- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Kolo, Nukut dan Ghoset Makanan Khas Milik Sang Empo dari Manggarai Timur

    Penulis: Antonius Rahu | Editor:Tim Redaksi
    10 Juli, 2020, 22:48 WIB Last Updated 2020-07-10T16:00:56Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1

    Catatan Antonius Rahu

    Secara umum Kolo dapat didefenisikan sebagai nasi yang dimasak dengan cara memasukan beras serta air ke dalam bambu muda kemudian dibakar hingga matang.

    [Congkasae.com/Sosial Budaya] Secara umum Manggarai Timur memiliki beragam makanan khas yang unik sebut saja, nasi kaget, Rodok, serta kolo.

    Kalian pernah mendengar kata Kolo bukan? Nah kali ini Congkasae.com akan mengupas secara mendalam terkait makanan yang satu ini.

    Kolo sendiri merupakan makanan yang berbahan dasar beras, namun dimasak dengan teknik yang tidak biasa dan tergolong unik.

    Secara umum Kolo dapat didefenisikan sebagai nasi yang dimasak dengan cara memasukan beras serta air ke dalam bambu muda kemudian dibakar hingga matang.

    Teknik memasak nasi seperti ini dapat diklaim sebagai peninggalan nenek moyang orang Manggarai yang mendiami wilayah Manggarai Timur sejak zaman dahulu.

    Lantas bagaimana hal itu bisa terjadi? berikut akan diulas secara mendalam.

    Sakralitas Kolo sebagai Makanan Sang Empo

    Bicara tentang kolo, di beberapa wilayah di Manggarai Timur akan erat kaitannya dengan sejumlah ritual adat yang penuh dengan nilai kesakralannya.

    Di wilayah Manus misalnya Kolo ini memiliki nilai sakralitas yang sangat tinggi, orang yang mendiami wilayah kedaluan Manus ini bahkan tidak sembarangan dalam mengadakan kegiatan tapa kolo (tapa berarti membakar, kolo telah didefenisikan di bagian awal).

    Sebegitu sakralnya Kolo ini di wilayah kedaluan Manus sehingga masyarakat yang saat ini masuk dalam wilayah Kota Komba dan sebagian Elar Selatan itu menganggap jika Kolo ini sebagai makanan sang empo (Empo berarti nenek moyang).

    Karenanya masyarakat tidak diperbolehkan mengadakan kegiatan tapa kolo tanpa didahului oleh ritual adat.

    Jika masyarakat melanggar, maka ada sejumlah sanksi yang menanti mulai dari sanksi adat seperti penyakit aneh pada pelanggar hingga sanksi sosial berupa denda dari sang tu'a teno (pemilik hak atas ulayat).

    Orang Manggarai Timur percaya bahwa ketika mengadakan ritual tapa kolo maka ada nenek moyang (empo) yang hadir menyantap makanan itu, karenanya tidak boleh dilaksanakan secara sembarangan.

    Kolo, Nukut dan Ghoset

    Sebenarnya terdapat tiga jenis makanan yang serupa dengan kolo yakni Nukut, ghoset dan kolo itu sendiri, namun kolo rupanya lebih terkenal bila dibandingkan dua saudara kembarnya Nukut dan Ghoset.

    Nukut itu merujuk pada makanan yang dimasak dengan cara memasukan beras dan air secukupnya kedalam bambu berukuran besar (bambu betong) yang masih muda, lalu dibakar hingga matang.

    Sementara pada kolo bambu yang digunakan berukuran sedang seperti bambu pering, dan gurung. 

    Meski teknik memasaknya sama-sama dibakar dengan api, namun ada perbedaan aroma yang dihasilkan dari dua jenis makanan itu.

    Pada kolo aroma bambunya lebih menyengat, kamudian tekstur nasi yang dihasilkan lebih keras terkadang menyisahkan kerak nasi (rateng).

    Sedangkan pada Nukut biasanya menghasilkan tekstur nasi yang lebih lembek dengan aroma bambu yang relatif lebih turun aroma bambunya.

    Hal itu lebih kepada tingkat ketebalan bambu yang digunakan serta durasi pembakaran yang relatif lebih pendek.

    Nah Ghoset itu sendiri merupakan teknik memasak sayur sebagai teman kolo jika disajikan bagi tetua adat termasuk sang empo.

    Secara umum ghoset itu berbahan dasar daging dan sayuran, bisa ikan, tuna, udang dan hewan liar seperti babi hutan dan babi landak yang dimasukan kedalam bambu berukuran sedang diisi air secukupnya dengan garam secukupnya lalu dibakar sama seperti kolo dan nukut.

    Biasanya teknik penyajiannya ditemani dengan kolo atau nukut lalu ditambah dengan tuak putih berbahan dasar getah aren, atau getah aren yang disuling yang disebut tuak moke.

    Jika hendak diberikan kepada sang empo (takung) maka kolo, ghoset dan tuak ditempatkan di salah satu tempat keramat biasanya ditentukan oleh tu'a adat.

    Proses pemberian sesajen kepada empo ini dilakukan sebelum dikonsumsi oleh warga, hal ini diyakini sebagai bentuk penghormatan kepada empo sabagai sang pendahulu.

    Daftar Ritual Adat yang Boleh Mengadakan Tapa Kolo
    Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, ritual tapa kolo ini sarat akan ritual adat di Manggarai Timur, maka dari itu berikut adalah beberapa daftar ritual adat yang boleh menyertakan tapa kolo.

    Ritual Barong Wae

    Ritual barong wae sendiri merupakan salah satu ritual penting dalam memasuki masa tanam di Manggarai Timur.

    Ritual ini juga sebagai titik awal dari ritual hang woja di tanah Manus Manggarai Timur. Awal ritual ini dilakukan dengan cara membersihkan mata air sebagai sumber air minum bagi warga kampung.

    Dilanjutkan dengan torok kepada sang empo dan dilanjutkan dengan tapa kolo dan ghoset di sumber mata air minum.

    Ritual Weri dan Ako Woja Wole
    Ritual ini juga salah satu ritual yang boleh menyertakan tapa kolo, Weri Woja sendiri diartikan sebagai menanam padi di ladang.

    Sementara ako woja diartikan sebagai mengetam padi di ladang, kedua kegiatan ini boleh menyertakan tapa kolo atau nukut dan ghoset.

    Namun belakangan ini masyarakat kerap menggantikannya dengan ayam dan telur saja sebagai pengganti kolo yang dinilai lebih memboroskan anggaran dan tidak ekonomis.

    Ritual Tepal
    Ritual tepal sendiri sebenarnya sebagai bagian dari lanjutan dari ritual barong wae yang dibahas di sesi sebelumnya.

    Namun ritual tepal ini dilakukan di compang (mesbah) dengan disertakan darah ayam kurban pada bibit alias ni'i yang hendak ditanam.

    Ritual ini wajib menyertakan tapa kolo yang dilakukan di halaman kampung alias natas.

    Ritual saka wela Poong
    Secara umum ritual ini dilakukan ketika poong alias tanaman holtikultura milik warga memasuki musim berbunga.

    Misalnya Kopi yang memasuki masa berbunga sebagai embrio awal biji kopi, perlu dijaga adar tidak sampai gugur begitu saja.

    Dalam ritual ini biasanya berisi permohonan kepada Jari agu Dedek (Tuhan) disamping watu agu tanah (batu dan tanah) sebagai ende alias ibunda yang menafkahi poong, agar dijauhkan dari hama dan bunganya tidak sampai berguguran hingga musim panen tiba.

    Ritual ini boleh menyertakan tapa kolo sebagai pembirian makanan pada sang empo disamping jari agu dedek.

    Penulis merupakan pemerhati budaya Manggarai

    Baca Juga:







    Komentar

    Tampilkan

    ads