Orient Riwu Kore |
Oleh Alvitus Minggu, M.S.P, M.Si
Baru saja kita mengikuti Pilkada serentak yang dikuti oleh sejumlah propinsi, kabupaten dan kota, yang dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020. Pilkada tersebut diikuti oleh daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Jumlah daerah yang melaksanakan Pilkada tersebut sebanyak 270 daerah, dengan rincian 9 Provinsi , 224 Kabupaten dan 37 Kota.
Pilkada tersebut merujuk pada Undang-Undang Pilkada No 10 tahun 2016 sebagai dasar hukum proses pelaksanaan Pilkada di Indonesia. Dari 270 calon kepala daerah yang ikut berlaga dalam pemilihan kepala daerah serentak 2020, kita dikejutkan dengan berita mengenai calon Bupati yang status warga negara ganda, yaitu warga negara Indonesia dan warga negara Amerika Serikat. Calon Kepala Daerah tersebut adalah Orient P. Riwu Kore, Calon Bupati Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tengara Timur (NTT). Daerah otonom yang baru dibentuk pada tahun 2008.
Orient P Riwu Kore yang berpasangan dengan Thobias Uly berhasil menang dengan perolehan suara 46, 4 persen atau 6.276 suara. Pasangan Orient - Thobias yang diusung oleh 3 partai politik, yaitu PDIP, Gerindra dan Demokrat mampu menggeserkan paket petahana, yaitu pasangan Nikodemus N Rihi Heke - Yohanis Uly Kale, yang hanya meraih 5. 456 suara.
Namun masyarakat dikejutkan, setelah KPUD menetapkan kemenangan pasangan Orient P Riwu Kore- Thobias Uly bahwa Orient P Riwu Kore memiliki status warga negara ganda. Hal tersebut menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Sementara pada awalnya, PDIP sebagai partai pengusung utama tidak mengetahui persoalan tersebut bahwasannya Orient P Riwu Kore baru menjadi kader partai ketika hendak maju dalam Pilkada 2020.
Sementara syarat utama untuk memiliki kartu anggota partai adalah WNI yang dibuktikan dengan dokumen kependudukan e-KTP dan kartu keluarga (KK). Orient P Riwu Kore, status sebagai warga negera Amerika dibenarkan oleh Bawaslu kabupaten Sabu Raijua, NTT. Itu pun setelah mendapat kepastian informasi dari pihak kedutaan Besar Amerika serikat.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Zudan Arif Fakrulloh, mengungkapkan beliau juga pernah memiliki paspor Amerika Serikat tanpa melepaskan status kewarganegaraan Indonesia.
Suatu peristiwa politik yang tidak lazim terjadi sepanjang sejarah pilkada yang langsung di Indonesia sejak tahun 2005 hingga sekarang. Statusnya sebagai warga negara Amerika ini terkuak ketika memenangkan pemilihan Bupati Kabupaten Sabu Raijua pada Pilkada 2020.
Sebenarnya, Orient merupakan putra asli Kupang yang lahir dari keluarga WNI asli, berdasarkan asas ius sanguinis atau law off the blood, kewarganegaraan berdasarkan garis keturunan. Berdasarkan asas tersebut, secara de facto dan de jure, Orient P Riwu Kore adalah WNI sehingga ia patut dilindungi hukum.
Memang Orient menyelesaikan pendidikannya di AS dan bekerja di AS pada tahun1997. Kemudian ia menikah dan menjadi Warga negara AS pada tahun 2000. Tetapi dia tidak melepaskan identitasnya sebagai Warga Negara Indonesia.
Hal tersebut menjadi polemik ketika dia kembali ke Indonesia dan memutuskan untuk maju sebagai calon Bupati dimana syarat utama untuk calon Kepala Daerah adalah WNI yang tidak mempunyai status kewarganegaraan lain. Hal tersebut ditegaskan dalam PP Nomor 2 Tahun 2007 khususnya dalam penjelasan pasal 31 ayat 1 huruf g bahwa apabila seseorang WNI memiliki kewarganegaraan lain maka statusnya sebagai WNI dengan sendirinya akan gugur.
Dalam konteks itulah sebenarnya Orient P Riwu Kore secara tidak langsung membuat kehilangan statusnya sebagai WNI. Tetapi persoalannya adalah dia tetap mempertahankan sebagai WNI dan sebagai Warga Negara Amerika Serikat atau memiliki status kewarganegaraan ganda. Oleh karena itu, Orient P Riwu Kore tidak dibenarkan secara hukum untuk dicalonkan sebagai calon bupati kabupaten Sabu Raijua.
Kelalaian Orient dapat menimbulkan konsekuensi hukum, bahkan terancam diskualifikasi. Selain itu juga ketiga partai pengusung; PDIP, Gerindra dan Demokrat harus bertanggungjawab terhadap pelanggaran tersebut.
Dalam teori Rekrutmen, sebagaimana dikemukakan Pippa Noris, ada tiga tahap berturut-turut bekerja dalam proses rekrutmen politik. Pertama sertifikasi. Pada tahap ini melibatkan hukum pemilu, peraturan partai dan norma sosial. Proses sertifikasi tersebut selalu berhubungan dengan persayaratan hukum formal untuk pencalonan.
Selain itu juga ada beberapa syarat pada tahap sertifikasi ini seperti syarat usia, kewarganegaraan, pendidikan atau keaksaraan dan tempat tinggal. Kedua, tahap nominasi, dimana pada tahap ini akan ditentukan siapa saja yang akan dicalonkan. Ketiga, faktor seleksi tentang menentukan mana calon yang memenangkan pertarungan dalam merebut jabatan dari beberapa yang dicalonkan (Crotty , 2014 : 149).
Berdasarkan teori rekrutmen Pippa Noris di atas, menunjukkan bahwa Orient sebenarnya sudah tidak memenuhi kualifikasi hukum pemilu tetapi partai tetap meloloskannya. Ini merupakan suatu tindakan partai yang mempertontonkan kebobrokan sistem rekrutmen politik kepada publik. Melalui kasus Orient juga mempelihatkan bahwa internal partai politik belum merealisasikan demokrasi sebagai karakter dasar organisasi.
Dalam konteks ini, hadirnya hukum pemilu, sebagaimana ditegaskan oleh Pippa Noris, adalah bertujuan untuk mencegah calon yang tidak memiliki integritas dan kapabilitas secara politik.
Kasus Orient akhirnya memberikan dampak negatif bagi PDIP, Gerindra dan Demokrat sebagai partai pengusung. Bisa menimbulkan masyarakat mulai tidak percaya pada partai politik maupun pihak penyelenggara pemilu, bahkan secara politik mempengaruhi perolehan suara PDIP dalam pileg maupun pilpres 2024. Masyarakat umum justru cenderung menilai bahwa yang bertanggung jawab terhadap kasus pelanggaran hukum yang menimpa Orient adalah PDIP karena posisinya sebagai partai pengusung utama. Sedangkan partai Gerindra dan partai Demokrat hanya sebagai partai pendukung sehingga beban psikologi politik tidak seberat apa yang dirasakan oleh PDIP.
Kasus tersebut secara internal maupun eksternal merupakan sebuah kegagalan PDIP dalam mengelola manajemen rekrutmen kader yang cenderung tidak profesional. Dapat dibayangkan, Orient sebagai pendatang baru, tiba-tiba PDIP mengusungnya sebagai calon bupati Sabu Raijua.
Peristiwa ini memperlihatkan kemerosotan kader partai yang tidak mengikuti proses seleksi yang benar. Untuk apa kita membuang waktu yang lama menjadi kader kalau pada akhirnya kita hanya sebagai pendengar, penonton dan pelengakap pengurus partai. Tidak ada ruang yang sama untuk memilih dan dipilih sebagai calon pemimpin politik di setiap level.
Apa bedanya yang pengurus partai dan non pengurus partai diperlakukan tidak sama secara politik. Lebih baik kita di luar sistem sambil kita mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Lalu suatu saat kita maju sebagai calon legislatif maupun calon gubernur, bupati dan walikota. Tinggal kita beli partai saja. Secara otomatis kita pasti diakomodir oleh partai.
Sesuatu yang sangat memungkinkan itu terjadi karena pada dasarnya karakter partai di negara berkembang seperti Indonesia, lebih condong memperlihatkan partai politik sebagai pemburuh rente (rent seeking ). Secara ekonomi politik, mengeruk keuntungan dari peraturan atau kebijkan yang dibuat oleh regulator partai. Kemudian itu ditukarkan dengan sejumlah uang antara patron dan klien. Keduanya sedang terlibat dalam pertukaran kepentingan, yaitu kepentingan ekonomi dan kepentingan politik, meskipun cara-cara itu illegal atau bertabrakan dengan aturan tapi oleh partai politik dianggap legal.
Keadaan tersebut bisa mengancam perkembangan demokrasi, bahkan bisa menurun kualitas demokrasi. Patut diduga, bahwa kasus pelanggaran hukum yang menimpa Orient terdapat pola-pola tertentu yang dilakukan oleh PDIP maupun partai lain sehingga meloloskan Orient sebagai calon bupati Sabu Raijua, pola yang bersifat transaksional.
Dengan demikian kasus Orient P Riwu Kore tidak hanya dilihat sebagai peristiwa politik tetapi ini menjadi tamparan besar bagi PDIP karena telah terjadi kecolongan meloloskan kewarganegaraan asing sebagai calon bupati Sabu Raijua. Seharusnya sebagai partai penguasa yang sangat berpengalaman dalam kanca politik nasional lebih cermat dan lebih professional dalam mengelola manajemen rekrutmen politik, demi menjaga nama baik PDIP.
Karena partai politik tidak hanya sekadar merekrut kader yang hanya berorientasi untuk merebut kekuasaan politik.Tetapi partai politik harus sebagai wahana untuk mencetak kader-kader terbaik bangsa. Partai harus tetap berpegang teguh pada konstitusi partai, demokrasi internal partai perlu dihidupkan sebagai karakter dasar organisasi untuk menjaga soliditas organisasi sebagai upaya untuk mengantisapi terjadi adanya penyimpangan yang berpotensi besar muncul faksi-faksi di tubuh partai politik.
Alvitus Minggu, S.I.P, M.Si.
Dosen Fisip Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan dosen Ilmu Pilitik Universitas Bung Karno Jakarta.
Sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Network Election Survei (INES).