Prosesi tukar kila dalam budaya Manggarai/foto paroki cewonikit |
[Congkasae.com/Sosial Budaya] Pernikahan sedarah atau dalam budaya Manggarai disebut Kawing Tungku merupakan sistem perkawinan yang muncul di tengah upaya orang Manggarai zaman dulu dalam mempertahankan warisan dan harta kekayaan agar tidak jatuh ke tangan orang lain.
Namun dewasa ini sistem perkawinan tungku itu lebih didasari oleh alasan mempererat tali persaudaraan antara anak wina dan anak rona.
Praktik perkawinan antara anak laki-laki dari saudari perempuan dengan anak perempuan dari saudara laki-laki muncul dalam kelompok masyarakat Manggarai yang telah menganut tiga jenis sistem perkawinan yang dianut sebelumnya yakni perkawinan Cangkang, perkawinan cako dan perkawinan lili.
Meski sistem perkawinan Tungku ini ditentang sejumlah kalangan termasuk institusi gereja katolik, namun praktik perkawinan sedarah itu masih marak terjadi di Manggarai.
Kaum mudah Manggarai dewasa ini beranggapan jika kawing tungku adalah solusi ideal untuk masalah perjodohan yang tak kunjung datang.
Apalagi ditengah tantangan zaman dimana munculnya trend nikah di usia mudah terutama bagi kaum hawa dewasa ini.
Alhasil segala jalur pun ditempuh dalam menempuh kehidupan pernikahan termasuk jalur tungku yang jelas- jelas dilarang gereja karena berakibat pada kondisi kesehatan keturunan yang dihasilkan.
Masalah perkawinan sedarah yang terjadi di Manggarai sebenarnya telah lama menjadi perhatian serius institusi gereja dengan menganjurkan umat untuk sebisa mungkin menghindari praktik perkawinan sedarah alias tungku.
Perhatian serius ini termaktub dalam peraturan gereja yang memberlakukan denda bagi pasangan kawing tungku dan kawing kampong (pasangan kumpul kebo) yang hendak mengajukan sakramen perkawinan di gereja.
Namun sayangnya rendahnya kesadaran masyarakat mengakibatkan marak terjadinya perkawinan tungku.
Perkawinan tungku sebenarnya masuk dalam perkawinan sedarah yang memiliki resiko berat jika dilakukan.
Mengutip laman IFL Science dalam tubuh manusia berbagi 50 persen DNA dari masing-masing orang tua dan saudara kita.
Sementara dengan saudara sepupu pertama kita (anak de amang) berbagi 12.5 persen gen yang sama dengan kita.
Ketika dua sepupu menikah dan memiliki bayi maka kumpulan gen dibatasi yang artinya varian genetik yang sama lebih mungkin muncul dan membuat kelainan genetik diwariskan lebih dominan bagi jabang bayi.
Setiap orang mewarisi satu salinan dari setiap gen orang tua.
Apabilah gen ini bermutasi maka akan menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit pada pewaris (anak).
Ketika hanya satu salinan gen yang perlu dirusak untuk menyebabkan suatu kondisi itu disebut dominan autosom seperti penyakit huntington atau sindrom marfan.
Tetapi apabilah dua salinan gen yang bermutasi disatukan kelainannya adalah resesis autosomal yang mengakibatkan timbulnya penyakit seperti cystil fibrosis dan anemia sel sabit pada jabang bayi.
Oleh karena itu dua sepupu yang melakukan perkawinan sedarah alias sistem perkawinan tungku lebih berpotensi mewariskan gen yang sama pada pewaris (anak) apabilah dibandingkan dengan perkawinan bukan sedarah.
Dengan kata lain perkawinan sedarah lebih berisiko terjadinya penyakit genetika dibandingkan perkawinan yang bukan sedarah.
Jika salah satu dari kakek nenek mereka adalah pewaris (dominan) maka 50 persen kemungkinan dari anak mereka (orang tua sepupu) pasti pewaris.
Hal ini meningkatkan peluang sesama saudara sepupu juga pasti pewaris gen dominan yang berarti resiko untuk munculnya gen yang sama pada sepupu yang menikah pasti lebih besar.
Jika gen yang sama bertemu maka pluang untuk terjadinya penyakit genetika pada keturunan yang dihasilkan lebih besar dari pada orang yang tidak mempraktikan perkawinan tungku.
Itulah sebabnya mengapa anak dari pasangan tungku atau tungku cu lebih berpotensi melahirkan anak yang cacat bilah dibandingkan pasangan normal.
Jadi pahami akibat dari perkawinan sedarah sebelum memutuskan untuk menikahi pasangan tungku kalian.
Karena selain masih berstatus saudara sepupu perkawinan itu berakibat pada derita penyakit genetika yang harus ditanggung anakmu kelak.
Baca Juga Tulisan-tulisan serupa dari Antonius Rahu dalam pranala berikut ini.