ilustrasi Presiden Joko Widodo/CNBC Indonesia |
**Oleh Alvitus Minggu, S.I.P, M.Si**
Belakangan ini, wacana tentang masa jabatan presiden menjadi tiga periode telah menjadi perhatian publik.
Topik ini cukup ramai diperbincangkan khalayak ramai, baik di media sosial maupun di media mainstream.
Sejak pertama kali dimunculkan ke ruang publik, wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode ini sudah jadi isu yang hangat diperbincangkan oleh berbagai kalangan masyarakat.
Mulai dari aktivis, LSM, partai politik, akademisi, tokoh masyarakat, kelompok intelektual, hingga menyelinap masuk ke ruang lingkup kemahasiswaan.
Tentu saja ini sangat menarik untuk dilakukan kajian secara akademik.
Apakah wacana tersebut memiliki relevansi yang kuat antara kepentingan elit dengan kepentingan masyarakat.
Wacana masa kepemimpinan presiden tiga periode ini pertama kali dimunculkan oleh wakil ketua umum partai Gerindra, Arief Poyuono.
Wacana ini disampaikan Arief, pada saat menghadiri acara diskusi MNC Trijaya sabtu, 20 Maret 2021.
Hal itu muncul, bukan tanpa alasan karena terangsang oleh demokrasi sebagai ruang bersama.
Setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengemukakan ide atau pikiran yang dijamin oleh konstitusi.
Sebagaimana dalam penjelasan pasal 28 UUD 45 yang menyatakan “ kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang.”
Senada dengan itu, Pasal 28 E UUD 45 ayat 3 menyatakan “ setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Sehingga secara legal formal wacana tentang perubahan UUD 45 memiliki kekuatan hukum serta tindakan yang sangat konstitusional.
Selanjutnya, dalam konstitusi kita telah diatur masa jabatan presiden khususnya pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan,
” presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan.”
Pasal ini dapat kita maknai tidak bersifat absolut sehingga masih memungkinkan untuk dilakukan perubahan.
Kita menyadari, bahwa wacana tentang perubahan masa jabatan presiden akan bersinggungan dengan perlu adanya melakukan amandemen UUD 1945.
Amandemen ini tentu saja akan berpengaruh terhadap perubahan sistem politik di Indonesia.
Maka, secara otomatis sistem Pemilihan Umum (Pemilu) kita akan mengalami perubahan, khususnya terkait dengan Pemilihan Presiden.
Wacana tersebut, merupakan praktek riil demokrasi yang semestinya kita sambut secara positif.
Hal ini tentu saja dalam rangka untuk menghadirkan pemimpin politik yang ideal.
Pemimpin politik yang selalu berpihak pada kepentingan publik.
Karenanya Pemilihan Umum (Pemilu) sangatlah penting untuk kepentingan domestik maupun kepentingan internasional.
Hal ini pulah yang dijadikan alasan mengapa sistem pemilu tetap dipertahankan.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Huntington, seorang ilmuwan politik berkebangsaan Amerika Serikat.
Hungtington berpendapat Pemilu sebagai tempat untuk seleksi para pemimpin pemerintahan melalui pemilihan umum yang mengandung nilai kompetitif oleh rakyat yang diperintah.
Pemilu prosedur utama demokrasi, para pembuat keputusan puncak dalam pemerintahan diseleksi secara periodik melalui pemilu yang fair dan para kandidat secara bebas bersaing untuk mendapatkan suara.
Hampir seluruh warga negara yang telah mencapai usia dewasa menggunakan hak pilihnya.
Pemilu sebagai ruang demokrasi yang berkeyakinan bahwa pemilu atas para pembuat keputusan puncak sebagai esensi demokrasi (Budiardjo, 1996 : 9).
Pemilu merupakan tindakan konkret untuk melahirkan pemimpin poitik.
Sebagaimana hal yang diungkapkan oleh “Robert Dahl” ia menjelaskan bahwa demokrasi melibatkan dua dimensi, yaitu perlombaan (contestation) dan peran serta (participation).
Prosedur demokrasi seperti ini mengasumsikan adanya kebebasan-kebebasan berbicara, menyebarluaskan pendapat, berkumpul dan berserikat hingga perdebatan politik dan kampanye pemilu dapat diselenggarakan (budiardjo, 1996: 10).
Wacana untuk melakukan perubahan UUD 1945, merupakan bagian dari kesadaran demokrasi.
Demokrasi dipakai sebagai prosedur untuk memilih para pemimpin politik nasional melalui pemilu.
Oleh karena itu pemilu dapat diharapkan sebagai solusi bangsa yang ditopang oleh pemimpin yang kuat.
Pemimpin yang memiliki nilai integritas yang mumpuni serta mempunyai kemampuan yang bisa memenuhi berbagai ekspektasi publik.
Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai persoalan besar serta sedang mengalamai stagnasi, yang dipicu covid-19.
Maka butuh pemimpin yang kuat, pemimpin yang bisa membawa bangsa ini keluar dari persolan yang begitu rumit.
Apa lagi saat ini bangsa kita sedang memasuki kelompok negara industrialisasi.
Tentu dibutuhkan pemimpin yang kuat atau Strong Leader sehingga menjadi bangsa yang kuat secara ekonomi politik.
Spiritnya adalah mengundang sebanyak mungkin para investor datang ke Indonesia dengan catatan Indonesia harus terjamin kepastian hukum dan politiknya.
Hal ini tentu saja sebagai garansi bagi para investor yang mau menanamkan modal di Indoensia.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan satu-satunya figur yang memiliki spirit itu sehingga dengan demikian kita berharap Presiden Jokowi bisa terpilih kembli.
Hal ini tentu saja dapat terjadi jika memang konstitusi kita perlu melakukan amandemen untuk mengatur perubahan tetang masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Meskipun demikian, tidak berarti Presiden Jokowi terpilih kembali mengabaikan prosedur demokrasi berbasis pemilu.
Tetap mengikuti mekanisme pemilu bersama dengan tokoh-tokoh lain yang mau mencalonkan diri untuk ikut berlaga dalam pilpres 2024.
Tokoh-tokoh selama ini yang ikut diperbincangkan melalui media masa yang dimungkinkan sebagai calon presiden seperti ketua DPR RI, Puan Maharani.
Selain itu Gubernur DKI, Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Purnomo, Mantan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini dan mahfud MD.
Wacana tersebut merupakan bagian dari dinamika politik yang tentu saja menuai reaksi publik yang beraneragam.
Ada yang disambut positif dan juga disambut negatif. Sesuatu hal bersifat alamiah yang muncul secara natural.
Hal ini menunjukkan partai-partai menolak rencana perubahan masa jabatan presiden.
Senada dengan hal itu, tokoh-tokoh partai yang cukup bernada keras menolak hal itu, yaitu Amin Rais.
Menurut Amin Rais, rezim pemerintahan Jokowi ada upaya untuk mendorong mengambil langkah meminta sidang istimewa MPR untuk menyetujui amandemen satu atau dua pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal tersebut mencakup perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Sedangkan Ketua umum partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono dan Deputi badan pemenangan pemilu, Kamhar Lakumani, menjelaskan partainya tidak setuju dengan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode.
Demokrat menilai saat ini tak ada urgensi amandemen UUD 1945, apa lagi hanya untuk mengubah batas masa jabatan Presiden.
Sedangkan tokoh PKS, yang menjabat sebagai wakil ketua MPR, Hidayat Nur Wahid menilai pernyataan Amin Rais merupakan sebuah peringatan agar tidak terjadi usulan apa lagi sampai melakukan penggalangan kekuatan politik untuk mengusulkan perubahan UUD 1945.
Apa lagi perubahan ini menyangkut masa jabatan presiden.
Sedangkan dari PDIP wakil ketua MPR RI, Ahmad Basarah, mengatakan partainya memang ingin mengubah UUD 1945.
Namun keinginan tersebut tidak ada hubungannya dengan perubahan masa jabatan presiden.
PDIP ingin amandemen terbatas untuk memberikan kembali wewenang MPR untuk menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Tujuannya ialah terciptanya kepastian akan kesinambungan pembangunan nasional dalam setiap pergantian kepemimpinan nasional.
Sedangkan wakil ketua MPR dari PPP, Arsul Sani, megkritisi soal pernyataan Amin Rais, bahwasannya dugaan Amin Rais tentang perubahan masa Jabatan presiden hanya sebagai political joke alias candaan politik.
Hanya bisa melemparkan dugaan atau prasangka di ruang publik. Arsul menyebut, MPR saat ini tidak mengagendakan sama sekali untuk mengubah masa jabatan presiden.
Bertolak dari hal tersebut, Partai-partai politik sepertinya kebakaran jenggot.
Pasalnya, jika terjadi perubahan UUD 1945, yang mengarah pada kesepakatan masa jabatan presiden tiga periode, maka secara otomatis presiden Jokowi akan kemabli berlaga dalam pemilihan presiden 2024.
Inilah yang menjadi kekhawatiran partai-partai politik, khususnya partai oposisi yang tidak mempunyai perwakilan di pemerintahan Jokowi.
Secara internal, partai oposisi memiliki beban psikologis akibat agenda politik tidak tersalur.
Agenda politik yang berkaitan calon presiden dari internal partai oposisi.
Bagi partai oposisi maupun partai yang sekarang bergabung dengan pemerintahan Jokowi, justru menilai kehadiran Jokowi pada pilpres 2024 menjadi sebuah ancaman terhadap agenda politik internal partai.
Kehadiran Jokowi sebagai calon presiden (Capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 , secara tidak langsung membatasi ruang gerak kader partai-partai yang ingin maju sebagai calon presiden.
Tran politik hari ini menunjukan, justru kepemimpinan Jokowi terlampau kuat dan masyarakat Indonesia masih membutuhkan figur seperti Jokowi.
Beliau adalah figur yang memiliki integritas yang mumpuni serta figur yang memiliki kecerdasan sosial, yang selalu berpihak kepada kepentingan publik.
Gaya Kepemimpinan yang lebih ke arah realis. Artinya barang dan jasa yang dia tawarkan kepada publik sudah dalam bentuk konkret.
Kita berharap, demokrasi sebagai tempat untuk membagi perasaan dan membagi persoalan bangsa.
Karenanya setiap perbedaan ide, perbedaan pandangan dan sikap, harus saling dihargai serta menyikapi hal itu secara arif dan bijaksana.
Janganlah perbedaan itu dianggap sebagai tempat bermusuhan tetapi jadikanlah itu sebagai tempat persahabatan demokrasi.
Alvitus Minggu, S.I.P, M.Si.
Dosen Fisip Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan dosen Ilmu Politik Universitas Bung Karno Jakarta. Sekaligus Direktur Network Election Survei (INES)