- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Moeldoko Ketua Umum Demokrat; Cikeas Kehilangan Kekuasaan

    Tim Redaksi | Editor: Antonius Rahu
    27 Maret, 2021, 21:02 WIB Last Updated 2021-03-27T14:04:07Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1

    ***Oleh Alvitus Minggu, S.I.P, M.Si***

    Partai Demokrat merupakan sebuah partai politik Indonesia. Partai ini didirikan pada 27 Agustus 2003. Pendirian partai ini erat kaitannya dengan niat untuk membawa Susilo Bambang Yudhoyono, yang kala itu menjadi Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan ketika Presiden Megawati, menjadi Presiden. Karena hal tersebut, partai Demokrat terkait kuat dengan figur Yudhoyono. Dalam kaitan itu, pada Kongres IV Partai Demokrat yang diadakan di Hotel Shangri-La Surabaya, 12 Mei 2015, Susilo Bambang Yudhoyono kembali terpilih menjadi ketua umum untuk periode 2015-20.


    Dalam perpolitikan Indonesia, Partai Demokrat pernah mencapai puncak sebagai penguasa selama 10 tahun, tepat di saat partai Demokrat berhasil mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai orang nomor 1 di Indonesia selama dua periode. Namun ketika berada di titik puncaknya, partai Demokrat malah dihantam isu tak sedap. Pasalnya banyak kader-kader yang terseret dalam pusaran kasus korupsi. Kala itu, ada beberapa pengurus teras Partai Demokrat yang tersandung kasus korupsi, yaitu Anas Urbaningrum, Ejelina Sondag, Andi Malaranggeng, Nasarudin dan Sultan Batugana. 


    Dalam sejarah, partai Demokrat mulai ikut pemilu 2004. Pada pemilu tersebut, Partai demokrat berhasil meraih peringkat ke-5 dengan mendapat suara sebanyak 7, 45 persen atau 8. 455.225 dari total suara dan mendapat 57 kursi di DPR RI. Pencapaian ini merupakan titik awal partai Demokrat sebagai partai penguasa. Partai ini mendapat masa keemasannya pada pemilu Legisatif 2009, berhasil menjadi partai pemenang pemilu legislatif dengan memperoleh 150 kursi (26,4 persen) di DPR RI, setelah mendapat 21. 703.137 total suara (20, 4persen). Kemudian, memasuki Pileg 2014, suara partai Demokrat mengalami kemerosotan tajam, yaitu bergerak pada level dari 10 partai di DPR RI dengan perolehan suara sebanyak 10, 19 persen suara nasional (12. 728. 913).


    Demikian halnya pada pemilu 2019, Partai Demokrat masih mengalami stagnation, yaitu bergerak di angka peringkat ke-7 dari 9 Partai Politik di DPR dengan perolehan suara sebanyak 7, 77 persen suara nasional (10. 876. 507).


    Meskipun Partai Demokrat pernah mengalami masa kejayaan sebagai partai penguasa pada pemilu legislatif 2009, namun partai ini tidak luput dari sorotan publik. pasalnya ada beberapa elit partai tersandung kasus korupsi merupakan kasus yang sempat menghebohkan negeri ini. 


    Kasus korupsi yang menimpa Partai Demokrat merupakan kasus yang masuk dalam kategori kasus besar yang terjadi sepanjang sejarah, pasca lahirnya reformasi. Tidak heran kalau Partai ini mengalami pasang surut kepercayaan publik. Kasus korupsi muncul di tubuh internal Partai Demokrat sebagai akibat kelalaian kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam mengelola Partai Demokrat. 


    Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) gagal memprotek Partai Demokrat sehingga membiarkan kepada kader-kader partai melakukan korupsi secara sistematis, terstruktur dan masif. Gojang-ganjing Partai Demokrat rupanya terus berlanjut akhinya membuat partai ini semacam kehilangan legitimasi sosial. Apa lagi dengan terpilihnya Agus Hari Murti (AHY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan Bapak Susilo Bambang Yudho Yono (SBY) sebagai kelanjutan dari kepemimpinan sebagai Ketua Umum. 


    Kondisi ini terkesan, sistem manajemen Partai demokrat lebih mengarah pada pola manajemen yang bersifat personalisasi. Artinya partai ini seolah-seolah menjadi milik pribadi keluarga Cikeas. Atau sebuah manajemen yang sedang mengarah pada tumpuhan kemampuan keluarga. Sebuah situasi politik yang sangat mengganggu terhadap elektabilitas Partai Demokrat. Bisa-bisa  membawa Partai Demokrat pada kemerosotan nilai.


    Tanpa disadari, kemerosotan politik yang terjadi di tubuh Partai Demokrat berawal dari sebuah kegagalan kepemipinan Susilo Bambang Yudhyono dalam mengelola Partai Demokrat. Membiarkan kader-kader terlibat korupsi.  Ditambah lagi dengan mengkondisikan anaknya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Peristiwa politik seperti ini sama artinya keluarga Cikeas sedang membangun politik kerajaan. Artinya semua anggota kelurga terlibat dalam merebut kekuasaan politik. 


    Pada hal secara etik sangatlah tidak etis kalau dalam satu keluarga sama-sama mempunyai ambisi untuk merebut kekuasaan politik merupakan sebuah tindakan yang mencerdai prinsip demokrasi. Meskipun secara teori politik, bahwa setiap warga berhak menjadi warga negara dan setiap warga negara berhak dipilih oleh siapapun untuk menjadi pemimpin politik tanpa melihat latar belakang sosialnya. 


    Yang dikedepankan adalah prinsip kesamaan dan keadilan politik. Namun untuk mengharmonisasi demokrasi tetap saja itu dipadukan dengan sisi etik. Tindakan keluarga Cikeas dengan melibatkan semua anggota keluarga untuk merebut kekuasaan politik merupakan tindakan riil konsep pembangunan Dinasti politik.


    Kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah, tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan politik, dengan Dinasti politik pergantian kepemimpinan mirip kerajaan. Sebab kekuasaan diwariskan turun temurun dari pemilik Dinasti kepada ahli warisnya agar kekuasaan tetap berada di lingkungan keluarga. Itulah yang sedang terjadi di tubuh Partai Demokrat saat ini. 


    Bertolak dari hal tersebut, isu kudeta partai Demokrat untuk melakukan gerakan perebutan kekuasaan atau makar di tubuh Demokrat belum surut. Bahkan berita yang selalu menghiasi media, baik itu media cetak, media online maupun media mainstream. 


    Isu kudeta menjadi trending topik membuat industry media menjadi laku keras.  Isu tersebut awal mulanya hanya sekedar sebagai wacana. Meskipun demikian yang jelas keluarga Cikeas merasa terusik dengan pemberitaan itu. Dalam perjalanan waktu, isu itu semakin menguak tokoh di balik wacana untuk melakukan kudeta terhadap partai Demokrat sekaligus upaya untuk mendongkel kepemimpinan Agus Hari Murti Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. 


    Wacana kudeta, semakin tersanter terdengar berbagai spekulasi yang muncul di tengah masyarakat, bahwasannya Cikeas menuding bahwa ada keterlibatan  pihak tertentu di balik upaya kudeta partai Demokrat. Sebut saja Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan sebagai tokoh utama untuk mendorong melakukan kudeta terhadap partai Demokrat. 


    Isu tersebut pertama kali disampaikan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam konfrensi pers yang dilakukan pada senin, 1 Februari 2021. AHY sempat menuding ada pihak-pihak yang berupaya untuk mengangkat sosok baru menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, dengan mengadakan Kongres Luar Biasa (KlB).


    Tokoh-tokoh yang diduga kuat menjadi dalang untuk melakukan kudeta adalah Kepala Staf  (KSP) Moeldoko, Marzuki Ali, Muhammad Nasarudin, Darmisal dan Jhoni allen Marbun. Demikian juga hal yang disampaikan oleh mantan Presiden RI 2 periode dan mantan ketua umum partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 


    SBY menegaskan bahwa Partai Demokrat tidak diperjualbelikan untuk pihak-pihak yang ingin melakukan upaya perebutan kekuasaan di tubuh Partai Demokrat. Sudah jelas-jelas orang luar mempunyai ambisi untuk merebut dan membeli Partai Demokrat.


    Lebih lanjut SBY menegaskan bahwa Partai Demokrat not for sale, Partai kami bukan untuk diperjualbelikan, dalam video yang dirillis Rabu, 24 Februari 2021. Jika demikian berhasil maka, demokrasi berada pada masa krisis.


    Isu kudeta terhadap Partai Demokrat akhirnya terjawab. Sebagaimana hal apa yang telah dituduhkan oleh pihak Cikeas terhadap beberapa tokoh yang ikut terlibat membuat skenario untuk mengadakan Kongres Luar Biasa yang digelar di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat, 5 Maret 2021. Akhirnya menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Dengan sistem Voting, Moeldoko akhirnya menang mutlak atas rivalnya Marzukie Ale.


    Kemenangan Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat akhirnya menuaikan protes oleh Kubuh Cikeas. Dampaknya konflik tersebut tak urung diselesaikan dan menciptakan dualisme Kepemimpinan, yaitu kubu Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang dan kubu Agus Hari Murti Yudhoyono versi Kongres V pada 15 Maret 2020.


    Secara politik, munculnya Kongres Luar Biasa di Deli serdang Sumatera Utara bukan tanpa alasan, Pasalnya, Kongres tersebut merupakan klimaks dari semua persoalan yang numpuk terjadi di internal Partai Demokrat. Ada berbagai rentetan peristiwa yang terjadi pada hari-hari sebelumnya. KLB hanyalah secuil persoalan sebagai faktor pemicu. Tetapi sebenarnya semua itu masih berpautan yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.


    Persoalan tersebut muncul semancam kebuntuan politik dan demokrasi, yang selama ini justru SBY sendiri tidak mampu menyelesaikan hal itu pada level kebijakan partai. Mulai dari persoalan korupsi yang menimpa sejumlah pengurus teras di Partai Demokrat. Belum lagi persoalan manajemen partai yang lebih mengedepankan tumpuan manajemen keluarga. Tidak heran tingkat elektablitas Partai Demokrat terus mengalami kemerosotan.


    Pemicu lain adalah dengan mengkondisikan AHY sebagai Ketua Umum  Partai Demokrat. Kemerosotan itu terjadi dirasakan pada pemilu legislatif 2014 dan pemilu legislatif 2019. Partai ini mampu digeserkan oleh partai lain menjadi partai yang bukan sebagai partai papan atas. Sebagai mantan Partai Penguasa tentu saja ini merupakan pukulan besar bagi keluarga Cikeas, yang sangat berpengaruh terhadap ekspektasi publik.


    Secara internal, KLB merupakan sebuah ketidakberdayaan SBY dalam mengontrol Partai Demokrat secara kelembagaan. Membiarkan Partai Demokrat jatuh ke dalam jurang politik. Indikatornya adalah membiarkan muncul berbagai kasus yang melilit Partai Demokrat. Dengan berbagai varian kasus yang muncul. 


    Ketidakberdayaan SBY secara politik, akhirnya dimanfaatkan oleh kubuh yang dianggap anti kemampanan sebagai instrumen politik dengan memainkan wacana mengadakan KLB. Yang dipelopori kelompok Moeldoko dan kawan-kawan. 


    Kalau Andi Malaranggeng bilang KLB dipelopori oleh  kelompok broker politik. KLB muncul sebagai tindakan riil Demokrasi dalam rangka untuk menyelamatkan Partai Demokrat dari keterpuruk manajemen yang selalu mengandalkan kekuatan manajemen keluarga. Kemudian disusul muncul berbagai macam persoalan di tubuh Partai Demokrat.


    Dampaknya tingkat Soliditas pengurus partai menjadi terganggu. Pada akhirnya Partai Demokrat secara kelembagaan mengalami kerapuhan nilai. Kerapuhan itu menunjukan bahwa betapa pentingnya soliditas dalam sebuah organisasi itu, sebuah prinsip yang tetap harus dipertahankan demi menjaga keseimbangan nilai dalam organisasi.


    Soliditas partai merupakan basis untuk menjaga kesimbangan nilai. Tanpa itu maka, partai politik akan berpotensi besar mengalami perpecahan. Dalam konteks itulah sebenarnya partai Demokrat mengalami kerapuhan soliditas secara kelembagaan sehingga ada cela untuk muncul faksi-faksi di dalam Kepengurusan partai Demokrat. 


    KLB merupakan hal yang lumrah dalam dunia demokrasi dan sudah menjadi tradisi politik dalam sebuah partai politik. Kita ingat KLB ke-4 PDI di Medan tahun 1996. Di kala itu, Megawati Soekarno Putri masih menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia. Berdasarkan hasil Kongres Surabaya pada tahun 1993 untuk kepengurusan 1993-1998.


    Sedangkan Soerjadi terpilih berdasarkan hasil Kongres Medan pada tanggal 22 Juni 1996 untuk periode 1993-1998, sebelum peristiwa 27 Juli terjadi. Dualisme di tubuh Partai berlambang banteng itu bermula ketika 16 fungsionaris DPP PDI menyatakan akan melaksanakan Kongres PDI, untuk memisahkan diri dari kepengurusan pimpinan Megawati.


    Kongres di Medan yang rencana pelaksanaannya dipimpin langsung Fatimah Ahcmad. Kelompok tersebut dituduh melanggar anggaran AD/ADRT. Berbuntut mereka membebastugaskan alias dimecat oleh kepengurusan Megawati. Namun, kongres di Medan itu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dengan indikasi mendapat restu Presiden Soeharto terhadap pelaksanaan Kongres itu. Hal itu terlihat ketika kongres yang berlangsung 20 Juni - 22 Juni 1996 itu dibuka dan ditutup oleh Menteri Dalam Negeri Yogie S Memet.


    Meski begitu, kongres itu menghasilkan keputusan yang merujuk pada wakil ketua MPR/DPR Soerjadi sebagai ketua umum dan Buttu Reinhart Hutapea sebagai sekretaris jenderal. Berbuntut Pemerintah mengakui DPP PDI hasil Kongres Medan. Berdasarkan asas legalitas, Pemerintah juga tidak mengakui adanya tandingan atau DPP PDI pimpinan Megawati.   


    Tidak kala penting juga fenomena itu terjadi pada situasi munas Golkar. Hal itu terjadi pertarungan antara kubu wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono dan kubu Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie (Ical). Kubu Ical menggelar Munas di Bali pada 30 Nopember sampai 4 Desember 214. Sedangkan kubu Agung Laksono menggelar Munas di Riu pada  Desember 2014. 


    Keduanya sama-sama menang berdasarkan versi Munas masing-masing. Agung Laksono terpilih menjadi Ketua Umum Golkar dalam voting. Sedangkan Ical terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Golkar juga. Perpecahan semakin sengit hingga kedua kubu bertarung di pengadilan. Buntutnya pertarungan kedua kubu lantas berlanjut ke meja hijau. 


    Dalam sidang tingkat pertama, PTUN Jakrta memutuskan membatalkan SK Menkum HAM yang mengesahkan kepengurusan hasil Munas Ancol kubu Agung Laksono pada 18 April 2015. Kubu Agung Laksono pun mengajukan banding. Kendati demikan, dalam sidang di tingkat banding di PN Jakarta Pusat 20 Oktober 2015, lagi-lagi kubu Ical memenangkan gugatan.


    Kubu Agung Laksono lantas mengajukan kasasi. Namun dalam persidangan berlanjut di tingkat kasasi, MA menolak kasasi permohonan kubu Golkar kepengurusan Agung Laksono. Untuk menerai duka kubu akhirnya tokoh Yusuf moehammad Kalla mencoba menginisiasi pada tahun 2016 merintis rekosiliasi di antara kedua kubu. 


    Kedua kubu akhirnya sepakat menggelar munaslub Golkar di Nusa Dua, Bali, Sabtu,  14 April 2016 dan membuat Setya Novanto terpilih menjadi Ketua Umum partai Golkar. Demikian halnya juga kemelut yang terjadi di tubuh PPP. Tidak berbeda jauh dengan konflik yang terjadi pada partai lain, seperti Partai Demokrat, PDI, Golkar dan PPP.


    Apa yang bisa kita petik dari cerita keempat partai yang pengalamannya kurang lebih sama. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya KLB partai Demokrart maupun pengalaman yang pernah dirasakan oleh partai lain dalam menghadapi kondisi yang sama, merupakan bagian dari warna-warni demokrasi, yang semestinya kita menyikapi biasa-biasa saja.


    Bukan menjadi sesuatu yang dapat mengkwatirkan terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.  Tidak bisa kita pungkiri KLB Partai Demokrat, membawa dampak buruk bagi kenyamanan keluarga besar partai Demokrat maupun keluarga besar Cikeas. Apa lagi berbuntut kedua kubu, baik kubu Moeldoko maupun kubu AHY berujung berlanjut ke meja hijau. 


    Kekwatir seluruh gugatan dalam sidang tingkat pertama di PTUN sampai berlanjut di tingkat mengajukan kasasi, MA menolak kasasi permohonan kubu partai Demokrat kepengurusan AHY karena ada intervensi pihak ketiga. Jika itu yang terjadi maka, kubu kepengurusan AHY kehilangan legitimasi politik dan hukum.


    Secara otomatis kubu kepengurusan Moeldoko yang diakui oleh negara karena secara legal formal memiliki kekuatan hukum. Kubu kepengurusan Moledoko pun mempunyai otoritas untuk menggantikan kepengurusan kubu AHY dari pengurus Pusat sampai ke pengurusan daerah. Dampaknya AHY maupun keluarga Cikeas mengalami krisis politik. 


    Secara teori politik, jika seorang pemimpin politik mengalami turun tahta maka, secara otomatis ia akan mengalami kehilangan segala-galanya, meliputi kehilangan jabatan, legitimasi sosial, pendapatan secara ekonomi, dan kehilangan pengaruh di masyarakat. Bahkan keluarga Cikeas akan mengalami krisis finansial karena akses politik sangat terbatas.


    KLB Partai Demokrat, yang diadakan di Deli Serdang Sumatra Utara tidak hanya dipandang sebagai upaya untuk menggembos Partai Demokrat, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah Moeldoko dan kawan-kawan ingin mendedikasikan diri kepada partai agar Demokrat dapat dikelola secara profesional, bukan dikelola dengan manajemen keluarga. 


    KLB bisa saja merupakan hukum karma dari perbuatan SBY yang telah membohongi Presiden Megawati tahun 2004. Presiden ketiga pasca reformasi tahun 1998. SBY sempat ditanya Megawati tahun 2004 terkait maju sebagai calon presiden. SBY pada waktu itu menjawab Megawati tidak ikut mencalonkan diri sebagai calon presiden, namun pada kenyataan pas menit-menit terakhir  SBY memutuskan maju ikut mencalonkan diri sebagai calon presiden pilpres 2004, yang pada  akhirnya menjadi rivalitas Megawati Soekarno.


    Harapan di balik KLB partai Demokrat harus ada kehadiran pihak ketiga untuk akhirnya menginisiasi melakukan rekonsiliasi antara kubu kepengurusan Moeldoko dengan kepengurusan AHY supaya keduanya dapat dipersatukan kembali demi mengedepankan keharmonisasian demokrasi, baik secara internal partai maupun secara eksternal. 


    Kita mesti belajar dari pengalaman partai Golkar yang terlibat peseteruan antara kubu kepengurusan Agung Laksana dan kubu kepengurusan Aburizal Bakrie (ICAL). Kemudian muncul pihak ketiga untuk menginisiasi melakukan rekonsiliasi kedua kubu tersebut yaitu tokoh seperti Moehammad Yusuf Kalla. Akhirnya berhasil bersatu kembali antara ICAL dan Agung Laksono melalui Munas di Nusa Dua, Bali.

     

    Alvitus Minggu, S.I.P, M.Si.

    Dosen Fisip Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan dosen Ilmu Pilitik Universitas Bung Karno Jakarta. Sekaligus Direktur Indonesian Network Election Survei (INES)

    Komentar

    Tampilkan

    ads