Kondisi Gunung Nampar Nos/Anak Ranaka saat ini |
"Ayam yang sedang mencari makan tiba-tiba berkotek karena kondisi gelap seketika, kepanikan mulai terasa, takut mau kiamat,"kata Dorotea.
[Congkasae.com/Lejong] Bagi orang Manggarai dewasa ini gunung Ranaka dikenal dengan keindahan bentang alam yang memesona, seperti yang terlukis dalam lirik lagu Gunung Ranaka karya Pius Papu dan Huber Hanu.
Namun dibalik kemolekannya Gunung Ranaka rupanya menyimpan kisah tentang letusan gunung berapi tepatnya pada 28 Desember 1987 silam yang mengakibatkan puluhan ribu orang Manggarai harus diungsikan ke tempat yang lebih aman.
Letusan pada 28 Desember 1987 itu membentuk gunung baru yang lebih dikenal gunung anakan ranaka, namun oleh warga Manggarai sering disebut gunung Nampar Nos.
Dalam bahasa Manggarai, Nampar Nos memiliki arti yakni berasal dari kata Nampar yang berarti tebing dan Nos yang berarti sisa-sisa pembakaran yang membentuk kerak berwarna hitam pekat.
Lantas bagaimana sejarah letusan gunung Ranaka yang membentuk gunung baru bernama Nampar Nos?
Letusan 28 Desember 1987
Jarum jam menunjukan angka 22:00 Wita ketika sebuah dentuman keras yang disertai dengan gempa bumi membangunkan seluruh penduduk yang mendiami kota Ruteng dan sekitarnya Senin 28 Desember 1987 malam.
Rupanya dentuman itu berasal dari upaya gas-gas vulkanik bertekanan tinggi dalam perut bumi yang berusaha menerobos lapisan batuan penutup yang terletak di puncak tertinggi Ranaka.
Namun akibat kuatnya lapisan penutup puncak tertinggi Ranaka, aliran gas bertekanan tinggi itu menerobos area yang menipis yang terletak di sisi timur laut puncak tertinggi Ranaka, area itu bernama Loka Leke Ndereng (Lubang Tempurung Merah) oleh warga sekitar.
Tak lama berselang kepulan asap hitam kecoklatan mengepul setinggi 3000 meter di atas puncak Ranaka ditambah dengan dentuman demi dentuman keras terdengar jelas, terutama oleh warga yang bermukim di sekitar gunung itu termasuk warga Robo, desa Ranaka.
Warga Robo mulai panik berusaha mencari pertolongan di gelapnya malam, tak lama tersiarlah kabar bahwa Gunung Ranaka meletus.
Proses letusan yang berlangsung selama 6 hari berturut turut itu berintensitas erupsi freatik cenderung menurun namun sebaliknya kegempaan vulkanik meningkat pesat hingga dua kali lipat.
Hal ini mengindikasikan telah terjadinya gerakan fluida (magma) yang sedang mencoba menembus ke paras bumi, yang bakal menimbulkan erupsi freatomagmatik atau bahkan erupsi magmatik.
Terbukti dalam sepuluh hari pasca awal letusan, mulai terdeteksi cahaya terang berkelanjutan dari arah lubang letusan di malam hari.
Itulah pertanda jelas letusan telah memasuki fase erupsi magmatik. Dan dalam 12 hari pasca awal letusan mulai teramati adanya gundukan membara menyerupai kerucut.
Kerucut yang terbentuk di lokasi itulah kubah lava, dengan tinggi saat itu 30 meter yang menyelubungi lubang letusan.
Gundukan lava membara di Loka Leke Ndereng yang menandakan sebagai bayi gunung inilah yang sering disebut Gunung Namparnos oleh warga sekitar.
Dalam bahasa Manggarai Nampar berarti tebing sementara Nos berarti sisa pembakaran yang membentuk kerak. Sementara vulkanolog Indonesia menyebutnya sebagai Gunung Anak Ranakah.
Menurut Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, aktivitas vulkanologi gunung Ranaka tidak pernah terdeteksi sebelum letusan pertamanya pada 28 Desember 1987.
Letusan pada 28 Desember 1987 dikategorikan letusan freatik yang diawali dengan aktivitas gempa bumi yang disertai dengan kepulan asap yang mencapai ketinggian 3000m hingga 4000m di atas titik letusan.
Awan panas guguran yang terbentuk pada 20 Januari 1988 dalam proses tumbuh kembang Gunung Anak Ranakah. Sumber: PVMBG/Wirasaputra, 1988. |
Abu vulkanik ini bergerak ke arah timur mengikuti arah angin melewati Rana Mese menyelimuti wilayah Manggarai Timur sekarang.
Letusan awal ini menembus batuan penutup sehingga memberi jalan keluarnya magma naik ke permukaan. Dalam kurun waktu seminggu hingga 3 Januari 1988 tercatat 17 kali letusan kuat dan 200 kali letusan lemah.
Hingga 9 Januari 1988 untuk pertama kalinya terlihat percikan api keluar dari puncak kawah yang menandai adanya aktivitas magma yang keluar dari dalam perut bumi.
Aliran magma ini membentuk kuba Lava yang jelas terlihat pada 10 Januari 1988 pagi, dimana kuba lava yang berwarna hitam keabu-abuan.
Puncak letusannya terjadi pada 11 Januari 1988 dengan ketinggian kepulan asap yang mencapai 8000 m di atas puncak letusan.
Letusan ini menjadi berbahaya lantaran disertai dengan luncuran awan panas ke arah Wae Reno dan Wae Teko yang berada di sebelah uatara puncak Ranaka.
Hingga 17 Januari 1988 kuba lava yang terbentuk di puncak gunung sudah setinggi 100 meter dengan panjang aliran lava 600 meter menuju Wae Reno.
Berdasarkan hasil pengukuran tim Vulkanologi pada 21 Januari 1988 volume kuba lava yang terbentuk selama letusan gunung itu sebesar 5 juta meter kubik, dengan total volume hasil erupsi gunung anak Ranaka adalah 9 juta meter kubik.
Grafis kondisi letusan Gunung anak Ranaka alias Gunung Nampar Nos/Antonius Rahu/Congkasae.com |
Pada bulan Agustus 1988 volume lava dari hasil erupsi gunung anak Ranaka mencapai 18,8 juta meter kubik, hal ini dapat terjadi akibat adanya destabilisasi dan gravitasi serta dorongan magma dari dalam perut gunung api tersebut.
Akibatnya sering terlihat longsoran yang diikuti oleh aliran awan panas menuju Wae Reno dan Wae Teko yang terletak di sebelah utara gunung.
Akibat adanya hujan pada saat itu menyebabkan adanya aliran lahar menuju Wae Reno dan Wae Teko yang menerjang dua jembatan di aliran sungai itu. Akibatnya jembatan terputus.
20.000 Warga Diungsikan
Gunung Nampar Nos yang terbentuk dari letusan 1987 saat ini bisa dijadikan tempat untuk berfoto |
Letusan gunung anak Ranaka atau yang lebih dikenal dengan sebutan gunung Nampar Nos mengakibatkan terjadinya pengungsian warga terutama yang bermukim di dekat kawasan gunung itu.
Sedikitnya 20.000 orang terdampak erupsi gunung Nampar Nos terpaksa harus diungsikan sejauh 5km dari kawasan zona bahaya yang ditetapkan pemerintah.
Hingga 26 Januari total pengungsi yang masih bertahan di daerah pengungsian hanya tersisah 4.200 orang.
Mereka itu terdiri dari warga yang bermukim di sekitar lembah sungai Wae Reno, sementara sisahnya sudah bisa kembali ke rumah mereka masing-masing.
Hal tersebut seiring dengan menurunnya aktivitas kegempaan dan letusan gunung yang kian menurun drastis.
Meski letusan awalnya terjadi pada malam hari, namun tidak ada korban jiwa yang tercatat termasuk kerugian harta benda.
Warga hanya meninggalkan rumah dan harta benda mereka pada saat pengungsian besar-besaran dikerahkan pemerintah.
Letusan gunung anak Ranaka atau yang lebih dikenal sebagai gunung Nampar Nos kini hanya menyisahkan kuba lava yang menjulang di sebelah timur laut puncak tertinggi Ranaka.
Jika kita melintasi jalur trans Flores Ruteng-Borong, tepat di kampung Robo kita akan melihat dengan jelas bagaimana gunung baru yang terbentuk akibat letusan Desember 1987 itu.
Namun apabila hendak mendaki ke puncak Ranaka kita akan disuguhi pemandangan alam nan eksotis dari jarak dekat tepat di perhentian ke tiga jalur pendakian itu.
Tampak lahar yang tersisah dari aktivitas letusan 1987 itu membentang di kaki Nampar Nos, tak ada satu pun tumbuhan yang terlihat.
Hanya pasir dan batu yang terlihat jelas, sementara di puncak kuba lava hampir tak terlihat aktivitas asap semuanya tenang bagai singa yang tertidur pulas.
Letusan di Mata Penyintas
Letusan anak Ranaka atau yang lebih dikenal dengan sebutan gunung Nampar Nos menyisahkan cerita bagi para penyintas.
Mama Dorotea Dai adalah seorang penyintas letusan gunung Ranaka yang tinggal di wilayah kedaluan Manus (Saat ini wilayah desa Rana Mbata, kecamatan Kota Komba Utara, Manggarai Timur) sekitar 40km sebelah timur Gunung Ranaka.
Mama Dorotea ingat betul bagaimana dampak letusan yang terasa seperti dunia akan kiamat, pada Rabu 30 Desember 1987.
Kala itu sekitar pukul 15:00 Wita mama Dorotea yang masih sibuk menumbuk padi di halaman rumah mereka di kampung Leda (wilayah desa Rana Mbata saat ini).
"Masih tumbuk padi untuk makan malam, hari itu cuaca cerah, tapi tiba-tiba mendung, seketika di langit terlihat seperti asap hitam mengepul,"kisah Dorotea Dai kepada media ini.
Ia mengaku awalnya tak menggubris kondisi itu karena dianggap hari akan hujan, dan asap hitam yang mengepul itu merupakan gumpalan awan pekat.
Namun tak berselang kondisinya semakin gelap, meskipun jam dinding di rumah mereka masih menunjukan angka 3.
Ibunda Dorotea Dai yakni Alm Rosalia Jaung yang masih menyetel lagu dari tape Compo dengan bantuan batery ABC seketika mengecilkan volume tape nya dan keluar melihat kondisi yang terjadi.
"Cepatin tumbuk padinya, sepertinya akan turun hujan,"kata Dorotea Dai menirukan ucapan ibunda Alm Rosalia Jaung.
Tak sampai 30 menit kondisi tiba-tiba berubah, menjadi gelap gulita, anak-anak yang sedang bermain di halaman kampung disuruh masuk ke dalam rumah.
"Ayam yang sedang mencari makan tiba-tiba berkotek karena kondisi gelap seketika, kepanikan mulai terasa, takut mau kiamat,"kata Dorotea.
Ia mengatakan hari itu benar-benar mimpi buruk bagi semua orang, karena belum mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
Apalagi arus informasi belum secanggih saat ini, ia mengatakan terpaksa harus menutup pintu dan jendela rumah karena hujan abu mulai dirasa.
Kondisi tersebut berlangsung cukup lama hingga keesokan harinya baru melihat terang, namun mereka mengetahui hal itu merupakan letusan gunung Ranaka setelah tetangga kampung mereka menyetel radio National nya pada pukul 20.00Wita.
"Ada paman yang tinggal di kampung Mbata, dia menyetel siaran berita RRI pukul 20.00 malam, baru kami tahu kalau kegelapan itu akibat letusan gunung Ranaka,"tambahnya.
Ia mengaku tak akan melupakan pengalaman berharga itu, meski tinggal puluhan kilo meter dari puncak letusan, namun kepanikan sempat terasa di kampung Leda tempat dia tinggal.
Diabadikan Lewat Lagu
Album Nampar Nos besutan Matahari Group, cipta Feliks Edon |
Letusan gunung Nampar Nos atau anak Ranaka rupanya diabadikan lewat lirik lagu, oleh musisi kenamaan Feliks Edon.
Dalam album khusus yang berjudul Nampar Nos besutan Matahari Group pada Side A nya terdapat lagu Nampar Nos yang mengisahkan bagaimana kondisi masyarakat pada saat letusan itu terjadi.
Lagu tersebut masih teringat betul oleh penyintas letusan gunung Nampar Nos yakni Mama Dorotea Dai.
Media ini hanya menuliskan transkrip lirik bagian reff nya yang berbunyi seperti berikut ini;
Bike Golo Nampar Nos, Usang rawuk pande mbau....
Sanggen ata losi gega rantang mata
Rantang tatap ali tana, rantang tadu ali watu
Ledong Beo retang wero
Nampar Nos gega sangge lawa tana Manggarai
Lagu tersebut menjadi tenar di masa itu, lantaran dapat menceriterakan kondisi psikologis masyarakat Manggarai kala itu.
Bagi kalian yang merasa penasaran dengan lagu tersebut, anda bisa mendengarkannya dalam pranala berikut ini Lagu Nampar Nos karya Feliks Edon
Apakah anda memiliki pengalaman terkait peristiwa bersejarah letusan Nampar Nos? senang bisa mendengar kisah anda di kolom komentar.
Penulis: Antonius Rahu
Dia merupakan penulis dan pendiri Congkasae.com.
BACA JUGA TULISAN SERUPA DARI Antonius Rahu
Wajah Gapong 13 Tahun Pasca Bencana Longsor
Sejarah Danau Ranaka, Dulunya Tempat Pemandian Bidadari
Mengintip Manggarai dari Puncak Ranaka yang Memesona