Rabu Abu sebagai simbol Pertobatan umat Katolik |
Rabu Abu sendiri merupakan simbol dari masa pertobatan yang akan dilakukan melalui pantang dan puasa dalam durasi waktu selama 40 hari tanpa hari Minggu sebelum perayaan Paskah.
Pada hari Rabu Abu, seluruh umat Katolik yang berusia 18 hingga 65 tahun menghadiri perayaan di gereja dimana imam akan menandai umatnya dengan abu berbentuk salib di dahi.
Lantas apa makna dari penandaan abu di dahi, lalu abu apa yang digunakan? berikut uraiannya.
Asal Usul Rabu Abu
Makna abu saat perayaan Rabu Abu gereja Katolik |
Ritual perayaan “Rabu Abu” ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan.
Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung.
Khotbah ini merujuk pada kitab suci Perjanjian Lama sebagai contoh, dalam kitab Ester 4:1, dikisahkan Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia.
Hal tersebut juga ditegaskan dalam kitab Ayub yang menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6).
Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel menulis, “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.” (Dan 9:3).
Dalam abad kelima sebelum masehi, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6).
Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.
Yesus Sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira.
Kristus berkata, “Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.” (Mat 11:21)*
Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah.
Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.
Sumber dan Makna Abu yang Digunakan
Pengolesan Debu di dahi sebagai lambang pertobatan Rabu Abu Gereja Katolik |
Dalam liturgi gereja Katolik saat ini, abu yang digunakan pada saat perayaan Rabu Abu berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya dimana abu pembakarannya diekstrak.
Lalu dicampur dengan minyak suci atau air yang telah diberkati sebelum ditandai pada dahi setiap umat Katolik yang hadir.
Bagi umat Katolik Abu yang dioleskan pada dahi melambangkan penyesalan terhadap dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa sebagaimana yang dituliskan dalam kitab perjanjian lama.
Pada masa prapaskah ini umat katolik diharapkan selalu mengarahkan hati kepada Kristus, yang sengsara, wafat dan bangkit demi keselamatan umat manusia.
Umat diajak untuk memperbaharui janji-janji baptisnya yakni meninggalkan pola hidup yang lama hidup dalam keberdosaan dan bangkit kembali dalam hidup yang baru, hidup sesuai dengan ajaran Kristus.
Selain itu umat juga diingatkan akan kefanahan dunia yang akan segera berlalu, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini hanya bersifat sementara, bukanlah sesuatu yang bersifat kekal. Hal ini dapat dilihat pada kitab Kejadian ( 2:7), dan suatu saat nanti kita akan mati dan kembali menjadi debu.
Oleh karena itu abu sebagai tanda pertobatan dioleskan pada dahi. Kitab Suci sendiri telah mengisahkan abu sebagai tanda pertobatan, hal ini dapat dilihat pada pertobatan Niniwe (Yun 3:6).
Olah karena itu, pada saat menerima abu di gereja, kita mendengar ucapan dari Romo, “Bertobatlah, dan percayalah kepada Injil” atau, “Kamu adalah debu dan akan kembali menjadi debu."
Melalui penyesalan dan tobat selama 40 hari masa prapaskah, manusia meninggalkan pola hidup lama hidup dalam keberdosaan dan bangkit kembali dalam hidup yang baru dalam Kristus melalui puncak perayaan anak domba Paskah.
Bacaan dan Warna Liturgi
Warna Liturgi Rabu Abu |
Pada perayaan hari Rabu Abu gereja katolik menggunakan beberapa referensi kitab suci sebagai sumber bacaan diantaranya Matius 4:1-11; Lukas 4:1-13; Ester 4:1-3; Yun 3:5-6; Dan 9:3; Mat 11:21.
Selain itu gereja katolik menempatkan hari Rabu Abu sebagai hari berpuasa dan berpantang yang sekaligus menjadi hari pertama dalam masa prapaskah masa berpuasa dan berpantang selama 40 hari sebelum perayaan puncak Jumat Agung.
Adapun warna liturgi dalam perayaan Rabu Abu adalah warna ungu, dimana seluruh atribut yang dikenakan pada saat perayaan misa bernuansa ungu.
Warna ungu melambangkan keagungan pada saat Kristus menderita di kayu salib untuk menebus dosa-dosa umat manusia.
Selain itu warna ungu juga melambangkan penyesalan yang mendalam terhadap dosa-dosa yang dilakukan selama ini, sebagai umat yang terpilih untuk diselamatkan wajiblah umat katolik menyesali segala keberdosaannya sebelum puncak perayaan paskah.
Warna Ungu juga melambangkan pertobatan yang total kepada Tuhan tentu bukan hanya penyesalan saja akan tetapi lebih dari itu yakni pertobatan yang total kepada Allah menjadi hal utama dalam hidup menggereja yang puncaknya dalam korban anak domba paskah.
Warna Ungu juga melambangkan kerendahan hati setiap orang Katolik untuk mengakui kesalahan dan dosanya kepada Allah sehingga dapat diampuni serta bisa merayakan paskah dengan sukacita.
Warna Ungu melambangkan perkabungan dimana umat katolik juga diajak untuk ikut merasakan penderitaan Kristus yang wafat di kayu salib dengan berpuasa dan berpantang selama 40 hari masa prapaskah.
Penulis: Tony