***Catatan Nardi Virgo***
Judul opini ini jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti awal mula terasa manis, akhir-akhirnya terasa pahit.
Ini merupakan go'et dari nenek moyang orang Manggarai, salen selat Sape, awon wae Moke (dari ujung Barat Selat Sape sampai batas Timur Manggarai wae Mokel).
Jauh sebelum generasi sekarang lahir, go’et atau pribahasa telah ada untuk kita sebagai bentuk ajaran yang secara turun temurun diajarkan kepada generasinya.
Dalam hal ini bukan saja diajarkan untuk dimengerti, namun untuk dipahami maknanya dalam kehidupan sosial kita yang sebagai insan berbudaya dan berbudi pekerti luhur.
Sebagai orang Manggarai yang memiliki budaya, baik orang tua maupun kawula muda, tentuhnya telah memahami maksud dari go’et ini.
Sepintas saya ingin menjelaskan bahwa go’et ini bukan sekedar kata atau kalimat yang diucapakan untuk mengisi waktu senggang demi melepas kepenatan.
Namun lebih dari itu adalah mau memberikan sebuah nilai kultur agar kita memikirkan dengan baik dan matang sebelum melakukan suatu kegiatan.
Maraknya informasi terkait rencana pembangunan pabrik semen oleh PT. Singa Merah (SM) dan PT. Istindo Manggarai, menuai banyak pro (tiba) dan kontra (toe tiba) di kalangan masyarakat. Baik itu akademisi, mahasiswa, politikus, maupun masyarakat kecil di akar rumput.
Ini sebagai sinyalemen bahwa kita telah membuka ruang gerak pikiran untuk secara bersama-sama memikirkan masa depan masyarakat kampung Luwuk, Lamba Leda kearah yang lebih baik.
Di sini entah kelompok pro yang mengantarkan jawaban indah untuk masyarakat Luwuk di kemudian hari atau kelompok kontra yang memberikan jawaban indah kepada masyarakat Luwuk ke depan, akan kita lihat dan buktikan seperti apa usaha dalam mendukung dan menolak hadirnya pabrik semen ini.
Tetapi sebagai insan yang memiliki budaya yang telah dibekali dengan wejangan dan go'et mbate dise ame, redong dise empo perluh kita membuka mata kita untuk melihat perkembangan dan kemajuan dalam wilayah ini agar dikemudian hari segala perjuangan yang kini tengah menuai pro dan kontrak dapat terjawab.
Tentu dalam hal ini sebagai garda terdepan dalam memperjuangan aspirasi rakyat kepada pihak investor yaitu pemerintah kabupaten Manggarai Timur yang telah membuka ruang bagi investor untuk bisa memanfaatkan potensi yang ada di Luwuk, Lamba Leda.
Pemerintah akan terus berusaha untuk menyukseskan pembangunan pabrik semen, namun pemerintah juga harus berusaha bersama rakyat dalam memperjuangan hak mereka bila hal ini terwujud kepada pihak perusahaan.
Ceing Lalong Tanah yang diharapakan oleh masyarakat Manggarai Timur, yang dalam hal ini adalah masyarakat Luwuk untuk bersama-sama dengan mereka memperjuangkan keberhasilan pembangunan pabrik.
Jangan sampai ‘laring cain neho wae wani, kali musi main raci pa’it’. Ini yang perluh kita perhatikan bersama agar pihak perusahaan dan pemerintah daerah maupun pemerintah provinsi tidak hanya main janji manis.
Namun membuktikan adalah hal yang mutlak bagi masyarakat sehingga mereka bisa mendapatkan tempat hidup yang layak, air minum bersih dan ladang untuk bisa bekerja.
Dalam hal merelokasikan warga dari beo bate kaeng (kampung sebagai tempat tinggal), natas bate labar (halaman kampung sebagai tempat bermain), wae bate teku (mata air sebagai sumber air minum), uma bate duat (kebun tempat bekerja) dan compang bate dari (tempat memberikan sesajian) adalah bentuk pemudaran falsafah hidup masyarakat Manggarai.
Sebagai masyarakat Manggarai kita merasa takut dengan fenomena pudarnya budaya lokal yang terjadi belakangan ini
Bahkan hampir sebagian besar kaum mudah Manggarai belum memahami budayanya sendiri. Ini mau meluruskan bahwa pemerintah daerah selaku pengambil kebijakan, sesungguhnya harus lebih objektif dan mengkaji lebih jauh atas pengaruh alam dari rencana relokasi warga masyarakat Luwuk.
Menurut hemat saya bahwa pemerintah Manggarai Timur jauh lebih bijak dan berbudaya kalau tidak ingin merelokasikan warganya ke tempat lain. Soal pemindahan adalah hal yang biasa saja.
Namun bagaimanakah dengan lima falsafah budaya kita yaitu beo bate kaeng, natas bate labar, wae bate teku, uma bate bate duat dan compang bate dari.
Apakah semuda itu kita dipengaruhi oleh kemajuan? Apakah semuda itu kita beralih langkah ke tempat lain? Tentuhnya tidak, ini adalah pukulan berat bagi masyarakat.
Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 18B ayat (2) menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.
Kalau mengacuh pada UU di atas jelas bahwa masyarakat Luwuk seharusnya berada di bawah perlindungan dalam menjaga dan tetap melestarikan adat dan budaya di kampung Luwuk, tanpa harus dipudari keindahannya dengan merelokasikan ke tempat yang baru.
Merelokasikan warga yang memiliki hak ulayat atas tanah mereka yang dikeranakan adanya masalah alam seperti longsor adalah suatu hal yang biasa, karena itu merupakan faktor alam sendiri.
Tetapi jika masyarakat yang memiliki hak ulayat di atas tanah tersebut dipindahkan untuk kepentingan pembangunan pabrik semen, maka ini perluh dikaji kembali oleh yang berwewenang.
Mengingat masyarakat memiliki hak untuk hidup dan tinggal di atas wilayah tanah ulayat mereka.
Dalam pemberitaan media tagar.id edisi Selasa, 3 November 2019 yang lalu, Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas, menjelaskan tentang 7 agenda pembangunan di Manggarai Timur.
Ketujuh agenda itu bertujuan untuk mempercepat pembangunan pedesaan. Ketujuh agenda itu adalah, Pertama, meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemerataan dan peningkatan pendidikan. Kedua, pelatihan pemerintahan dan kualitas pendidikan.
Ketiga, peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Keempat, mengembangkan ekonomi unggulan berbasis komunitas, industri kecil, koperasi dan usaha menengah masyarakat.
Kelima, meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur daerah berbasis lingkungan hidup. Keenam, mewujudkan desa berbasis budaya lokal dan desa mandiri.
Ketujuh, menciptakan pemerintaha yang bersih, transparan dan inovatif agar terbangunnya pemerintah yang aktif, efisien, dan terpercaya melayani masyarakat.
Dari ketujuh program bapak bupati Andreas Agas, pada point keenam telah diterangkan untuk mewujudkan desa berbasis budaya lokal dan desa mandiri.
Ini berarti bahwa bupati Manggarai Timur tidak konisten dengan penyusunan program dalam jabatannya.
Apa yang menjadi point utama dalam mewujudkan desa berbasis budaya lokal oleh bupati Manggarai Timur, kalau hal ini tidak dilakukan dan dikembangkan dalam tatanan kehidupan budaya lokal.
Informasi telah menyebar di berbagai media, bak jamur tumbuh di musim hujan. Bahkan di tengah pandemik Covid-19 ini masyarakat terus bersuara atas rasa kekecewaan terhadap pemerintah daerah terkait isu untuk membangun pabrik semen.
Saya melihatnya, penolakan masyarakat terhadap rencana pembangunan pabrik semen di Luwuk, bukan karena kehadiran dari pabrik itu sendiri.
Namun lebih konsentrasi pada keleluasaan dalam perubahan tatanan kehidupan budaya masyarakat Luwuk yang telah bertahun-tahun lamanya menjaga, merawat, hidup rukun dan damai di wilayah kampung itu.
Ini yang menjadi indikator munculnya reaksi ketidaksetujuan masyarakat terhadap pabrik semen. Kalau rencana pembangunan pabrik semen berlokasi di tempat yang tidak dihuni oleh masyarakat, saya yakin masyarakat akan dengan senang hati akan menerimanya.
Akan tetapi karena harus berpindah tempat tinggal dan mencari tempat yang baru bagi mereka, maka di sini menimbulkan rasa beban bagi mereka untuk meninggalkan natas bate labar beo bate kaeng.
Tentuhnya, secara konsekuensi budaya terhadap rencana relokasi ini telah dipikirkan oleh masyarakat setempat akan apa yang terjadi di kemudian hari. Ini dianggap hal yang mistis namun akan menjadi suatu kenyataan.
Harapan besar kepada pemerintah daerah Manggarai Timur, agar bisa memahami konteks penolakan ini oleh warga masyarakat Luwuk yang masih merasa keberatan dengan hadirnya pabrik semen ini.
Mengutip sebuah lirik lagu ciptaan kraeng Ferdi DL “ Eme rani hau nana rani, neka teing tange berit, rantang jajah lata tai go ema mori jangka wero nai ge.
Ini adalah harapan besar masyarakat Luwuk dan masyarakat Manggarai Timur pada umumnya, agar bersama-sama kita bergandengan tangan dalam menjaga dan melestarikan warisan leluhur.
Apa gunanya arti sebuah program mewujudkan desa berbasis budaya lokal, kalau tidak diwujudnyatakan.
Apakah ini sebagai wujud membangun desa berbasis lokal bukan? Ini adalah bentuk pengrusakan tatanan hidup masyarakat lokal dalam membangun dan melestarikan budayanya.
Pemerintah daerah seharusnya tetap mendorong masyarakatnya untuk tetap menjaga wilayah kampungnya agar segala aspek kehidupan sosial budayanya dapat berjalalan tanpa adanya penekanan dari pihak manapun.
Semoga pemerintah daerah kabupaten Manggarai Timur, bisa mendengar keluh-kesa, dan aksi penolakan terhadap pabrik di Luwuk, Lamba Leda.
Penulis merupakan putra Manggarai Timur Saat ini guru Yayasan Bina Bangsa PT. Wilmar Group Sampit, Kalimantan Tengah.
**Isi tulisan menjadi tanggung jawab penuh penulis**
Baca Juga:
Virus Corona, Penyakit Bambo yang menyerang manusia
Neka Temo, Manggarai Raya sudah dikepung Corona
Nasib Perantau NTT, Dijuluki Tulang Punggung Namun ditolak di tanah kelahiran
Fight Kelompok pro dan kontra pabrik semen Luwuk di masa covid