Ilustrasi penembakan |
[Congkasae.com/Sipi Sopok] Sedikitnya 6 orang warga sipil tewas dalam aksi kericuhan di Mapolres Manggarai. Kericuhan yang terjadi pada Rabu 10 Maret 2004 itu melibatkan warga sipil dengan aparat kepolisian Resort Manggarai, Flores, NTT.
Kericuhan itu dipicuh oleh aksi ratusan warga yang berusaha membebaskan rekan mereka yang sebelumnya ditahan aparat atas dugaan perambahan hutan secara ilegal.
Begitulah media massa memberitakan peristiwa kericuhan yang terjadi di mapolres Manggarai dalam edisi Kamis 11 Maret 2004, sehari setelah peristiwa penembakan warga sipil oleh aparat kepolisian dengan dalih melindungi diri.
Peristiwa tersebut kini menyisahkan kenangan bagai pil pahit yang harus ditelan lantaran penyelesaian kasus itu hanya dilakukan secara interen.
Sementara para korban kehilangan anggota keluarga hingga mengalami cacat permanen hingga saat ini.
Peristiwa tersebut juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari torehan kabar Kopi Colol dengan kualitasnya yang mendunia.
Lantas bagaimana tragedi kericuhan yang menewaskan para petani kopi itu bisa terjadi, serta siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas tragedi yang belakangan sering disebut peristiwa Rabu Berdarah itu?
Permulaan Tragedi Rabu Berdarah
Peristiwa tersebut berawal dari dikeluarkannya Surat Keputusan bupati Manggarai Antony Bagul Dagur yang mengatur tentang kawasan hutan lindung di kabupaten Manggarai.
Selanjutnya pada 13 Juni 2001 dibentuklah tim terpadu yang bertugas untuk melakukan pengamanan terhadap kawasan hutan Lindung di kabupaten Manggarai yang meliputi daerah sepanjang pegunungan Mandosawu.
Adapun kerja tim terpadu ini termaktub dalam surat perintah tim terpadu yang terbit pada 7 Oktober 2002 dengan tugas utama mencabut dan memotong setiap tanaman yang ditanam secara sepihak oleh masyarakat di dalam kawasan hutan lindung.
Selain mencabut dan memotong tanaman yang ditanam di dalam kawasan hutan lindung, tim ini juga bertugas membongkar pondok yang beridiri dalam kawasan hutan.
Alhasil tim pun mulai bekerja setiap tanaman yang ditanam melewati batas PAL dicabut dan dipotong dengan tudingan merambah hutan secara ilegal.
Para petani yang kedapatan berada dalam kawasan perkebunan di dalam kawasan hutan lindung pun ditangkap dan ditahan.
Hingga 9 Maret 2004 dari hasil operasi tersebut petugas berhasil melakukan penangkapan terhadap 7 orang warga sipil yang merupakan petani dari desa colol, desa Uluwae dan desa Rende Nao.
Tiga diantara yang ditangkap merupakan perempuan sementara 4 orang lainnya laki-laki, mereka ditangkap dan ditahan atas tuduhan merambah hutan secara ilegal.
Berkas perkara kasus ketujuh petani itu masih dalam proses dan belum dilimpahkan ke pengadilan ketika para petani lain dari desa Colol, desa Rende Nao dan desa Uluwae datang ke Mapolres Manggarai pada Rabu 10 Maret 2004.
Mereka datang dari kampung halaman mereka dengan maksud melakukan unjuk rasa atas tindakan penangkapan terhadap 7 orang petani serta mendesak Kapolres Manggarai Boni Tompoi segera membebaskan ketujuh rekan mereka yang ditahan aparat.
Unjuk rasa itu belakangan berujung ricuh hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari pihak demonstran yang mayoritas merupakan petani.
Penyebab kericuhan itu simpang siur, ada yang mengatakan kericuhan bermula dari tindakan warga sipil yang menerobos masuk ke gudang penyimpanan senjata api.
Namun adapulah yang menyebut polisilah yang mendorong massa dan menimbulkan aksi bentrokan antara aparat dengan massa yang beringas.
Aksi bentrokan antara aparat dengan para demonstran pun tak terelakan, polisi mengeluarkan tembakan dengan dalih melindungi diri.
Akibatnya 6 orang warga sipil meninggal di tempat, sementara puluhan lainnya luka-luka, tujuh orang diantara yang luka mengalami cacat permanen hingga saat ini.
Polisi Akui Pelanggaran HAM
Aparat kepolisian melalui Kapolda NTT Brigjen Pol Edward Aritonang kala itu mengakui kesalahan yang dilakukan personelnya di polres Manggarai dalam menangani insiden itu.
"Para pendemo bertindak brutal sampai gudang senjata maka Kapolres perintahkan untuk segera membuka dan mengambil beberapa pucuk senjata untuk mempertahankan diri. Insiden itu berakhir dengan tewasnya enam warga dan melukai 28 warga lainnya," kata Kapolda NTT kala itu Brigjen Pol Edward Aritonang di Kupang mengutip Tempo.
Aritonang mengatakan, kasus yang dikenal dengan tragedi Rabu berdarah tersebut awalnya hanya aksi damai biasa namun berakhir dengan insiden penembakan setelah terjadi bentrokan fisik antara demonstran dan aparat kepolisian.
Dari hasil penyelidikan kepolisian menyebutkan, penembakan terjadi setelah warga berhasil memasuki Mapolres dan menyerang sampai gudang senjata.
Sehingga untuk mempertahankan diri, Kapolres AKBP. Boni Tompoi mengeluarkan perintah untuk mempertahankan diri.
Menurutnya, atas kejadian itu institusi kepolisian mengakui terjadi pelanggaran HAM sehingga kepolisian secara jantan siap disidik oleh institusi berwenang seperti Komnas HAM dan peradilan umum.
"Benar ada pelanggaran HAM. Kondisi para personil pada saat itu sangat sulit karena para pendemo berusaha membuka gudang senjata. Dari pada gudang senjata dikuasai pendemo maka anggota Polres lebih memilih untuk membuka lebih dahulu, mengambil senjata dan mempertahankan diri," tegasnya.
Komnas HAM Turun Tangan
Atas kasus itu Tim Pemantau Komnas HAM yang dipimpin MM. Billah pun turun tangan melakukan investigasi serta mewawancarai para saksi korban, saksi mata, dan beberapa anggota polisi.
Hasilnya, Komnas HAM menemukan beberapa indikasi adanya tindak pelanggaran HAM atas peristiwa tersebut.
Komnas HAM menyimpulkan akan segera membentuk sebuah tim penyelidikan khusus agar para pelaku pelanggaran HAM tersebut bisa dibawa ke pengadilan HAM mengingat para pelaku penembakan hanya dikenai hukuman sangat ringan oleh dewan etik polisi.
Namun hasil investigasi Komnas HAM tersebut tak sampai menyeret aparat kepolisian yang melepaskan tembakan kepada parah demonstran hingga ke peradilan umum.
Para pelaku yang merupakan aparat kepolisian hanya dikenai sanksi secara internal dalam Sidang Komisi Pelanggaran Disiplin Polda NTT.
Hasil dari sidang kode etik itu 16 pelaku yang merupakan bintara Polri hanya menjalani hukuman kurungan selama enam hari dalam ruangan khusus.
Sementara dua lainnya dikurung dalam ruangan khusus dan dikenakan sanksi penundaan promosi jabatan.
Dua orang personel lainnya lagi hanya dikenai teguran tertulis dan penundaan mengikuti pendidikan selama 6 bulan.
Sementara mantan Kapolres Manggarai AKBP Boni Tompoi dijatuhi hukuman dibebastugaskan dari jabatannya sebagai Kapolres.
Penulis: Antonius Rahu
Baca Juga Tulisan serupa dari Antonius Rahu
Penerbangan Merpati 6715, Kecelakaan Pesawat Pertama di Manggarai
Letusan Gunung Anak Ranaka dan Mimpi Buruk Orang Manggarai