Danau Rana Mese saat ini dijadikan tempat wisata |
Konon pada suatu hari sang istri yang sudah tak tahan tinggal di rumah mereka yang mulai reot menyuruh suaminya Kae Anu untuk menebang pohon di kawasan hutan yang akan dijadikan balok untuk pembangunan rumah mereka.
Karena desakan istrinya Kiong Molas Liho, maka berangkatlah Kae Anu ke sebuah hutan yang banyak ditumbuhi oleh pohon pinis.
Berbekalkan makanan selama satu minggu, Kae Anu pun pergi meninggalkan kampung halamannya di kawasan Teber untuk mempersiapkan balok yang akan dijadikan rumah mereka.
Setelah tiba di kawasan hutan, Kae Anu pun mulai menebang beberapa pohon pinis untuk dijadikan balok rumah mereka.
Namun setelah sekian lama menebang pohon, Kae Anu dikagetkan dengan seekor tikus hutan kecil yang berlari menyelinap diantara ranting-ranting pohon yang ditebang Kae Anu.
Tak lama berselang Kae Anu dikagetkan dengan beberapa ekor tupai yang datang serta mulai mengendus di sekitar persembunyian tikus kecil itu.
Kae Anu yang awalnya tak memerdulikan keberadaan tikus dan beberapa ekor tupai itu awalnya terus menebang pohon untuk dijadikan balok rumah bagi istrinya.
Namun tak lama berselang, Kae Anu didatangi oleh beberapa orang yang mencari keberadaan anjing mereka yang hilang mengejar babi hutan alias motang.
"Apakah engkau melihat anjing dan babi hutan melintas di sekitar sini?" tanya salah satu dari beberapa orang itu.
Kiong Molas Liho, Istri dari Kae Anu |
Mendengar pertanyaan itu Kae Anu yang masih mengiris-iris kayu gelondongan untuk dijadikan balok pun menghentikan kegiatannya dan menjawab orang-orang itu dengan mengatakan jika dirinya tidak melihat anjing dan babi hutan di sekitar tempat itu.
"Dari tadi saya berada di tempat ini, dan saya tidak melihat anjing dan babi hutan yang kalian maksudkan,"jawab Kae Anu sembari menyarungkan parangnya.
Mendengar pengakuan Kae Anu, salah seorang dari mereka kembali mengajukan pertanyaan jika anjing-anjing mereka sedang mengejar babi hutan dan kemungkinan besar melewati lokasi penebangan pohon Kae Anu.
"Kami sedang berburuh babi hutan dan kami dengar suara gonggongan anjing kami bersumber dari tempat ini, makanya kami berlari menyusuri tempat ini,"kata mereka.
Mendengar itu Kae Anu pun mengatakan jujur tentang apa yang dilihatnya, dengan mengatakan jika tak ada babi hutan atau anjing yang dilihatnya namun hanyalah tikus kecil dan beberapa ekor tupai.
"Dari tadi saya hanya melihat tikus kecil dan tupai di tempat ini, tupai itu mengendus-endus di sekitar tempat persembunyian tikus kecil,"kata Kae Anu.
Mendengar pengakuan Kae Anu, orang-orang itupun terdiam dan kaget dengan apa yang disampaikan oleh Kae Anu.
Untuk memastikan perkataannya Kae Anupun langsung menangkap tikus kecil itu dengan sebilah kayu dan menunjukannya pada orang-orang itu.
"Ini tikusnya kalau kalian tidak percaya saya,"tambahnya.
Melihat tikus itu, orang-orang itupun melonjak kegirangan, mereka bersorak sorai lantaran perburuan mereka mebuahkan hasil.
Mereka menggeleng-gelengkan kepala mengakui kekuatan yang dimiliki Kae Anu dalam menangkap babi hutan.
Menurut mereka mengatakan tikus yang dilihat Kae Anu adalah babi hutan yang sangat besar.
"Itu bukan tikus, itulah babi hutan yang kami kejar dari tadi,"kata mereka kepada Kae Anu.
Mendengar pengakuan orang-orang itu, Kae Anu mulai merasa heran bagaimana mungkin tikus yang dilihatnya dibilang babi hutan besar oleh orang-orang itu.
Kondisi rumah yang dimiliki Kae Anu dan istrinya |
Maka Kae Anupun mulai mengetahui jika orang-orang yang dijumpai Kae Anu ini berasal dari bangsa keturunan dunia lain alias ata pale sina atau darat.
Kae Anu pun mulai memberikan tikus kecil itu kepada mereka untuk dibawa pulang oleh orang-orang itu.
Namun keanehan terjadi setelah mereka mencoba mengangkat tikus kecil itu mereka hampir tak bisa mengangkatnya meski melibatkan 4 orang pria.
Mengetahui itu Kae Anu pun memindahkan tikus itu hanya dengan jari kelingkingnya, orang-orang itu pun terheran-heran bagaimana bisa Kae Anu mengangkat babi hutan yang sangat berat di mata mereka tapi diangkat dengan jari kelingking oleh Kae Anu.
"Sudihkah engkau membantu kami untuk membawa babi hutan ini ke kampung kami tuan?" pinta salah seorang yang tertua dari mereka kepada Kae Anu.
Kae Anu pun mengiyakan permintaan orang itu, maka mereka pun mulai menjalan smenyusuri sungai yang menurut orang-orang itu adalah jalan raya.
Namun setelah berjalan sekian lama, tibalah mereka di sebuah danau kecil yang banyak ditumbuhi tanaman air sejenis bambu dalam bahasa Manggarai disebut helung, danau kecil itu bernama Rana Nekes.
Orang-orang itupun mulai menerima Kae Anu yang datang bersama beberapa orang anggota kampung itu.
Rupanya di Rana Nekes, para penguni kampung yang merupakan darat itu sedang mengadakan perkumpulan untuk membahas strategi perang melawan warga Rana Hembok yang berperang melawan mereka.
Kondisi danau Rana Mese saat ini |
Mengetahui itu warga Rana Nekes pun mulai ketakutan apalagi jumlah mereka tidak seberapa apabila dibandingkan dengan warga Rana Hembok yang datang menyerang mereka.
Para kepala suku di Rana Nekes pun mulai mengatur siasat untuk melawan musuh mereka, sejumlah parang dan tombak pun mulai dipersiapkan.
Namun parang dan tombak yang dilihat oleh Kae Anu hanyalah ikan dan belut, Kae Anu mulai melontarkan pertanyaan tentang parang dan tombak yang mereka persiapkan.
"Berapa banyak parang dan tombak yang kalian siapkan untuk berperang melawan musuh?" tanya Kae Anu.
Sang kepala suku pun menjawab jika parang dan tombak yang mereka sediakan tak sebanding dengan parang dan tombak yang dimiliki musuh mereka.
Melihat ada yang aneh, Kae Anu pun menawarkan diri untuk berperang melawan musuh mereka dengan satu persyaratan.
Apabilah mereka memenangi pertempuran itu, maka warga kampung itu harus membantu Kae Anu dalam membuat istana bagi kediamannya bersama sang istri.
Permintaan itupun disanggupi kepala suku dan warga kampung Rana Nekes, Kae Anu pun pergi meninggalkan Rana Nekes dan kembali ke kampung halamannya di Teber.
Selama di Teber, Kae Anu mulai mempersiapkan parangnya untuk menghadapi serangan musuh, hari-harinya yang dilakukan Kae Anu adalah mengasah parang setajam mungkin.
Tibalah waktu yang ditentukan untuk berperang, Kae Anu pun kembali ke rana Nekes berbekalkan parang yang dimilikinya.
Sesampainya di Rana Nekes, Kae Anu memerintahkan warga penghuni danau kecil itu untuk menghindar menyembunyikan diri dari serangan musuh.
Ia hanya melawan musuh yang dalam jumlah besar dari Rana Hembok dengan parang tanpa adanya bantuan dari warga Rana Nekes.
Perang pun dimulai, rana Nekes mulai dilempari belut dan ikan yang menurut darat itu adalah parang dan tombak.
Dengan mudah serangan itu dihalau oleh Kae Anu, ia mulai membantai satu per satu belut dan ikan yang dilembari oleh warga Rana Hembok.
Setelah sekian lama berperang maka habislah amunisi yang dimiliki oleh warga Rana Hembok, maka warga Rana Nekes pun melonjak kegirangan.
Danau Rana Mese saat ini |
Hal tersebut berarti merekalah yang memenangkan pertempuaran itu dan sesuai perjanjian awal bahwa yang kalah dalam peperangan itu akan dijadikan tahanan dan budak.
Namun Kae Anu mengatakan bahwa sanksi bagi yang kalah adalah harus menyerahkan segala yang mereka miliki kepada warga Rana Nekes.
Maka dari situ danau Rana Hembok disatukan dengan danau Rana Nekes membentuk sebuah danau yang sangat besar.
Namun mereka kesulitan memberikan nama baru bagi danau hasil penggabungan itu, maka Kae Anu pun memberi saran agar perkampungan besar yang menurut Kae Anu itu hanyalah danau diberi nama Rana Mese.
Dalam bahasa Manggarai Rana berarti danau sedangkan mese berarti besar, jadi rana mese adalah sebuah danau yang besar.
Untuk membayar upahnya Kae Anu pun memerintahkan para penghuni Rana Mese yang merupakan darat untuk membangun istana bagi kediaman Kae Anu dan istrinya.
Maka permintaan pun dituruti warga Rana Mese pembangunan istana pun dikerjakan dalam tempo satu malam.
Namun pengerjaannya belum selesai ketika datang anjing milik Kae Anu menggonggong makhluk halus yang sedang mengerjakan istana itu.
Alhasil makhluk halus penghuni Rana Mese pun lari terbirit-birit kembali ke Danau Rana Mese, sementara pembangunan istana dilepas begitu saja.
Sampai saat ini sisa-sisa batu yang dibawa dari kali Wae Laku dan Wae Leras oleh makhluk halus itu masih berada di halaman rumah gendang desa Compang Teber di Manggarai Timur.
Penulis: Antonius Rahu