Oleh Alvitus Minggu
Politik uang dan demokrasi merupakan satu
rangkian yang saling berpautan. Dengan fokus kajian pesta demokrasi, berwujud
pilkada baik itu pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Dalam kaitan itu, masyarakat Indonesia di
depan mata sebentar lagi akan melaksanakan pemilukada. Dilakukan secara
serentak dibeberapa wilayah, tepatnya
pada tanggal 9 Desember tahun 2020.
Pemilukada merupakan ranah sosial praktek riil perluasan
pemahaman Demokrasi prosedural menuju demokrasi substansial dalam rangka untuk
memilih pemimpin politik di tingkat lokal sebagai tujuan akhir dari sebuah
proses politik.
Secara teori politik, pemilu merupakan
sebuah pemahaman prosedural demokrasi yaitu seleksi para pemimpin pemerintahan
melalui pemilu yang kompetitif oleh rakyat yang diperintah.
Huntington menggambarkan bahwa Prosedur
utama demokrasi ialah para pembuat keputusan puncak dalam pemerintahan
diseleksi secara bebas bersaing untuk mendapatkan suara dan yang mana hampir
seluruh warga negara yang telah mencapai usia dewasa menggunakan hak pilihnya (Budiardjo,
1996:30).
Demikian juga hal yang disampaikan Robert
Dahl, Demokrasi melibatkan dua dimensi, yaitu perlombaan (contestation) dan partisipasi (participation).
Prosedur demokrasi seperti ini
mengasumsikan adanya kebebasan-kebebasan berbicara, menyebarluaskan pendapat,
berkumpul, dan berserikat sehingga perdebatan politik dan kampanye pemilihan
umum dalam hal ini pemilukada dapat diselenggarakan (Budiardjo, 1996:30.
Kita yakin, bahwa memilih pemimpin
pemerintahan tingkat lokal merupakan sebagai esensi demokrasi sehingga
pertanyaan mengapa demokrasi sebagai topik utama dalam kajian ini karena dalam
berbagai literasi mengakui bahwa demokrasi memang dalam dirinya sendiri
merupakan hal yang baik.
Serta demokrasi mempunyai konsekuensi
positif bagi kebebasan individu, kelompok, organisasi yang dapat menjamin
kestabilan politik domestik maupun untuk
kepentingan perdamaian dunia.
Pemilukada tidak hanya sekedar sebagai
prosedur utama demokrasi untuk memilih pemimpin pemerintahan, akan tetapi dapat
diharapkan demokrasi sebagai basis pendekatan ilmiah, yang dapat diberdayakan
sebagai solusi bangsa.
Agar sistem tata kelola kenegaraan dapat
berjalan sebagaimana mestinya sehingga demokrasi akan menjadi sesuatu yang bermanfaat
bagi kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Kita memang menyadari bahwa pemilukada
sebagai proseur utama demokrasi sebagaimana hal yang digambarkan kedua ilmuwan,
yaitu Huntington dan Robert Dahl namun dibalik itu demokrasi selalu berperan
ganda.
Di satu sisi sebagai prosedur utama tapi
pada sisi lain demokrasi selalu memainkan peran yang bergerak di wilayah
abu-abu.
Artinya demokrasi selalu menampilkan wajah
yang seolah-olah tidak mampu meluruskan substansi demokrasi.
Hal tersebut muncul sebagai akibat
dominasi elit terlampau kuat membuat struktur sosial lainya menjadi tidak
berdaya. Dominasi elit bisa berwujud oligark, oligarki dan klientelisme.
Kelompok ini berpotensi besar selalu
memainkan peran upaya membengkokan substansi demokrasi demi mendapatkan
keuntungan ekonomi dan politik yang bersifat individu maupun kelompok.
Dengan menggunakan praktek kotor berupa
politik uang dalam rangka untuk memenangkan pertarungan pilkada. Oligark,
oligarki dan klentelisme merupakan tiga serangkai yang tak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain.
Oligark merupakan kelas pemodal yang akan
memainkan peran menyuplai dana untuk kepentingan patron (calon kepala daerah).
Sedangkan Oligarki berperan sebagai penyedia
kewenangan politik berupa rekomendasi SK parpol yang akan diberikan kepada
peserta calon pilkada.
Sedangkan Klentilisme berhubungan dengan
klien yang memainkan peran sebagai penerima barang dan jasa dari patron
termasuk memberikan sejumlah uang secara tunai.
Ketigannya sedang terlibat dalam
pertukaran kepentingan politik dan ekonomi dalam rangka untuk memuluskan
langkah pertarungan pilkada serta merupakan sebagai pemeran utama untuk
melakukan pratek politik uang setiap pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia.
Sebab politik uang merupakan praktek riil
teori klentelisme. Bagi Robert Michels, siapa saja yang berbicara oligarki, ia
berbicara organisasi.
Sebaliknya, siapa saja berbicara organisasi, ia berbicara oligarki. Akhirnya,
oligarki menggantikan demokrasi sebagai sifat dasar organisasi (Sadhan dkk,
2020:97).
Pada hal kemenangan pilkada sangat
berkaitan erat dengan kemampuan merebut hati rakyat melalui program kerja yang
ditawarkan.
Bukan karena menyegok sana dan menyogok
sini dengan menggunakan kekuatan finansial. Kemenangan para kontestan merupakan
bukti kedekatan dan keberpihakan pada permasalahan daerah.
Namun sistem politik demokrasi terutama
proses pemilukada kerap terjadi terjebak ke dalam mengabaikan kemaslahatan
rakyat, karena kaum elit politik terlampau kuat dan selalu mementingkan diri
sendiri dan kelompopknya.
Dampaknya representasi politik yang
dibangun, menghadirkan para pemimpin yang kontra substansi demkrasi.
Di samping itu, masyarakat yang juga
memiliki persepsi yang keliru terhadap politik yang memandangnya hanya sebatas
pertarungan memperebutkan kekuasaan semata dari para elit politik.
Persepsi yang demikian, akhirnya membentuk
semacam metafisika baru di dalam masyarakat bahwa politik selalu berkonotasi
negatif.
Berkaca dari hal tersebut, pemilukada kerap
terjadi diwarnai praktek uang selama pemilukada berlangsung.
Hal ini menunjukkan seperti dalam kasus
beberapa pasangan calon kepala daerah yang melibatkan petahana politik uang
seperti yang dilakukan calon bupati Karawang, Celika Nurachadiana.
Ia membagikan sejumlah uang kepada para
pendukungnya ketika melakukan kampanye terbuka di lapangan Karangpawitan bahkan
calon wakilnya menyerukan agar para pendukung tetap mengambil uang yang diberikan kandidat
manapun.
Tidak hanya terbatas itu, petahana
memanfaatkan anggaran daerah melalui bantuan sosial alias bansos, sehingga
tidak heran pasangan calon petahana selalu ada ruang memenangkan pertarungan
pilkada (Sahdan dkk,2020: 112).
Selain itu, jika merujuk data penanganan
pelanggaran politik uang pilkada 2015, dari total 16 propinsi yang
menyelenggarakan pilkada serentak, Jawa tengah memegang rekor propinsi tertinggi
temuan dan laporan politik uang dengan jumlah 66 kasus berdasarkan laporan
Bawaslu pada tahun 2017.
Sedangkan Jawa Timur masih termasuk
kategori rendah soal temuan dan laporan politik uang yaitu cuman 3 kasus
politik uang.
Pelanggaran yang tidak terbatas terkait
dengan politik uang masih juga terjadi mewarnai perhelatan pilkada pada tahun
2017, tercatat ada sebanyak 2. 347 temuan dan laporan terkait pelanggaran yang
terjadi pada tahapan persiapan pencalonan, pemutakhiran data pemilih, kampanye,
logistik, pungut hitung dan rekapitulasi selama pemilu.
Catatan tersebut menunjukkan Jawa Tengah
berada di urutan kedua temuan dan laporan politik uang terbanyak, yaitu 232 laporan
dari total 30 propinsi.
Sedangkan Jawa Timur sebanyak 16 temuan
dan laporan kasus politik uang. Berdasarkan laporan Bawaslu pada tahun 2018
silam.
Pelanggaran tersebut yang masuk dalam
kategori tindak pidana politik uang belum ada upaya secara maksimal oleh
penegak hukum melakukan langkah-langkah hukum untuk diproses secara hukum
sampai ke pihak kepolisian maupun pihak pengadilan (Sahdan dkk, 2020: 232).
Oleh karena itu, praktek kotor seperti
politik uang maupun sejenisnya menjadi racun bagi demokrasi serta berdampak
demokrasi akan mengalamai kehilangan makna dan kehilangan relevansi.
Dalam kaitan itu, kita kewatir juga akan
mengalami hal yang sama pada pilkada Manggarai Barat. Pasalnya, ada sejumlah
paslon yang ikut berlaga dalam pertarungan pilkada 2020 terindikasi kuat
mendapat sokongan politik dan material oleh berbagai pihak tertentu, terutama datang dari kelas
pemodal atau disebut dengan oligark.
Targetnya kekuatan finansial akan dipakai
sebagai senjata untuk memenangkan pertarungan kekuasan politik dengan cara
mempraktekan politik uang di sejumlah distrik yang ada di Manggarai Barat dalam
rangka untuk mempengaruhi para pemilih yang mempunyai hak pilih.
Dengan sasaran patron dan klien didorong untuk
terlibat dalam hubungan pertukaran kepentingan politik dan ekonomi yang
difasilitasi oleh kelas pemodal (oligark) dengan tujuan untuk memenangkan
paslon tertentu.
Kondisi demikian, patut kita waspadai
sebab pilkada Mabar berpotensi besar rawan terjadi politik uang. Pemeran
utamanya cukong-cukong yang mempunyai pengaruh besar secara politik maupun
secara ekonomi yang sangat signifikan.
Pilkada Mabar tidak hanya sekedar sebagai
agenda politik yang dilaksanakan sekali dalam lima tahun akan tetapi jauh lebih
penting dari itu adalah bagaimana pilkada itu kita memandang sebagai sebuah
ranah yang bisa menghasilkan pemimpin politik yang handal untuk memmpin Mabar
selama 5 tahun kedepan.
Pemimpin yang terpilih, visi kedepanya
Mabar terbebas dari intervensi pihak manapun. Apa lagi mempunyai orientasi
Mabar di bawah kendali oleh cukong-cukong yang hanya lebih memikirkan perut
sendiri.
Sedangkan kepentingan yang lebih luas lalu
di kesampingkan. Cara berpikir seperti ini menjadi ancaman serius bagi perkembangan
pembagunan dalam berbagai aspek yang ada di Mabar.
Akibatnya kita akan tertinggal jauh oleh
daerah lain yang justru jauh lebih maju dari Mabar. Kita berharap masyarakat
Mabar bersatu padu melawan segala bentuk ketidak jujuran dan ketidak adilan
yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab mencoba untuk
melakukan intervensi terkait dengan proses pelaksanaan pilkada Mabar.
Jadikanlah pilkada Mabar sebagai pelajaran
berharga untuk kita semua agar kita semakin otonom, cerdas dalam bertindak dan
lihai dalam menentukan pilihan politik.
Jangan sampai pilihan politik kita jatuh
ke tangan orang yang salah serta tidak mudah terpengaruh dengan sekepok uang
yang diterima dari patron tertentu yang justru hanya merugikan kepentingan kita
sendiri maupun kepentingan masyarakat Manggarai Barat pada umumnya.
Pilihlah pemimpin yang memiliki
kualifikasi sosial yaitu memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni.
Dengan beberapa indikator, tidak tercatat
sebagai mantan terpidana, memiliki kecerdasan sosial, memiliki integritas, memiliki
kapabilitas, memiliki transparansi dan memiliki kecerdasan dalam mengelola tata
pemerintahan daerah.
Jika tidak memiliki kualifikasi seperti
itu, Kabupaten Manggarai Barat akan mengalami degradasi nilai baik ekonomi,
politik, hukum dan sosial-budaya.
Kesimpulan, politik uang yang kerap kali
terjadi mewarnai setiap pilkada merupakan bentuk ketidak jujuran, ketidak cerdasan
dan ketidak pahaman masyarakat terhadap masalah politik serta lebih terangsang
karena faktor kemiskinan yang muncul secara masif dan terstruktur sehingga
politik uang sulit kita mengelahkan.
Hal lain itu terjadi, karena lemahnya kontrol
negara serta ketersediaan sumber daya ekonomi negara terhadap masyarakat sangat
terbatas.
Oleh karena itu, kedepan perlu ada perbaikan
sistem dengan cara tingkatkan peran partai politik terutama proses rekrutmen
para calon kepala daerah agar lebih selektif dan transparan.
Dengan berbasis pada kapasitas intelektual
yang mumpuni. Tidak semata-mata proses rekrutmen itu berbasis pada kapasitas
material karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap karakter dalam mengelola
tata pemerintahan daerah.
Alvitus Minggu, S.I.P, M.Si merupakan
Dosen Fisip Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta.