Oleh
Alvitus Minggu
Sebagaimana kita ketahui, Masyarakat
Indonesia baru saja selesai mengikuti pelaksanaan hajatan demokrasi melalui
pemilihan kepala daerah serentak, yaitu pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota.
Pemilihan tersebut tepatnya
dilasanakan pada tanggal 9 Desember 2020
yang lalu. Total daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah. Dengan
rincian, 9 provinsi dan 224 kabupaten dan 37 kota.
Sembilan diantaranya, pemilihan bupati/walikota
dan wakil bupati/walikota, Nusa Tenggara Timur (NTT), yaitu Timor Tengah Utara (TTU), Belu, Ngada,
Manggarai, Sumba Timur, Sumba Barat, Manggarai Barat, Sabu Raijua dan Malaka.
Dalam kajian ini, penulis berfokus pada Pilkada
Manggarai yang mengikutsertakan dua pasangan calon yaitu pasangan calon nomor
urut 1 Dr Deno Kamelus, SH,MH – Drs.Victor Madur dan pasangan calon nomor urut 2 Herybertus Geradus Laju Nabit, SE, MA –
Heribertus Ngabut.
Berdasarkan Hitung Suara Pemilihan
Bupati/Walikota Dan Wakil Bupati/Walikota yang dilansir KPU versi 18 Desember
2020, pilkada Manggarai dimenangkan
paslon nomor urut 2 Herybertus Geradus Laju Nabit, SE, MA – Heribertus Ngabut
SH dengan, persentase suara : 60,7%.
Total suara : 103.570. Sedangkan paslon nomor urut 1 Dr Deno Kamelus,
SH,MH – Drs Victor Madur dengan persentase suara : 39,3%. Total suara : 67.139 (https://pilkada2020.kpu.go.id/#/pkwkk/tungsura/53).
Pasangan ini merupakan calon yang masih menjabat bupati dan
wakil bupati serta mantan wakil Bupati selama 2 periode di era pemerintahan Christian
Rotok.
Pasangan tersebut merupakan pasangan ideal
yang cukup menyenangkan bagi masyarakat
Manggarai.
Hal ini menunjukan selama kepemimpinan Christian
Rotok- Kamelus Deno kondisi sosial masyarakat Manggarai relatif kondusif dan jauh
dari ketegangan sosial serta luput dari berita miring yang menjurus menyudutkan
kepemimpinan Kristian Rotok – Kamelus Deno.
Hal itu, patut kita apresiasi dan jujur kita
mengatakan bahwa perubahan demi perubahan sosial yang terjadi di Manggarai pada
dasarnya tidak terlepas dari kontribusi besar dari kepemimpinan Christian Rotok
- Kamelus Deno.
Kita juga tidak mungkin menutup mata,
terkait kemajuan pembangunan infrastruktur yang tengah berkembang pesat di
Manggarai merupakan hasil kerja sama yang baik antara Christian Rotok dan
Kamelus Deno yang sama-sama mantan bupati Manggarai.
Kebersamaan politik yang dibangun Christian
Rotok dan Kamelus deno selama 2 periode
menjadi bupati dan wakil bupati telah memberi dampak positif bagi perkembangan
pembangunan di Manggarai.
Situasi demikian menjadi kredit poin dan menjadi
modal sosial bagi kepentingan politik Kamelus Deno sehingga menjadi terangsang
untuk maju sebagai calon bupati periode 2015 dan akhirnya berhasil terpilih
menjadi bupati periode 2015-2020.
Terpilihnya Kamelus Deno menjadi Bupati
Manggarai, selain ia seorang akademisi juga memiliki kepribadian yang baik dan berintelek.
Selain itu, ada faktor kedekatan dengan mantan bupati Christian Rotok yang juga
ikut ambil bagian berkontribusi baik langsung maupun tidak langsung memenangkan
Kamelus Deno dalam pertarungan pilkada periode 2015.
Berkaca dari hal tersebut, Christian Rotok
dan Kamelus Deno bisa dibilang sebagai simbol perubahan di Manggarai. Akhirnya membuat
kedua tokoh itu selalu dikenang oleh masyarakat Manggarai bahkan selalu
merindukan model kepemimpinan seperti Christian Rotok dan Kamelus Deno yang
sukses dalam mengelola tata kelola pemerintahan daerah selama 2 periode,
ditambah dengan 1 periode masa
kepemimpinan Kamelus Deno.
Petahana Menguasai Struktur Politik
Daerah
Namun, yang menjadi pertanyaan publik
adalah mengapa Kamelus Deno kalah telak dalam pertarungan pilkada periode 2020?
Padahal kalau kita merujuk data pilkada
pada tahun 2005 incumbent lebih
unggul dalam konteks pilkada dengan memanfaatkan akses sebagai incumbent, sehingga mereka dapat
terpilih kembali. 538 calon kepala dan calon wakil kepala daerah dalam pilkada
serentak 2015, 278 orang merupakan mantan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil
bupati dan walikota/wakil walikota.
Selanjutnya kepala daerah petahana ini
memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan calon lainya.
Seperti kemudahan dalam memobilisasi
Aparatur Sipil Negara (ASN), bisa menggunakan fasilitas negara untuk
berkampanye dan menggunakan BANSOS dengan memberikan santunan atas nama daerah.
Petahana memiliki kemampuan yang dicirikan
pada kekuatan modal sehingga tidak heran ada sejumlah pasangan petahana tampak
mendapatkan perolehan suara terbanyak bahkan di sejumlah daerah mereka menang
telak.
Seperti pasangan calon walikota dan wakil
wali kota Surabaya Tri Rismahaharini-Wisnu Sakti Surya dan di Banyuwangi,
pasangan mantan bupati Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko yang memperoleh
suara 88,78%.
Demikian pun pada daerah-daerah lain,
petahana unggul dalam pilkada serentak yaitu di Kabupaten Gersik, Kediri,
Indramayu, Kutai Kertanegara dan Kabupaten Karawang (Minggu,2020 : 99)
Selain itu, data yang pernah dirilis oleh
Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkapkan, sebanyak 70 persen pemenang
pilkada serentak 2015 kembali diraih oleh pasangan calon petahana, berasarkan
hasil hitung cepat terhadap 21 daerah pada hari pencoblosan 9 Desember 2015.
Petahana yang menang pilkada hampir rata,
baik di tingkat pemilihan gubernur, bupati dan walikota.
Sementara sisanya dimenangkan calon dari
kalangan artis maupun politsi. Kemenangan petahana selama memimpin sering
dipersepsikan berhasil puas dan sudah populer.
Sisi lain, calon petahana dianggap
menguasai dan mampu menjangkau semua segmen pemilih di masyarakat, mampu
menggerakan tokoh informal maupun formal termasuk birokrasi serta siap secara
kekuatan finansial (Minggu, 2020 : 100)
Kemenangan petahana dalam setiap mengikuti
pertarungan pemilihan kepala daerah sesungguhnya ditopang oleh kekuatan,
berwujud menguasai struktur politik daerah mulai dari Aparatur Sipil Negara (ASN),
pengusaha, partai politik, LSM, PERS, Tokoh Masyarakat, tokoh adat, pemuka
Agama, kelompok intelektual dan pegiat-pegiat sosial lain.
Di era pilkada langsung, petahana selalu
menjadi calon favorit kelompok-kelompok elit politik di daerah, karena memiliki
sumber modal yang memadai sehingga sangat memungkinkan memenangkan pertarungan
pilkada.
Tumpuan utama kemenangan petahana adalah
terletak pada dukungan kekuatan oligark dan oligarki.
Hal tersebut sering didefinisikan
merupakan kekuatan yang berbasis finansial yang cukup memadai serta sebagai
bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik berada di tangan minoritas elit.
Dua komponen inilah merupakan kekuatan
dasar bagi calon petahana (Minggu, 2020 : 105). Bagi Robert Michels siapa saja
yang berbicara oligarki, ia berbicara organisasi.
Sebaliknya, siapa saja yang berbicara
organisasi, ia berbicara oligarki, karena konsep ini pada umumnya ada di setiap
level organisasi.
Bagi Michels, kondisi ini menyebabkan
oligarki menggantikan demokrasi sebagai sifat dasar organisasi (Minggu, 2020 :
97). Keunggulan lain, petahana model kampanyenya lebih mengarah pada realisme. Sedangkan
non petahana lebih mengarah pada idealisme.
Mengapa
Deno Kalah Telak di Pilkada 2020?
Situasi demikian, terbantahkan oleh
situasi pilkada Manggarai. Pasalnya pasangan calon petahana nomor urut 1 Dr
Deno Kamelus, SH,MH – Drs.Victor Madur berhasil dikalahkan oleh pasangan calon
nomo urut 2 Herybertus Geradus Laju Nabit, SE, MA – Heribertus Ngabut dalam pilkada Manggarai pada tanggal 9
Desember lalu.
Kekalahan Deno-Madur sebagai akumulasi
berbagai persoalan. Pertama, kelompok oposisi selalu memainkan peran membangun
narasi-narasi secara terstruktur dan masif melalui media sosial yang menjurus
mendiskreditkan tentang kepemimpinan Deno-Madur pada periode 2015.
Anggapan tersebut, Seolah-olah gagal
mengelola tata kelola pemerintahan daerah. Kedua, timbul rasa kekecewaan
pribadi oleh pihak-pihak tertentu
terhadap Kamelus Deno akibat tidak terpenuhi janji-janji politik pada pilkada
periode sebelumnya.
Ketiga, timbul rasa kejenuhan masyarakat Manggarai
terhadap Kamelus Deno sebagai akibat terlalu lama berkuasa.
Bayangkan mantan wakil bupati selama 2
periode di era Christian Rotok, kemudian 1 periode menjabat sebagai bupati
sehingga praktis Kamelus Deno 15 tahun pernah berkuasa di Manggarai. Keempat, Masyarakat
Manggarai mempunyai kecenderungan kerinduan memunculkan tokoh baru sebagai
calon alternatif dengan harapan bisa menghadirkan perubahan baru yang jauh
lebih baik dari kepemimpinan Deno-Madur.
Kelima, ia telah lalai dalam memelihara
basisis-basisis politik yang selama ini menjadi kantong-kantong suara dan
berkontribusi memenangkan Deno-Madur sebagai bupati dan wakil bupati pada
periode pertama.
Keenam, posisi mantan bupati Christian
Rotok lebih memilih oposisi dengan Kamelus deno kemudian bergabung dengan
gerbong Heri-heri.
Apa lagi keduanya sempat terlibat dalam
perseteruan yang saling menyindir serta saling menyerang satu sama lain pada
saat melakukan kampanye.
Perseteruan tersebut, membuat mengundang
perhatian banyak orang, bahkan hal itu menjadi komuditas politik bagi kelompok
oposisi sebagai senjata untuk menyerang pasangan calon Deno-Madur.
Terutama datang dari kelompok-kelompok
yang masih loyal dengan mantan bupati Kristian Rotok. Anggapan tersebut, menjadi
opini publik yang semakin terbentuk dan liar
sehingga cukup sulit untuk mengantisipasi oleh pasangan calon
Deno-Madur.
Akibatnya membuat Kamelus Deno menelan pahit akibat
kalah dalam pertarungan pilkada Manggarai dan Herybertus Nabit terpilih sebagai
bupati.
Kekalahan pasangan calon Deno-Madur dalam
pilkada Manggarai tidak semata-mata karena timbul kelemahan dalam dirinya akan
tetapi pengalaman itu menunjukan bahwa masyarakat Manggarai sudah semakin sadar
dalam hidup berdemokrasi serta masyarakat semakin kalkulatif dan otonom dalam
menentukan pilihan politik.
Tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Beda
pilihan politik merupakan sah secara konsep demokrasi. Demikian halnya pilkada
Manggarai, mayoritas pemilih pilihan politiknya lebih condong memilih pasanngan
calon nomor urut 2 Heri-heri merupakan pilihan rasional (rational choice).
Harapan kedepan, pemimpin politik yang
terpilih di Manggarai mampu menghadirkan perubahan baru di tengah masyarakat
Manggarai serta keluar dari pakem ketertinggalan dalam berbagai lini kehidupan,
yaitu faktor ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya.
Merangkul yang kalah dan memberi apresiasi
yang menang. Sebab pemimpin politik bukan milik pribadi/kelompok melainkan
milik semua orang dengan tujuan menghindari anasir-anasir yang cenderung
kontradiksi dengan substansi demokrasi.
Tetap mengutamakan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi/golongan. Mengedepankan konsep pemimpin yang memiliki
nilai rasa tanggung jawab dan transparansi
dalam mengelola tata kelola pemerintahan daerah.
Alvitus Minggu, S.I.P, M.Si
Dosen Fisip program studi Hubungan
Internasional Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta