[Congkasae.com/Sosbud] Neka Oke Kuni Agu Kalo, merupakan sebuah ungkapan yang mungkin saja sering kalian dengar, dari mulut orang Manggarai.
Ungkapan ini menggambarkan sebuah situasi atau kondisi di mana identitas asal merupakan hal yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Ungkapan Kuni Agu Kalo merujuk pada tanah kelahiran, kampung halaman, namun sejauh mana kalian memahami arti dari filosofi hidup orang Manggarai ini?
Dalam artikel berikut ini akan diulas tentang asal-usul penggunaan kata Kuni Agu Kalo, termasuk defenisi yang terkandung dibalik pkedua kata yang popular itu.
Kuni dan Kelahiran Orang Manggarai
Bicara soal Kuni, rasa-rasanya erat sekali kaitannya dengan peristiwa kelahiran alias natalitas dalam siklus hidup manusia termasuk orang Manggarai.
Dalam siklus hidup orang Manggarai Kelahiran merupakan awal dari sebuah kehidupan manusia, karena itu peristiwa kelahiran merupakan sebuah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh setiap orang ibarat menatikan kedatangan tamu kehormatan.
Bagi orang Manggarai, masa mengandung merupakan masa penantian akan kedatangan seorang manusia ke dunia, penantian ini ibarat menunggu kedatangan tamu kehormatan karenanya sang jabang bayi yang dinanti-nantikan itu sering disebut meka weru.
Secara etimologis meka diartikan sebagai tamu sementara weru diartikan sebagai baru, meka weru diartikan sebagai tamu kehormatan, atau tamu yang baru pertama kali bertandang ke rumah.
Lalu pertanyaannya bagaimana hubungan antara jabang bayi yang disebut meka weru dengan kata Kuni yang disematkan dalam judul artikel ini?
Untuk menjawab pertanyaan itu maka kita harus berangkat dari proses kelahiran manusia, ketika jabang bayi itu dilahirkan selalu memiliki tali pusar.
Tali pusar ini biasanya akan dipotong, jika anda memilih melahirkan di rumah sakit, klinik ataupun puskesmas mungkin tali pusar ini akan digunting oleh perawat dengan menggunakan gunting bedah.
Namun sebelum teknologi canggih itu ada, saya akan mengajak anda kembali ke masa lampau, masa di mana tidak ada gunting beda, atau pisau cukur yang tajam.
Orang Manggarai zaman dulu untuk memotong ari-ari alias tali puar jabang bayi dilakukan dengan menggunakan sebilah bulu (sejenis bambu) yang diiris setajam mungkin.
Jika tali pusar jabang bayi sudah putus, maka sisa ari-arinya itu akan ditaruh dalam tempurung kelapa menggunakan sebatang bulu, lalu ditempatkan di pintu masuk kampung (paang beo).
Nah ari-ari sang jabang bayi inilah yang juga disebut kuni, air-ari alias kuni ini memiliki makna tersendiri dalam ungkapan Neka Hemong Kuni Agu Kalo.
Kuni yang sudah tidak berguna lagi ketika bayi itu tumbuh dewasa tidak boleh dilupakan begitu saja, mengingat kuni itu memegang peranan penting selama sang jabang bayi berada dalam kandungan ibunda.
Peran kuni menjadi pengantar makanan selama janin masih bertumbuh, dalam rahim. Karena itu meski keberadaannya sudah tak penting lagi pasca kelahiran namun kuni tidak serta merta dilupakan begitu saja.
Kuni telah berjasa dalam memberi kehidupan jabang bayi dalam kandungan, karenanya pemilihan kata kuni untuk menggambarkan tingkah laku orang yang lupa asal-muasalnya sangatlah tepat.
Kalo, Teno, Nao sebagai Lambang Kehidupan
Lalu bagaimana hubungannya dengan Kalo? Pemilihan Kalo atau pohon dadap dalam ungkapan Neka Hemong Kuni Agu Kalo dilakukan dengan maksud dan alasan-alasan tertentu.
Kalo dalam konteks ini dipilih untuk mewakili kehidupan manusia itu secara keseluruhan, bagi beberapa suku di Manggarai pohon dadap atau Kalo diyakini sebagai obat yang bisa menyelamatkan.
Jika sang Bayi tiba-tiba panas tinggi, daun Kalo atau dadap bisa dijadikan obat untuk menurunkan panas sang Bayi.
Selain kalo, salah satu tanaman yang sering dipakai selama bayi masih dalam lingkup cumpe adalah tanaman teno.
Biasanya teno dipakai sebagai kayu bakar selama bayi dan ibunya masih dalam cumpe, dalam konteks ini cumpe merupakan sebuah tempat biasanya kamar (lo'ang) yang dijadikan tempat jabang bayi dan ibunya tidur pasca melahirkan.
Orang Manggarai meyakini bahwa jabang bayi alias meka weru tidak boleh keluar dari kamar (cumpe) sebelum dilaksanakan ritual berupa cear cumpe.
Selama bayi dan ibunya berada dalam cumpe itu tugas suami adalah melayani permintaan isteri, termasuk membuat api sengan menggunakan tanaman teno sebagai simbol.
Teno, dan Kalo merupakan merupakan representasi dari kehidupan, karena itu sangatlah cocok jika menggunakan Kalo sebagai ungkapan yang ditujukan untuk mengajak orang agar tidak mudah melupakan kampung asal, yang menjadi identitas orang Manggarai itu sendiri.
Penulis merupakan pemerhati budaya Manggarai