, bisa jadi ini awal cerita meski sekarang sempat jadi misteri.
Sepanjang
pertemuan organisasi kedaerahan ini, aku habiskan waktu merenung. Sebab pompa
jantungku masih tidak stabil. Lebih parah lagi, aku menatapnya tanpa kusengaja.
Yah, aku
dan dia sama, sama-sama dari luar Jawa. Bertemu dan menyatu dalam organisasi
daerah. Aku makin hilang kendali, sebab pintu pikiranku kalang kabut dibuatnya.
Senyumnya
itu, ah, dasar, itu berhasil membuatku paham. Tepatnya, aku mencoba menerka
yang terjadi!
“Ayo!”
bujuknya. Aku bingung, “Apa ini?” gumamku.
“Foto-foto,”
kata yang lainnya. Entah mengapa, aku yang dulunya suka pasang wajah di depan
kamera, tiba-tiba malu. “Kenapa ini?” tanyaku dalam hat yang bingung.
“Mungkinkah karenanya?” Aku menjadi linglung!
Waktu
beranjak santai, ketika hatiku masih berkutat dengan situasi. Aku mencuri
pandang saat ia asyik bercenkrama dengan temannya. Astaga, aku jadi lupa diri.
Aku duduk
menikmati kopi dalam kamarku yang sumpek. Aku tersenyum sendiri, menatap tas
kecil bermotif NTT yang kuminta saat itu. Sengaja aku menggantungnya di dekat
tempat tidur agar bisa kutatap kapan saja.
“Teng ...
,” ponselku bergetar.
Aku senyum
sendiri. Ia mengirimku emoji love via whatsapp. Tentu aku membalas. Aku
kegirangan sampai-sampai tersipu sendiri.
Aku bingung
sendiri, kangenku membuncah beberapa hari ini. Dia ke Borobudur, kegiatan dari
kampus. Ada yang hilang, saat yang mengisi waktuku hilang dari pandangan.
Ponselku bergetar lagi, ada pesan masuk. Aku makin rindu jadinya.
Kapan ke Borobudur?
Tulisan
tangan di atas sebuah kertas, difotonya untuk dikirim kepadaku.
“Aku
rindu,” gumamku.
Rindu bak
ombak yang menderas, menghantam karang.
Tak sempat
aku berpikir lagi tentang apakah ini cinta atau bukan. Pada intinya, aku
menikmati waktu, menghabiskan waktu untuk chatt
dengannya. Masih belum ada kata cinta.
Ah, itu
tidak penting! Bukankah cinta itu kenyamanan? Hingga sampailah pada hari ini,
ketika kami saling menaikkan foto di status whatssapp.
Ada
kebanggaan tersendiri dengan mengesampingkan ciutan yang berbau iri. Kenapa
juga harus ditanggapi? Toh aku dari hari ke hari semakin terhindar dari sepi.
+ Bagaimana ini? Semua orang mempertanyakan status
kita?
- Ah, biasa saja! Bilang saja kita jadian
+Heeeee boleh-boleh!
***
“Ini ... ,
ah!” ia menghela nafas. Aku bisa tahu, sesaknya kian besar.
“Aku cinta
kamu. Aku, astaga, bagaimana aku menjelaskannya?” kataku.
Ia terpaku,
memandangku yang kaku dengan wajah memelas.
“Sudahi
saja, Alfian!” katanya.
“Bagaimana
dengan cinta kita?” tanyaku.
Ia terdiam,
menatapku tajam dengan bola mata sayu. Aku larut dalam keheningan yang
tiba-tiba, tidak kuduga, begini jadinya.
“Aku sayang
kamu. Aku bahagia denganmu meski baru kemarin kita saling mencurah rindu!”
“Kalau kamu
bahagia, kenapa pula kita harus berhenti?”
“Karena
kita sedarah, Al. Kamu masih belum paham?”
“Aku paham!
Tapi, kau telah mencuri! Kau pencuri!” teriakku.
“Ya aku
pencuri, pencuri hatimu, rindumu dan sayangmu! Bahkan aku tak mau bertobat!
Tapi mau bagaimana lagi?”
Aku
mematung. Silsilah membutakan rindu yang turun bersama hujan.
“Aku cinta
kamu,” kataku.
Ia diam. Ia
memandangku sayu dan berlalu.